Sejarah Pendidikan Karakter
Memahami sejarah pendidikan karakter tentunya sama tuanya dengan sejarah pendidikan. Namun, marilah kita mencoba mengkaji lebih dalam tentang sejarah pendidikan karakter.
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Walaupun begitu, lebih dari itu marilah kita lihat peran Socrates, Plato dan Kong Fu-tze.
Konfusius (Kong Fu-tze) merupakan seorang guru yang baik, dan akrab dengan cara-cara masa lalu dan praktik-praktik kuno, meniru kata-kata dan perbuatan. Ajaran utama konfusianisme adalah ”yen” dan ”li”.
Yen secara umum diartikan sebagai cinta, atau lebih luas lagi keramah-tamahan. Adapun li dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tata krama dan sopan santun.
Nilai-nilai lainnya dalam ajaran Konfusius adalah kebajikan dan kebenaran. Menurut Konfusius, pelatihan musik adalah metode yang paling efektif untuk membentuk karakter moral manusia dan masyarakat dalam rangka menjaga.
Dia berkata, “Biarkan seorang pria dirangsang oleh puisi, yang didirikan oleh aturan kesopanan, disempurnakan oleh musik.”
Socrates merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah yang mengajar Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles.
Sumbangsih Socrates yang terpenting bagi pemikiran barat adalah metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode elenchos. Metode ini banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Oleh karena itu, Socrates dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara umum.
Plato, pendiri sekolah akademia lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia barat dan Aristoteles adalah muridnya. Namun dalam perjalanannya, pendidikan moral atau pendidikan karakter sempat tenggelam dan terlupakan dari dunia pendidikan, terutama sekolah.
Menurut analisa Thomas Lickona yang dirangkum oleh Howard, bangkitnya logika positivisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan.
Selanjutnya Howard mencatat, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan. Namun di sekolah-sekolah umum, dukungan untuk pendidikan moral berkurang dan menyusut. Perubahan-perubahan ini seringkali berhubungan dengan kejadian-kejadian bersejarah dan gerakan-gerakan politik.
Adapun di Indonesia, sejarah pendidikan moral atau karakter dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship). Kewarganegaraan merupakan wujud loyalitas akhir dari setiap manusia modern.
Di Indonesia, dalam zaman pra-kemerdekaan yang dikenal adalah pendidikan atau pengajaran budi pekerti yang menanamkan pada peserta didik asas-asas moral, etika dan etiket yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari.
Setelah Indonesia memasuki era demokrasi terpimpin di bawah presiden Soekarno pada awal 1960-an pendidikan kewarganegaraan muncul dalam bentuk indoktrinasi.
Pada masa pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto, indoktrinasi itu berganti menjadi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bukan saja sebagai pelajaran wajib, tetapi juga penataran wajib (Penataran P4).
Upaya pembentukan karakter bangsa melalui mata pelajaran berlabel Pancasila ini terus dilakukan dengan pendekatan indoktrinasi sampai pada awal tahun dasawarsa 90-an. Seiring dengan menggemanya reformasi, sekitar tahun 2000 digulirkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang membidani lahirnya pelajaran budi pekerti.
Kemudian Pendidikan karakter menjadi tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2011 . Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) memberi tema “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa (Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti)”
Lalu, seberapa penting penerapannya pendidikan karakter bagi Bangsa kita ini, bangsa Indonesia? Inilah pertanyaan awal yang sering muncul tentang pendidikan karakter. Pakar psikologi perkembangan anak pada University New York di Cortland menjelaskan bahwa dewasa ini peradaban manusia telah mengalami kemunduran sejalan dengan adanya kemunduran karakter generasi muda kita.
Pendidikan karakter yang dapat dimaknai sebagai sebuah proses pananaman nilai untuk membantu siswa menjadi cerdas dan baik (smart and good) pada tiga aspek yang meliputi kognitif (head), afektif (heart), dan psikomotorik (hand).
Mengingat pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut, maka konsep pendidikan karakter harus menjadi ruh dari pembangunan bangsa dan negara kita.
Untuk itu, maka konsep besar pendidikan karakter harus segera dirumuskan menjadi program dan kegiatan yang operasional untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai saat ini dan masa depan.
Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai ”the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut.
”character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within’.’
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu memengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, cara guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Dengan demikian, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Menurut presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lima hal dasar yang menjadi tujuan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter. Gerakan tersebut diharapkan menciptakan manusia Indonesia yang unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelima hal dasar tersebut adalah:
- Manusia Indonesia harus bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik. Oleh karena itu, masyarakat diimbau menjadi masyarakat religius yang anti kekerasan.
- Bangsa indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional. Berpengetahuan dan memiliki daya nalar tinggi.
- Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang inovatif dan mengejar kemajuan serta bekerja keras mengubah keadaan.
- Harus bisa memperkuat semangat. Seberat apa pun masalah yang dihadapi jawabannya Selalu ada.
- Manusia Indonesia harus menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa dan negara serta tanah airnya.
Tujuan Pendidikan Karakter menurut Dharma Kesuma, Cepi Triatna, dan Johar Permana (2011: 9) adalah:
- Memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah)
- Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah
- Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari
Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berfungsi: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; dan (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Di antara fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
- Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
- Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
- Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Di dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (2010; 4) pembangunan karakter bangsa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama sebagai berikut:
a. fungsi pembentukan dan pengembangan potensi
Pembangunan karakter bangsa berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
b. fungsi perbaikan dan penguatan
Pembangunan karakter bangsa berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera.
c. fungsi penyaring
Pembangunan karakter bangsa berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui;
- Pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara,
- Pengukuhan nilai dan norma konstitusional UUD 45,
- Penguatan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
- Penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika, serta
- Penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global.
Media Penguatan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
Keluarga merupakan agen sosialisasi pertama bagi seorang individu, melalui pendengaran, penglihatan, serta pengamatan. Di sinilah peran penting orangtua untuk turut membangun karakter positif bgi anak.
Sekolah, sebagai organisasi pendidikan formal, membantu seorang individu belajar dan berkembang. Sekolah tentu saja tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan yang bertujuan mengembangkan intelektual saja, tetapi juga mempengaruhi kemandirian, tanggung jawab, dan tata tertib.
Lewat sekolah dapat pula memfasilitasi pembentukan kepribadian siswa sesuai nilai dan norma, mewariskan nilai-nilai budaya, serta mendorong partisipasi demokrasi siswa.
Media massa terdiri atas media cetak (seperti surat kabar dan majalah) dan media elektronik (seperti radio, televisi, video, film, piringan hitam dan kaset). Media massa memiliki peranan penting dalam proses sosialisasi. Kehadiran media massa sangat memengaruhi tindakan dan sikap anggota masyarakat terutama anak-anak.
Nilai-nilai dan norma yang disampaikan akan tertanam dalam diri anak melalui penglihatan maupun pendengaran yang dilihat dalam acara. Tayangan-tayangan yang mengandung nilai-nilai tertentu secara tidak langsung akan tertanam dalam diri penontonnya.
Oleh karena itu, media massa bisa menjadi media yang efektif dan strategis untuk menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai positif.
Desain dan Kebijakan Nasional
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa ini disusun secara bersama-sama oleh berbagai kementerian, lembaga non kementerian dan lembaga non pemerintah yang terkait, antara lain Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Yayasan Jati Diri Bangsa.
Dalam penyusunan Kebijakan Nasional ini juga menggali masukan dari para pakar, praktisi, tokoh masyarakat, pemuka agama, budayawan, dan berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan karakter bangsa.
Pendidikan karakter merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pencapaian visi dan misi pembangunan nasional (RPJP 2005-2025). Pencapaian RPJP dilakukan melalui pentahapan, yakni Tahap I: 2010-2014; Tahap II: 2014-2020; Tahap III: 2020-2025.
Dengan demikian, program pengembangan pendidikan karakter harus terkandung di dalam rencana strategis pembangunan pendidikan nasional pada setiap tahapnya. Pelaksanaan pendidikan karakter memerlukan rencana aksi yang aplikatif dalam konteks nilai secara terus menerus dan berkelanjutan.
Sehubungan dengan hal itu, rencana aksi nasional (RAN) pendidikan karakter Kementerian Pendidikan Nasional harus segera disusun program dan kegiatannya dan dituangkan dalam setiap rencana pembangunan jangka menengah (RPJM). Pada RPJM Tahap I (2010-2014), langkah-langkah yang diprioritaskan untuk pendidikan karakter adalah sebagai berikut:
- Reorientasi dan penyadaran akan pentingnya pendidikan karakter.
- Penyusunan perangkat kebijakan terpadu dan pemberdayaan pemangku kepentingan agar dapat melaksanakan pendidikan karakter secara efektif.
- Pelaksanaan, pemantapan, dan evaluasi pendidikan karakter.
Semua langkah tersebut bermuara pada perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam diri individu, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh sebab itu, pada akhir tahap I ini pendidikan karakter diarahkan untuk mewujudkan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan pemangku kepentingan pendidikan yang mampu menghayati kembali dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan karakter meliputi dan berlangsung pada:
1. Pendidikan Formal
Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung pada lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, MAK dan Perguruan Tinggi melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan pembiasaan.
Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Proses pendidikan karakter merupakan proses yang berkelanjutan, tidak hanya berhenti dalam satu, dua tahun saja. Sejak peserta didik masuk TK dan berlangsung secara terus menerus.
Nilai-nilai yang ada tidak diajarkan, tapi dikembangkan. Hal ini mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran, tetapi nilai-nilai tersebut diintegrasikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mata pelajaran.
Misalnya saja nilai kejujuran, tentunya ini bisa dintegrasikan dalam pelajaran apa pun. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Guru pun tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai.
Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian, tetapi guru bisa melakukan evaluasi tertentu untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada siswa.
Guru pun perlu juga melakukan komunikasi-komunikasi personal kepada siswa-siswa yang membutuhkan bimbingan khusus. Proses pendidikan dilakukan dengan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
Guru bisa juga menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menyenangkan dan tidak indoktrinatif. Maka yang diperlukan tentunya perombakan proses pembelajaran dengan mengarahkan kepada:
- Pembelajaran yang lebih menyentuh substansi bukan hanya permukaan saja
- Pembelajaran yang kontekstual bukan sekadar pengetahuan belaka
- Memanfaatkan berbagai sumber belajar yang variatif, yang bisa meningkatkan pengetahuan dan motivasi belajar siswa
- Menekankan pembelajaran yang interaktif, siswa yang berperan aktif.
Oleh karena itu, pembelajaran dengan metode Inkuiri, studi kasus, analisa masalah, proyek kerja, proyek ilmiah dan sebagainya. Sebenarnya banyak metode dan strategi yang bisa diterapkan, yang harus diubah adalah tujuan dan indikator pembelajaran yang tidak hanya mengacu pada kemampuan kognitif semata.
2. Pendidikan non formal
Pada pendidikan non formal pendidikan karakter berlangsung pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan lembaga pendidikan non formal lain melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pada pendidikan non formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Misalnya saja dalam menghadapi permasalahan pengangguran saat ini, program pendidikan kewirausahaan baik melalui program pendidikan kecakapan hidup atau program pemberdayaan lainnya yang bisa diterapkan di lembaga-lembaga non formal. Program-program tersebut harus benar-benar berorientasi pada hasil belajar untuk menciptakan generasi wirausahawan.
Tujuan seperti ini tentu tidak bisa dilakukan dengan model program yang banyak terjadi saat ini, hanya berorientasi pada penguatan materi dan keterampilan, namun tanpa ada dukungan penguatan mental dan nilai-nilai dalam diri warga belajar.
Oleh karena itu, pendidikan berbasis nilai dalam program pendidikan non formal harus mulai dikembangkan baik saat ini maupun di masa yang akan datang, mengingat nilai-nilai tersebut saat ini sudah mulai terkikis oleh berkembangnya kemajuan teknologi dan akulturasi kebudayaan asing yang masuk ke negeri ini.
Selain nilai kewirausahaan tentunya banyak nilai lagi yang bisa dikembangkan sesuai dengan pedoman pelaksanaan pendidikan karakter, dan juga disesuaikan dengan realitas kebutuhan di masyarakat.
Pendidikan informal Pendidikan karakter pada pendidikan informal berlangsung pada keluarga yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa lain terhadap anak-anak atau anggota keluarga lainnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Keluarga memiliki peran yang sangat penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa tanpa keluarga, nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan di sekolah formal tidak akan ada artinya sama sekali. Pola asuh orangtua tentunya juga memengaruhi hasil pendidikan karakter yang diterapkan kepada anak.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab.
Sementara, orang tua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah.