Kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam

Inilah kisah Nabi Musa As lengkap. Mulai dari lahir, dihanyutkan oleh ibunya ke sungai karena takut dibunuh Fir’aun, diasuh dan dibesarkan di Istana oleh Asiyah istri Fir’aun hingga diangkat menjadi nabi.

Dalam kisah ini juga diceritakan berbagai keistimewaan yang diberikan kepada Nabi Musa As berupa mukjizat, dakwahnya bersama Nabi Harun kepada Fir’aun, serta pertemuannya dengan Nabi Syuaib dan Khidir.

Baca kisah selengkapnya di bawah ini.

Kelahiran Nabi Musa As

Musa lahir saat negeri Mesir diperintah oleh seorang Raja yang dikenal sebagai Fir’aun. Mesir sepeninggal Yusuf mengalami kekosongan pemerintahan hingga akhirnya diperintah oleh raja-raja yang malah melakukan penindasan terhadap Bani Israil.

Para raja Mesir ketakutan melihat ledakan pertumbuhan Bani Israil. Wanita-wanita dari kalangan Bani Israil dikenal ‘subur’, mudah hamil hingga dengan cepat memiliki keturunan yang banyak.

Bangsa Israil berkembang biak dengan cepat. Bangsa pendatang ini dengan cepat berkembang besar setelah Yusuf menjadi penguasa di Mesir.

Mesir sendiri menjadi jaya, bertambah luas kekuasaannya dan terhindar dari bencana karena nasihat dari Nabi Yusuf yang merupakan seorang keturunan Bani Israil. Namun kini, setelah Yusuf wafat, Bani Israil ditindas dan menjadi budak di negeri Mesir selama 430 tahun.

Fir’aun
Ilustrasi raja Mesir (Fir’aun)

Suatu malam, raja Mesir bermimpi melihat negeri Mesir yang dipimpinnya terbakar habis. Seluruh rakyatnya mati, kecuali seorang pemuda dari kalangan Bani Israil. Mimpi itu berulang datangnya dan mempengaruhi pikiran Fir’aun.

Maka dipanggillah para ahli sihir dan ahli nujum untuk mengartikan mimpinya tersebut. Ahli nujum kerajaan menakwilkan bahwa kerajaan Fir’aun kelak akan datang seorang pemuda dari kalangan Bani Israil yang akan meruntuhkan kerajaan Fir’aun.

Mendengar takwil dari mimpinya, segera saja sang raja memaklumatkan agar membunuh semua bayi laki-laki dari kalangan Bani Israil (Ibrani). Semua ibu Bani Israil dilarang melahirkan bayi laki-laki. Namun siapa dapat menolak takdir Allah? Seorang ibu tak bisa memilih bayi yang akan dilahirkannya.

Demikian pula yang terjadi pada ibunda Musa. Saat tahu yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki, menjadi gelisahlah sang ibu. Jika orang tahu ada bayi laki-laki pasti nyawanya akan terancam bahaya. Maka sang ibu pun berdoa, memohon petunjuk Allah hingga terbit ilham dalam hatinya.

Allah mengilhamkan pada hati sang ibu agar menghanyutkan sang bayi ke sungai Nil.

“Dan Kami (Allah) ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka larungkanlah ia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikan kepadamu dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash [28]: 7).

Maka saat sang bayi telah genap berusia 3 bulan, di saat malam, sang ibu melarungnya ke sungai. Bayi tersebut diletakkan dalam tabut, sebuah keranjang penyimpanan yang kedap air sehingga sang bayi tetap kering tak terkena air.

Sungai Nil, tempat Nabi Musa dihanyutkan
Sungai Nil, tempat Nabi Musa dihanyutkan

Namun bagaimana pun itu adalah sungai Nil yang ganas. Banyak binatang buas di sana, ada ular, buaya atau binatang lain yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan sang bayi. Arus sungai Nil pun akan menjadi deras jika cuaca berubah. Hujan sebentar saja sudah membuat arus deras dan membuat air sungai meluap.

Ah, memikirkan itu semua membuat perasaan sang ibu makin tidak karuan. Tapi sang ibu percaya dengan perlindungan Allah. Dimintanya pula agar kakak sang bayi yang bernama Miriyam untuk mengikuti dari pinggir sungai ke mana tabut itu bergerak.

Sang kakak mengikuti dari tepian sungai ke arah mana tabut itu terdampar. Diikuti terus dengan saksama hingga akhirnya tabut tersangkut pada pepohonan, tempat keluarga kerajaan biasa bercengkerama. Dayang-dayang yang menemukan tabut tersebut kemudian memberitahu Asiyah, permaisuri kerajaan.

Dengan rasa penasaran, sang permaisuri pun membuka penutup tabut. Alangkah terkejut sang permaisuri ketika melihat seorang bayi sedang menangis di dalamnya. Permaisuri merasa jatuh kasihan padanya dan berkata, “Ini anak orang Ibrani.”

Istri Fir'aun, Asiyah menemukan Musa di Sungai Nil
Istri Fir’aun, Asiyah menemukan Musa di Sungai Nil

Maka dibawalah sang bayi ke istana. Dipanggilnya para inang untuk memberikan susu bagi sang bayi. Namun sang bayi menolak semua susu yang diberikan dan terus menangis hingga kelelahan. Akhirnya kakak Musa (Miriyam) keluar dari persembunyiannya.

Dengan memberanikan diri ia datang ke istana menemui permaisuri dan berkata, “Wahai permaisuri, maafkan saya jika lancang. Saya hanya seorang rakyat yang selalu memujamu. Jika paduka berkenan, akan kutunjukkan seorang inang yang biasa memberikan susu dan merawat bayi.”

“Baiklah, serahkan bayi ini pada inang pengasuh yang kau maksud, tak tega rasanya mendengar tangisan bayi yang kelaparan ini.”

Maka Miriyam pun kembali menyusuri sungai Nil bersama bayi Musa diiringi oleh pengawal kerajaan. Demikianlah sesuai janji Allah, bahwa bayi tersebut akan dikembalikan lagi ke pangkuan ibunya. Sang ibu berkesempatan untuk menyusui dan merawat sang bayi di rumahnya sendiri.

Musa dikembalikan ke istana ketika usianya telah siap untuk disapih. Lalu Asiyah berkata, “Dia kuberi nama Musa, sebab dia kuambil dari air.”

Asiyah sang permaisuri meminta izin pada Fir’aun agar diperbolehkan memelihara bayi tersebut di istana. Semula Fir’aun tidak mengizinkan apalagi karena sang bayi tak jelas asal-usulnya. Bagaimana jika bayi tersebut memang berasal dari keturunan Ibrani? Namun Asiyah membujuk Fir’aun agar berkenan memberikan izin baginya untuk merawat bayi tersebut.

Asiya permaisuri Fir'aun
Ilustrasi Asiya permaisuri Fir’aun.

“Ia adalah penyejuk mataku. Mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau jadikanlah ia sebagai anak kita. “Hati sang Raja pun menjadi luluh. Apalagi permaisuri belum memiliki keturunan. Sang bayi menjadi penghibur hati bagi permaisuri.

Suatu ketika, Musa dipangku oleh Raja, tiba-tiba saja Musa menarik janggut Raja hingga kesakitan. Raja terkejut dan berkata, “Kenapa ia melakukan hal ini? Jangan-jangan ini pertanda kalau ia adalah anak yang akan merebut tahtaku.”

Permaisuri menenangkan kegundahan sang raja. “Musa masih terlalu kecil, itu hanya tingkah polah sebagaimana yang biasa anak-anak lakukan”.

Namun Raja masih penasaran. Raja bermaksud menguji Musa. Ia sungguh khawatir jika Musa adalah orang yang dinubuwwahkan untuk mengambil alih tahtanya, sebagaimana yang ditakwilkan para penasihat tentang mimpinya.

Kemudian Fir’aun memanggil Musa, lalu meletakkan dua buah mangkuk di depannya. Satu mangkuk berisi bara api, sedangkan yang satunya berisi makanan kesukaan Musa. Melihat makanan kesukaannya, otomatis Musa mengulurkan tangan hendak mengambil isi mangkuk tersebut.

Namun dengan kuasa Allah, malaikat menukar isi mangkuk tersebut, hingga Musa mengambil bara dan terlanjur memasukkannya ke mulut. Akibat termakan bara api itu membuat Musa menjadi cadel, bicaranya menjadi tidak jelas.

Asiah dan Firaun merawat Musa
Ilustrasi Asiah dan Firaun merawat Nabi Musa As saat kecil.

Melihat Musa salah memilih. Giranglah hati Raja. Anak ini bukan anak pintar, buktinya ia tidak bisa membedakan mana makanan mana yang bukan. Berarti anak ini tidak berbahaya buatku dan kerajaanku. Hanya orang yang penuh akal yang mampu mengambil tahta ini dariku, demikian pikir Raja.

Itu pula yang menjadi alasan kenapa malaikat menukar isi mangkuk tersebut. Agar Fir’aun, sang raja tidak curiga. Dan membiarkan Musa tetap tinggal dan tumbuh dalam istana Raja. Karena Musa memiliki tugas penting kelak terhadap kerajaan tersebut.

Nabi Musa Bertemu Syuaib

Sejak kecil Musa tumbuh dalam kemewahan istana Fir’aun. Musa menyaksikan bagaimana umat Bani Israil ditindas, dijadikan budak, dan diperlakukan dengan sewenang-wenang. Fir’aun merasa dirinya sebagai jelmaan tuhan, sebagai titisan Dewa Matahari yang bisa mengendalikan segala sesuatu sekehendak hatinya. Tak ada yang berani menentang kekuasaannya. Kerajaannya sedang berada di puncak kejayaan.

Musa tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan Fir’aun, berpakaian menyerupai Fir’aun dan mengenakan kendaraan yang sama. Yang membedakan adalah hati kecil Musa yang mudah tersentuh melihat ketidakadilan di sekitarnya

Musa masih remaja saat itu. Ketika sedang berjalan-jalan, ia melihat seorang Mesir sedang memukuli seorang budak dari Bani Israil. Musa berusaha melerai pertikaian tesebut. Namun orang Mesir itu tetap mencoba melayangkan pukulan pada budak tersebut, Musa menangkis pukulan tersebut dan mendorong agar orang itu menjauh.

Tapi ternyata dorongan tersebut membuat orang Mesir tersebut terjatuh dan melukainya hingga tak bisa bangkit lagi. Hal ini membuat Musa kaget sekaligus ketakutan. Ini adalah tindakan yang tidak disengaja. Tapi mana orang bisa percaya?

Bagaimana jika sang raja mendengar berita ini, sudah pasti ia akan terkena hukuman atas kesalahan yang tak disengaja. Apalagi Musa malah menolong budak Bani Israil bukannya membela orang Mesir. Bukankah Musa dibesarkan di Mesir, di kerajaan Fir’aun, tapi malah tindakannya mencelakai orang Mesir.

Musa tidak sengaja membunuh orang Mesir

Di tengah kebingungan tersebut, seseorang mendatangi Musa dan menasihati agar Musa pergi meninggalkan negeri Mesir. Maka Musa pun berlari sejauh mungkin ke arah timur menghindari kejaran pasukan Mesir.

Musa berlari hingga lelah. Dari Memphis hingga ke Madyan ditempuh selama 8 hari. Saat itu ia merasakan lelah dan lapar luar biasa. Kemudian ia memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon dekat sebuah sumur.

Musa melihat para gembala berebutan mengambil dari sumur untuk minum ternakternaknya. Sementara di belakang rombongan gembala itu ada dua gembala perempuan menanti dengan sabar. Ternak mereka terlihat kurus.

Musa mendekati kedua perempuan dan menanyakan kenapa mereka tidak turut mengambil air. Mereka menjawab harus menanti giliran karena mereka tidak bisa berebut air dengan gembala laki-laki lainnya. Ayah mereka sudah tua dan tak lagi memiliki tenaga untuk menggembalakan hewan ternak mereka.

Musa memutuskan menolong gembala perempuan mengambilkan air dari dalam sumur. Gembala perempuan merasa senang, setelah mengucapkan salam dan terima kasih, bergegas mereka kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, sang ayah bertanya mengapa mereka pulang lebih awal hari itu. “Hari ini, hari keberuntungan kami, ayah. Karena ada seorang pemuda yang membantu kami mengambilkan air untuk hewan ternak. Hingga kami tak perlu berlama-lama antre menunggu yang lain mengambil air,” jawab sang putri gembira.

“Jika demikian mengapa tak kalian ajak ia ke sini? Jamulah tamu tersebut dengan baik. Berikan makanan dan tempat tinggal untuknya beristirahat,” demikian sang ayah berkata. Menuruti kata-kata sang ayah, mereka kembali ke sumur tadi dan mengajak Musa untuk menemui ayah mereka sebagai tanda ucapan terima kasih.

Musa memenuhi ajakan perempuan gembala tersebut. Adapun perempuan gembala tersebut merupakan putri dari seorang nabi bernama Syuaib. Nama Syuaib secara harafiah memiliki arti (yang menunjukkan jalan kebenaran).

Qodarullah, hikmah pelarian Musa ke negeri Madyan malah mengantar dirinya pada seorang nabi besar saat itu. Musa tinggal sepuluh tahun lamanya berada dalam bimbingan Nabi Syuaib.

Nabi Syuaib adalah seorang pencari Allah yang ikhlas. Nabi Syuaib senantiasa mengajak umatnya agar menyembah Allah. Saat itu di negeri Madyan, umat berlaku tak adil dalam muamalah. Mereka tidak jujur dalam menakar dan menimbang.

Dalam konteks hubungan kepada Allah, takaran dan timbangan yang dimaksud dalam kisah Syuaib merujuk pada persoalan mengkadar urusan diri mengenai yang haq dan yang tidak haq. Setiap orang memiliki urusan yang harus ditunaikan yang telah diamanahkan Allah. Urusan tersebut tak akan melampaui kadar dari masing-masing diri.

Syuaib mengajak umat agar masing-masing mengkhidmati keadaan dirinya. Merenungi segala tindakannya, bermuhasabah untuk mencari tahu apa yang Allah ridhoi.

Syuaib juga dikenal sebagai Qadhi, hakim, orang yang bisa memutuskan perkara dengan tepat. Syuaib menjadi teladan bagi Musa untuk belajar berserah diri dengan benar. Syuaib mengajari Musa bagaimana menakar suatu urusan dengan tepat, agar Musa dapat mendekatkan diri pada Tuhan dengan benar, bukan sekadar waham.

Kelak, saat Musa telah menjadi pemimpin umat Ibrani, Syuaib juga yang menasihati Musa dalam mengatur semua urusan dengan rapi sesuai kemampuan diri. Tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas.

Semua yang ada dalam diri harus ditunaikan haknya, tubuh butuh istirahat, keluarga butuh teladan, umat butuh imam, hati pun menuntut haknya untuk selalu mengingat Allah. Itu semua mesti disikapi dengan tepat.

Syuaib berkata kepada kaumnya,

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan, janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, sesungguhnya aku melihat kalian mampu melakukannya. Dan, janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi,”

Namun penduduk Madyan menentang Syuaib dan tak mau mengakui Allah. Syuaib berkata,

“Bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku rezeki yang baik? Aku tidak bermaksud melarangmu. Selama aku masih sanggup aku akan mengajak kalian untuk mengadakan perbaikan. Dan, mohonlah ampun kepada Rabb, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.”

Seorang nabi yang datang akan menuntun umat untuk memperbaiki taubatnya. Taubat yang murni dan ikhlas. Adalah tugas pokok seorang nabi untuk mengantar umatnya agar lebih akrab pada Allah, Rabb penguasa alam.

Wahyu Pertama di Gunung Thursina

Sampai pada waktunya, Musa bersama keluarganya hijrah dari Madyan. Setelah sepuluh tahun tinggal bersama Syuaib, Musa bersama keluarganya berkelana selama 30 tahun.

Saat Musa dan keluarganya melewati Gunung Thursina (Sinai), Musa melihat pohon berapi. Dikiranya telah terjadi kebakaran. Lekas-lekas Musa mendatangi semak tersebut. Musa meminta keluarganya untuk tetap tinggal, sedangkan Musa sendiri yang naik ke Gunung Thursina.

Nabi Musa Mendapat Wahyu Pertama di Gunung Thursina
Nabi Musa mendapat wahyu pertama di Gunung Thursina

Sesampainya di atas gunung, dilihatnya pohon itu menyala tanpa api. Tiba-tiba terdengar suara memanggil, “Musa, wahai Musa.”

“Aku di sini.” Musa menjawab sambil kebingungan mencari-cari asal suara tersebut.

“Mendekatlah kepadaku. Tanggalkan alas kakimu karena ini tempat suci. Sesungguhnya Aku ini Allah, Tuhannya Ibrahim, Ishaq, dan Yakub. Ketahuilah, Aku sudah mendengarkan jeritan hamba-Ku di Mesir. Aku turun untuk membebaskan kaum Israel dari tekanan Mesir dan membawa mereka (hijrah) menuju suatu negeri yang luas. Tanahnya kaya dan subur. Sekarang Aku utus engkau untuk menghadap raja Mesir supaya engkau dapat memimpin bangsa-Ku keluar dari negeri tersebut,”

Musa menjawab, “Bagaimana caranya wahai Allah, untuk membawa bangsa yang besar tersebut keluar dari negeri Mesir?”,

“Sesungguhnya Aku akan menolong engkau.”

Berkata Musa, “Tetapi bagaimana andai kata orang-orang Israel tidak mau percaya dan tidak mau mempedulikan kata-kata saya?”

Baca juga:  Kisah Nabi Daud 'Alaihissalam

Allah menjawab, “Apakah itu yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?”

“Ini adalah tongkatku, aku bertumpu pada tongkatku untuk mengambil daun untuk ternakku dan berbagai keperluan lainnya.”

Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkatmu, Musa,”

Musa menuruti perintah Tuhan dan terkejut ketika melihat tongkat tersebut berubah wujud menjadi ular yang panjang dan besar. Namun Allah menghibur agar Musa tidak ketakutan, jika dipegang oleh Musa maka ular tersebut akan kembali ke bentuknya semula, menjadi tongkat Musa.

Salah satu mukjizat Nabi Musa, tongkat menjadi ular besar
Salah satu mukjizat Nabi Musa, tongkat menjadi ular besar.

Allah juga mewahyukan kepada Musa untuk memasukkan tangannya ke dalam jubah dari dalamnya keluar cahaya putih.

Kenapa Allah menanyakan apa yang Musa pegang? Padahal Allah Maha Tahu dan Maha Melihat. Pertanyaan tersebut sebagai simbol bahwa tugas yang akan dilakukan Musa terkait dengan apa yang menjadi “pegangan” Musa.

Jika seseorang bertakwa, maka ketakwaan tersebut akan mencahayai apa yang menjadi urusannya sehari-hari. Tangan Musa yang bercahaya bisa mengubah tongkat tersebut. Tongkat yang akan menjadi perpanjangan cara Allah untuk membantu Musa dalam berdakwah.

Kenapa Allah mengubah tongkat Musa menjadi ular? Apa istimewanya seekor ular? Karena bagi bangsa Mesir, ular merupakan sosok suci yang menjadi simbol spiritual. Ular dijadikan lambang kerajaan karena dianggap memiliki keghaiban yang melebihi binatang lainnya.

Para ahli sihir dapat menghadirkan ular-ular. Namun ular dari tongkat Musa akan membinasakan semua ular-ular para ahli sihir. Berarti Musa memiliki kekuatan spiritual yang jauh melampaui para ahli sihir tersebut.

Doa Nabi Musa As

Musa berkata, “Ya Tuhan, saya bukan orang yang pandai bicara, baik dahulu maupun sekarang. Saya berat lidah, bicara lambat, dan tidak lancar,” Musa menjadi sulit bicara karena pernah memakan bara api saat di uji oleh Fir’aun waktu kecil. Akibat memakan bara, Musa dapat tinggal aman di istana Fir’aun.

Allah berfirman, “Siapakah yang memberi mulut kepada manusia? Siapa yang membuat ia bisu atau tuli? Siapa yang membuat ia melek atau buta? Aku akan menolong engkau berbicara dan mengajarkan apa yang harus kau katakan.

Musa berdoa,

“Ya Robb, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”

Musa kemudian bermohon agar diizinkan mengajak Harun untuk membantu perjuangannya. Harun adalah kakaknya Musa.

Allah berfirman, “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonanmu, wahai Musa. Pergilah kalian berdua dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kalian lalai dalam mengingat-Ku. Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas. Maka sampaikanlah kebenaran dengan kata-kata yang lemah lembut.”

Setelah Musa mengajak Harun, kembali mereka menghadap Allah. Allah berfirman, “Berangkatlah kalian berdua dengan membawa ayat-ayat Kami. Kalian berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang akan menang.”

Musa menjawab, “Rabbku lebih mengetahui orang yang patut membawa petunjuk dari sisi-Nya dan siapa siapa yang mendapat kesudahan yang baik di negeri akhirat.”

Wabah dan Bencana Menimpa Fir’aun

Musa dan Harun pergi ke istana Fir’aun. Fir’aun merupakan gelar bagi raja Mesir kuno. Kini Mesir telah dipimpin raja baru, putra dari raja Mesir yang dulu membesarkan Musa. Fir’aun yang membesarkan Musa telah lama wafat.

Raja Mesir sekarang adalah teman sepermainan Musa saat di istana dulu. Putra mahkota yang sangat mengenal Musa dan tahu bagaimana berubahnya seorang Musa, sejak dibesarkan dalam gelimang harta hingga menjadi seorang pencari Tuhan. Musa berusia 80 tahun saat kembali ke Mesir.

Meski dulunya dibesarkan dalam istana Fir’aun, tetap saja hati Musa diliputi kekhawatiran menghadapi kekuasaan raja Mesir.

Dalam ketundukan kepada Allah, Musa memasuki istana Fir’aun nan megah, dengan pilar-pilar tinggi seakan hendak menembus langit, teras yang luas, tangga menuju istana yang dikelilingi tembok kokoh dan dijaga oleh pengawal-pengawal pilihan.

Kilauan emas permata yang disematkan dalam ukiran dinding menambah gemerlap istana. Peralatan makan dan minum dari perak bersalut platina, pejabat istana berlalu lalang mengenakan jubah sutra berhias benang emas dan kereta kuda yang ditarik kuda gagah dan terawat, semua menjadi penghias istana.

Musa dan Harun menuju F ir’aun untuk menyampaikan pesan Allah, agar Fir’aun mengimani Tuhan yang telah mengutus Musa.

Musa berkata, “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhan. Dan, keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.”

Berkata Fir’aun, “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?”

Musa pun berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan sifat-sifat Allah kepada tiap ciptaan sesuai dengan kemampuan masing-rnasing.”

“Maka bagaimanakah keadaan umat yang terdahulu (yang belum mengenal Allah), tanya Fir’aun”.

Musa menjawab, “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab (lauhul mahfuzh).”

Fir’aun masih terus melanjutkan pertanyaan kepada Musa tentang siapakah Allah itu. Mengapa Tuhan Musa tak terlihat? Ada di mana Tuhannya Musa? Tinggal di mana Tuhan itu? Dan, berbagai pertanyaan lainnya.

Hal ini ia lakukan karena Fir’aun menyangka raja Mesir itulah Tuhan bagi manusia. Karena raja memiliki kuasa atas rakyatnya. Raja dapat mengendalikan keadaan bangsa dan umatnya.

Setelah diskusi panjang mengenai Tuhan, Musa menyampaikan tujuannya untuk meminta Fir’aun agar berkenan membebaskan rakyat Bani Israil atau bangsa Ibrani dari perbudakan. Karena bangsa tersebut telah menjadi umat-Nya, maka mereka harus menyembah Tuhan yang satu.

“Adakah engkau datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri ini dengan sihirmu, wahai Musa?”

Fir’aun mengira Musa sama saja dengan ahli sihir lainnya. Ahli sihir mengunakan tipu daya dalam melakukan sihirnya. Padahal apa yang ditampakkan oleh Musa adalah karena Allah, bukan dari sihir.

Lalu Fir’aun mengatur pertemuan agar Musa dapat bertanding dengan para ahli sihir terhebat di negeri Mesir. Jika Musa menang maka Fir’aun berjanji akan mengikuti Tuhannya Musa. Musa pun menunggu waktu yang telah ditentukan.

Saat Musa tak ada, berkata Fir’aun, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui bahwa ada tuhan lain selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat (untuk dibuat batu bata), kemudian buatkanlah bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik ke pintu langit dan melihat Tuhannya Musa dan bisa jadi Musa hanya berdusta tentang Tuhannya.”

Fir’aun masih belum yakin dengan Tuhannya Musa, kecuali jika ia dapat menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri.

Lalu Fir’aun mengatakan ia akan menghukum Musa karena telah membuat Tuhan yang lain.

Lalu, penasihat Fir’aun berkata, “Apakah engkau akan menghukum seseorang yang mengatakan “Tuhanku adalah Allah?’ padahal dia telah datang dengan membawa banyak bukti dari Tuhan. Jika Musa seorang yang benar niscaya bencana akan datang menimpamu. Tidakkah engkau mengambil pelajaran dari kisah kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud dan orang-orang yang datang sesudah mereka? Allah akan mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.”

Fir’aun menunda menghukum Musa karena ia takut jika Musa seorang yang benar. Bagaimana pun, Fir’aun ini tumbuh bersama-sama dengan Musa. Ia paham Musa tak akan mendustakan apa yang diyakininya.

Setelah beberapa waktu, Musa kembali mendatangi raja Mesir dan memohon kemurahan hati raja agar berkenan membebaskan umat Musa dari negeri Mesir. Namun Fir’aun malah menghadirkan ahli sihirnya untuk menguji Musa. Fir’aun mendatangkan ahli sihir terbaiknya untuk mengalahkan Musa.

Mengapa Fir’aun mengatakan Musa sebagai ahli sihir? Karena keajaiban yang ditampakkan Musa serupa dengan yang ditunjukkan para ahli sihir. Misalnya saja, ketika Musa mengubah tongkat menjadi ular, para ahli sihir dapat melakukan hal yang sama.

Demikian pula ketika Musa memukulkan tongkatnya ke sungai sehingga air sungai berubah menjadi merah darah, para ahli sihir dapat melakukannya juga. Namun apa yang dilakukan Musa jauh lebih hebat dan abadi. Bukan sekadar tipuan mata sesaat sebagaimana yang dilakukan para ahli sihir.

Para ahli sihir tak menggunakan kekuatannya karena Allah telah menutup kekuatan lain, selain kekuatan yang ditunjukkan Musa.

Melihat apa yang ditunjukkan Musa, para ahli sihir segera sadar bahwa apa yang dilakukan Musa bukan sihir, melainkan berasal dari sesuatu yang lebih hebat. Ini pasti dari Tuhannya Musa, pikir mereka.

Tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata, “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa.”

Berkata Fir’aun, “Apakah kalian telah beriman kepada Musa sebelum aku memberikan izin? Jika kalian lebih percaya kepada Musa maka aku sebagai raja akan menghukum kalian.”

Tapi ahli sihir tidak takut dengan kemarahan Fir’aun karena menyadari ada kuasa Allah yang luar biasa dari mukjizat yang ditunjukkan Musa.

Lalu melalui Musa, Allah memberi peringatan kepada Fir’aun melalui bencana yang akan menimpa negeri Mesir yang tidak akan bisa dihentikan oleh para ahli sihir mana pun. Allah mendatangkan gangguan pada negeri Mesir berupa bencana.

Ketika bencana terjadi, Fir’aun mohon agar Musa mendoakan Mesir. Fir’aun berjanji jika bencana berakhir maka ia akan mengizinkan Musa pergi dari Mesir bersama umatnya.

“Aku akan membiarkan kau pergi bersama umatmu keluar Mesir,” demikian janji Fir’aun.

Namun ketika bencana telah reda Fir’an berubah pikiran lagi. “Tidak… tak akan kubiarkan Musa membawa pergi budak-budakku. Sesungguhnya aku membutuhkan mereka sebagai budakku,” demikian Fir’aun berkata.

Bencana demi bencana silih berganti berdatangan. Mulai dari sungai darah, wabah katak, hingga wabah lalat yang memenuhi seluruh langit Mesir.

Seekor lalat bahkan bersarang di dalam hidung Fir’aun membuat hidung Firaun terasa gatal. Jika gatal mendera Fir’aun memukul hidungnya sendiri dengan tongkat sampai kesakitan. Kemudian Fir’aun minta Musa menghilangkan wabah tersebut.

Sekali lagi Musa bermohon kepada Allah dan Allah mengangkat bencana tersebut hingga Mesir kembali aman dan tenang. Tapi ketika wabah berlalu, Fir’aun kembali mengingkari janjinya. Jika bencana itu selesai, Fir’aun mengatakan, “Itu adalah usahaku, kerja keras dariku sehingga bencana tersebut dapat diatasi.”

Namun ketika bencana kembali datang, Fir’aun menyalahkan Musa, ini pasti akibat Tuhannya Musa. Demikian terjadi berulang kali. Sudah sepuluh kali peringatan diberikan melalui bencana wabah. Setelah itu Allah berfirman, agar Musa hijrah bersama umatnya ke tanah yang dijanjikan. Berangkatlah Musa pada malam hari meninggalkan Mesir.

Namun Fir’aun tak mau kehilangan budak-budak dari kalangan Ibrani. Fir’aun perintahkan tentaranya untuk mengejar rombongan Musa. Melihat pasukan tentara bersenjata lengkap dengan kuda-kuda pilihan, tentu saja membuat gentar umat Musa.

Tapi Musa menenangkan umatnya dan berkata, “Jangan takut! Bertahanlah! Kalian akan melihat apa yang dilakukan Tuhan untuk menyelamatkanmu. Tuhan akan berjuang untukmu, tanpa perlu kalian lakukan suatu apa pun.”

Kisah Nabi Musa Membelah Laut

Perjalanan yang mereka tempuh berujung pada Laut Merah. Musa dan umatnya terhenti tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Tidak akan mungkin mereka menyeberang tanpa perahu. Bagaimana mereka bisa menyelamatkan diri? Sedangkan di depan mata lautan luas dan dalam menghadang langkah.

Sementara di belakang mereka pasukan Fir’aun mengejar terus. Para wanita mulai resah, bayi-bayi menangis seolah turut merasakan getar ketakutan. Musa memandang umatnya dan mengharapkan pertolongan Tuhan.

Di tengah kekhawatiran menunggu perintah Tuhan, Musa mengacungkan tongkatnya, meski belum tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tiba-tiba saja kuasa Allah bekerja saat itu. Air laut tersebut terbelah membentuk jalan yang bisa dilalui oleh rombongan Musa.

Nabi Musa Membelah Laut
Nabi Musa Membelah Laut

Kejadian tersebut tentu saja mengejutkan semua orang yang melihat, bahkan para tentara Fir’aun. Semua terkesiap menyaksikan keajaiban alam tersebut.

Lautan itu seperti puding yang dibelah dua. Limpahan air berkumpul menjadi dua bagian, tinggi menjulang menyerupai tembok air maha tinggi dan lebar. Ribuan meter tingginya. Hanya kekuatan Allah yang kuasa membendung lautan demikian luas dalam sekejap mata.

Semua hewan laut tak ada yang menembus tembok air tersebut. Hewan-hewan itu seperti dibatasi tembok kaca. Padahal itu kumpulan air yang terbendung yang bisa mereka sentuh dan rasakan saat itu.

Tak pernah terbayangkan mereka bisa berjalan di tengah lautan tanpa tenggelam sama sekali. Bagaimana jika tiba-tiba air itu turun dan tumpah?

Di sanalah iman umat Musa diuji, bagaimana mereka tetap membangun rasa percaya bahwa Allah akan menolong mereka.

Mereka menempuh jalan kering yang terbentang di tengah lautan. Seperti sedang memasuki terowongan dasar laut. Musa dan rombongan tiba dengan selamat di seberang laut.

Sementara Fir’aun dan pasukannya berusaha tetap mengejar. Mereka mengikuti rombongan Musa melewati jalan di tengah laut tersebut.

Firaun dan pasukannya mengejar Musa
Firaun dan pasukannya mengejar Musa

Namun, Allah berkehendak untuk memisahkan umat yang iman kepada-Nya dan yang tidak iman. Saat fajar mulai merekah, ketika pasukan Fir’aun masih berada di tengah lautan, tembok air tersebut mulai runtuh bak tsunami besar. Menghantam apa pun yang ada di hadapannya.

Pasukan Fir’aun terjebak di tengah air, tak tahu harus melakukan apa, tak bisa kembali apalagi terus melanjutkan. Pasukan Fir’aun terkubur di kedalaman lautan.

Saat tembok air runtuh bak tsunami, Fir’aun pun berdoa, “Ya Allah aku bersalah. Sungguh aku beriman kepada Tuhannya Musa.”

Di ujung ajalnya, Fir’aun mengakui Tuhannya Musa. Sungguh tiada daya dan upaya manusia tanpa pertolongan Allah. Semoga Allah berbelas kasihan pada manusia yang berjuang menuju jalan yang Allah kehendaki.

Nabi Musa As dan umatnya kembali melanjutkan perjalanan hingga sampailah mereka di Padang Tih. Perjalanan yang panjang, terjal, dan meletihkan ini telah menghabiskan banyak perbekalan. Anak-anak menangis kelaparan, orang dewasa kebingungan.

Di mana mereka akan mendapatkan makanan? Gurun ini demikian tandus. Tak ada tanaman, tak ada hewan yang dapat dimakan apalagi air untuk pelepas dahaga. Mereka tak punya pilihan selain memohon agar Tuhannya Musa berkenan mendatangkan makanan.

Meski segala keajaiban dan mukjizat terpampang dalam perjalanan mereka, namun tak urung mereka merasakan kekhawatiran, takut jika Tuhan tak lagi berkenan atas mereka.

Sekali lagi Musa menenangkan, bahwa Allah tak akan mungkin membiarkan umat-Nya mati kelaparan, sepanjang mereka beriman dan bertawakal kepada-Nya. Allah kuasa melakukan apa pun.

Lalu Musa berdoa kepada Allah. Musa memukulkan tongkatnya ke dua belas batu. Dari masing-masing batu tersebut keluar mata air. Musa berkata, kedua belas mata air itu diperuntukkan untuk masing-masing suku. Agar tidak terjadi perebutan dan mereka bertanggung jawab terhadap anggota sukunya.

Baca juga:  Kisah Nabi Hud As

Kedua belas suku tersebut adalah keturunan dari anak-anak Yakub, yaitu keturunan Yusuf bersaudara. Masih ingat kisah Yusuf dan sebelas saudaranya? Ada suku Yehuda yang garis keturunannya melahirkan raja-raja andal.

Para keturunan Yehuda juga disebut Yahudi. Keturunan mereka di antaranya adalah Daud dan Sulaiman. Mereka merupakan orang-orang yang kuat dan cerdas serta memiliki bakat kepemimpinan.

Ada suku Lewi yang menurunkan para imam dan nabi, di antaranya adalah Nabi Yahya dan Isa. Bahkan Nabi Musa pun merupakan keturunan Lewi. Demikian masing-masing suku memiliki karakteristik dan keunggulan masing-masing. Baik dari bentuk tubuh maupun keutamaannya.

Namun umat Musa juga kelaparan dan meminta agar diturunkan makanan. Allah pun mewahyukan akan mendatangkan makanan dari langit dan dari bawah kaki mereka. Makanan itu akan selalu datang saat mereka betul-betul membutuhkan.

Adapun makanan yang diturunkan dari langit dinamakan “salwa” berupa burung-burung yang dapat dimakan, sejenis burung puyuh. Sedangkan makanan yang tumbuh dari tanah disebut “manna” berupa tanaman jamur yang langsung dapat mereka makan.

Hanya saja ada satu syarat yang harus dipenuhi, mereka hanya boleh mengambil makanan yang dibutuhkan pada sehari itu saja. Umat Musa tak boleh makan secara berlebihan apalagi menyimpan makanan untuk cadangan esok hari.

“Makanlah sesuai kebutuhanmu pada hari ini. Jangan berlebih-lebihan. Jangan menyimpan makanan untuk esok hari. Karena Allah telah menyediakan rezeki makanan pada setiap matahari terbit,” demikian sabda Musa.

Selama umat taat dan yakin akan kemurahan Allah dan selama umat Musa tak berputus asa dari rahmat Allah, maka akan Allah datangkan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.

Tentu saja itu merupakan hal mudah bagi Allah. Allah Maha Pemberi Rezeki. Namun, rezeki menjadi sulit didapat jika umat tak lagi memiliki keyakinan akan rahmat Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang.

Kaum Ibrani sudah merasa nyaman tinggal di Padang Tih. Padahal tempat itu hanya merupakan tempat persinggahan sementara. Tujuan akhir mereka adalah mencapai Baitul Maqdis di Yerussalem.

Namun untuk mencapai tempat tersebut mereka harus melewati benteng Yeriko. Di dalam benteng tersebut ada bangsa yang terkenal dengan prajurit yang gagah bertubuh raksasa. Musa mengirim 12 orang terbaiknya untuk melihat kondisi negeri tersebut. Namun mereka menolak, hanya dua orang yang bersedia, mereka adalah Yusya dan Kaleb.

Musa berkata, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikanNya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. Masuklah kalian ke bumi suci yang telah Allah tentukan bagi kalian, dan jangan berbalik ke belakang.”

Umat Musa menjawab, “Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri tersebut ada orang-orang yang gagah perkasa, kami tak akan mau memasuki negeri tersebut sebelum mereka keluar dari negeri tersebut.”

Bangsa Filistin yang ada dalam benteng Jericho memang terkenal sebagai bangsa yang suka berperang, tubuh mereka tinggi besar seperti raksasa.

Yusya dan Kaleb turut menyemangati umatnya, “Hendaklah kalian bertawakal kepada Allah jika kalian benar-benar orang beriman.”

Karena penolakan tersebut, umat Musa hidup terkatung-katung di Padang Tih selama 40 tahun.

Kisah Nabi Musa dan Khidir

Setelah diturunkan berbagai mukjizat, tiba saatnya bagi Bani Israil untuk melanjutkan perjalanan. Untuk meneruskan perjalanan memasuki kota, mereka harus berperang. Karena penduduk di dalam kota tersebut adalah para penyembah berhala, mereka tentu tak mau menerima umat Musa yang bertuhan Allah.

Padahal kota tersebut merupakan hak umat Musa karena telah diwasiatkan oleh nenek moyang mereka, yaitu Ibrahim dan Yakub. Sebagian wilayah tersebut adalah Kan’an dan kota-kota sekitar Mesopotamia (sekarang negeri Irak).

Karena umat Musa sudah merasa nyaman berada di sahara Padang Tih, mereka menolak perintah Musa. Karena penolakan tersebut, maka mereka tertahan selama 40 tahun di Padang Tih, tak bisa melanjutkan perjalanan, tak bisa memasuki Baitul Maqdis.

Allah menghukum mereka dengan tertundanya langkah mereka menuju Baitul Maqdis. Mereka hidup terkatung-katung selama 40 tahun di Padang Tih.

Padang Tih
Padang Tih

Saat itu Musa telah berusia lanjut, ajalnya kian dekat. Musa merasa khawatir dengan umat yang akan ia tinggalkan. Musa merasa tak akan ada lagi seseorang yang ilmunya melebihi ilmu yang ia miliki. Ia khawatir umatnya kembali seperti dulu dan menyembah patung berhala lagi.

Ketika seorang dari kalangan umatnya bertanya, “Adakah orang yang lebih berilmu dibanding engkau saat ini, wahai Musa.”

Musa menjawab, “Tidak ada.”

Allah Maha Mendengar bisikan hamba-Nya. Jawaban Musa tersebut didengar Allah lalu turunlah wahyu, “Pergilah engkau ke pertemuan dua lautan, engkau akan bertemu seseorang di sana. Seseorang yang lebih berilmu darimu.”

“Bagaimana aku dapat mengetahui tempat tersebut?” Tanya Musa.

“Bekal yang kau bawa akan hidup. Pertanda engkau telah sampai di tempat yang dimaksud.”

Berangkatlah Musa bersama Yusya. Mereka membawa bekal berupa ikan. Ketika mereka sampai di suatu tempat, tiba-tiba Yusya melihat ikan tersebut hidup dan dengan caranya berenang sampai ke lautan.

Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Yusya menjadi mengantuk. Saat terjaga kembali, Yusya lupa memberitahu hal tersebut kepada Musa.

Setelah menempuh perjalanan panjang, Musa meminta Yusya membuka bekalnya. Yusya teringat bekal tersebut hidup kembali dan dengan cara yang aneh kembali ke lautan.

Yusya berkata, “Tahukah engkau tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu. Ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”

Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.”

Mereka kembali ke tempat di mana ikan tersebut hidup. Di tempat tersebut, di pertemuan dua lautan, Musa bertemu sosok yang dimaksud. Musa melihat seseorang dengan jubahnya yang kehijauan. Tidak hanya jubahnya yang kehijauan, melainkan apa pun yang ada didekatnya juga bernuansa kehijauan.

Dia adalah Nabi Khidir. Khidir secara harfiah bermakna ‘Hijau’.

Musa berkata kepada Nabi Khidr, “Bolehkan aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Khidr menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan, bagaimana kamu dapat sabar terhadap berita yang kamu belum memiliki pengetahuan yang lengkap tentang hal itu?”

Musa berkata, “Insya Allah, engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan ‘amr-mu.”

Khidr berkata, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah menanyakan tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.”

Kisah Nabi Musa dan Khidir

Musa menyetujui apa yang diminta Khidr. Maka berjalanlah keduanya bersama-sama. Dalam perjalananan tersebut Khidr melakukan tindakan yang menurut Musa tidak patut dilakukan. Musa memprotes tindakan Khidr.

Khidr mengingatkan, “Bukankah aku telah berkata, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat sabar bersama dengan aku.” Musa meminta maaf dan mohon izin agar tetap diperbolehkan mengikuti Khidr.

Namun sekali lagi Khidr melakukan tindakan yang tidak lazim, sehingga Musa memprotes dengan keras. Khidr kembali mengingatkan, dan Musa mohon agar Khidr berkenan menerimanya kembali untuk melanjutkan perjalanan. Sekali lagi Khidr bertindak sesuatu yang di luar pemahaman Musa.

Setelah tiga kali berturut-turut Musa menanyakan tentang tindakan Khidr yang bertentangan dengan syariat, Khidr berkata, “Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar terhadapnya. Dan, bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.”

Lalu Khidr menjelaskan makna dari tiap perbuatannya tersebut. Sesungguhnya apa yang dilakukan Khidr adalah atas petunjuk Allah ta’ala. Segala pengetahuan ada di sisi Allah ta’ala. Tak semua hal dapat kita pahami dan tak semua hal dapat kita Sikapi dengan benar.

Maka, hendaklah kita bermohon kepada Allah ta’ala agar diberikan petunjuk untuk dapat menyikapi persoalan hidup dengan benar dan ridho-Nya ta’ala. Semoga Allah berkenan menuntun kita pada perkara-perkara yang diridhoi.

Nabi Musa Uzlah ke Gunung Thursina

Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa untuk uzlah, menyendiri di gunung Sinai selama 40 hari lamanya. Turun perintah untuk berpuasa selama 40 hari sebagai cara menyucikan diri untuk menerima Taurat.

Lalu Musa mengajak Yusya untuk mengurus keperluannya selama menunggu waktu pentahbisan sebagai nabiyullah di Gunung Sinai (Thursina). Sedangkan semua urusan umat diserahkan kepada Harun.

Gunung Thursina
Gunung Thursina

Musa mohon petunjuk kepada Allah bagaimana cara menata umatnya dalam mengabdi kepada-Nya. Lalu Allah menurunkan 10 perintah. Allah juga mewahyukan aturan syariat dalam peribadatan serta aturan tata kemasyarakatan kepada Musa.

Berbagai wahyu tersebut ditulis oleh Musa dalam lembaran Taurat. Lalu Musa melakukan kurban sebagai simbol memotong dan membakar dosa-dosa yang tak dikenali. Allah juga mewahyukan kepada Israil untuk membuat peti untuk tempat menyimpan lembaran Taurat.

Peti itu dinamakan Tabut Musa, karena di dalamnya tersimpan benda-benda kepunyaan Musa. Tabut ini serupa dengan tabut yang digunakan Musa saat bayi, ketika ia dilarung ke sungai Nil dan akhirnya ditemukan oleh Asiyah, permaisuri Fir’aun.

Tabut tersebut hanya bisa dibuat dan dipegang oleh orang yang bersih hatinya. Hanya kalangan imam-imam dan nabi yang dapat memegang dan membawa tabut tersebut. Tabut tersebut menjadi tanda apakah seseorang telah kuat keimanannya pada Allah atau tidak. Tak boleh sembarang orang menyentuhnya.

Musa berkata, “Sucikan dirimu, sucikan hatimu,” Karena Taurat adalah kalimat Allah yang berada dalam tabut tersebut. Hanya orang yang bersih hatinya yang dapat menyentuh Taurat.

Amanah Kepada Harun

“Kesejahteraan dilimpahkan atas Musa dan Harun. ” (QS. Ash shaafaat [37]:120).

Ketika Musa sedang uzlah di gunung Sinai, banyak persoalan yang terjadi. Umat menjadi resah. Mereka tak sabar ingin menyelesaikan perkara yang mereka hadapi serta segera mendapat solusi.

Sejak tak ada Musa, tak ada Tuhan yang berkata-kata secara langsung. Lalu mereka datang kepada Harun, meminta Harun untuk berbuat sesuatu yang dapat menjadi penyambung mereka kepada Tuhan, agar Tuhan kembali berkata-kata kepada mereka.

Harun menjawab bahwa dirinya telah diamanahkan Musa untuk mengatasi berbagai perkara selama Musa pergi ke Gunung Sinai. Apa pun yang disampaikan oleh Harun adalah berdasar hasil dari petunjuk Allah juga.

Namun umat tak mau mendengarkan Harun, karena Harun tak dapat ‘menghadirkan’, Allah sebagaimana yang dilakukan Musa. Allah selalu bicara langsung kepada Musa tanpa perantara. Sedangkan Harun tidak terlihat semegah Musa dalam menunjukkan mukjizatnya.

Tuhan berbicara kepada Harun melalui qalb atau perantaraan malaikat. Umat tidak siap menerima nabi selain Musa. Mereka hanya memahami bahwa seorang nabi hendaknya seperti Musa. Harun memberi pengertian kepada umat agar bersabar. Tunggulah sampai Musa kembali.

Namun mereka menjadi ragu karena ketika Musa mendaki gunung diliputi awan gelap dan hitam seperti akan ada badai besar. Mereka khawatir Musa tak kan kembali. Apa bukti kalau Musa masih selamat dan akan kembali? Demikian umat mencecar Harun.

Lalu datanglah kepada mereka seseorang yang menyamar, dia adalah Samiri. Samiri mengusulkan agar umat mengurbankan semua emas dan perhiasan rampasan dari negeri Mesir. Lalu semua emas itu dibakar hingga lebur dan mencair. Kemudian cairan emas itu dibentuk menjadi anak sapi dan dihidupkan.

Kaum Nabi Harun menyembah lembu (sapi)
Kaum Nabi Harun menyembah lembu (sapi) yang dapat berbicara.

Bagaimana patung anak sapi tersebut bisa hidup? Sedangkan seorang Harun, meski seorang nabi, tak bisa menghidupkan benda mati.

Saat pembelahan laut, malaikat Jibril hadir dengan kuda terbangnya. Tanah bekas jejak kuda Jibril diambil oleh Samiri kemudian dicampurkan ke patung anak sapi tersebut. Karena malaikat Jibril merupakan ruh al-amin, ruh yang menghidupkan, maka anak sapi itu pun bisa “hidup”.

Anak sapi itu bisa bersuara, “Wahai umatku, aku ini Tuhan kalian dan Tuhan Musa, namun Musa telah melupakanku,”

Umat menjadi takjub, karena mereka meyakini Tuhan akan berkata-kata kepada mereka, sebagaimana Tuhan berkata-kata kepada Musa. Sapi emas ini kemudian menjadi sesembahan bagi kaum Musa. Segala yang mereka tanyakan, dijawab oleh patung sapi yang mengaku jelmaan Tuhan.

Kenapa mereka membuat patung sapi? Karena di Mesir, sapi merupakan lambang kemakmuran. Tentu ini masih berkaitan dengan kisah Yusuf, ketika menakwilkan mimpi raja Mesir yang melihat 7 sapi gemuk dimakan 7 sapi kurus.

Sejak lama, Mesir menjadikan sapi sebagai simbol kemakmuran. Maka itulah kenapa simbol yang muncul dalam mimpi raja Mesir berupa sapi. Karena itu pula, Bani Israil yang hidup lama di Mesir mencontoh kebiasaan bangsa Mesir.

Saat umat kembali menyembah berhala. Harun berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya kalian diuji dengan patung anak sapi tersebut. Sesungguhnya hanya Tuhan yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku,”

Mereka menjawab, “Kami akan tetap menyembah patung anak sapi ini, hingga Musa kembali kepada kami.” Mendengar jawaban umatnya, Harun tak kuasa mencegah keinginan umat Israil.

Samiri sebetulnya sudah mengikuti rombongan Musa sejak keluar Mesir. Ia selalu mengikuti perjalanan tersebut dan mencari celah untuk menggoyahkan iman umat. Namun selama ada Musa ia tak berdaya apa-apa. Tak ada celah bagi Samiri untuk melakukan upaya jahatnya. Samiri merupakan putra Azazil. Masih ingat Azazil di kisah Adam?

Betapa terkejut Musa melihat umatnya kembali menyembah berhala berupa patung emas. Musa menegur Harun kenapa tak melakukan apa pun untuk menjaga keimanan umatnya?

Harun berkata, ia telah menyeru umat agar kembali pada Allah dan jangan menyembah berhala. Namun tak ada yang mau mendengarkan karena umat selalu membandingkan antara Harun dan Musa.

Musa bisa melakukan hal apa pun, bahkan bercakap-cakap langsung dengan Tuhan tanpa perantara. Sedangkan Harun tidak bisa melakukan hal itu. Allah berbicara kepada Harun melalui petunjuk di dalam hati.

Umat tak percaya. Mereka berpikir harusnya seorang utusan dapat berbicara langsung kepada Allah sebagaimana yang dilakukan Musa. Mereka ingin Harun melakukan semua hal yang biasa dilakukan Musa.

Tentu saja Harun tak dapat melakukan hal itu. Karena semua kemampuan yang dimiliki Musa berasal dari Allah. Harun tak dapat melakukannya tanpa izin Allah.

Baca juga:  Kisah Nabi Nuh As

Umat menganggap Musa lebih baik dan hebat ketimbang Harun. Sehingga semua perkataan dan nasihat Harun tak lagi didengarkan. Mereka mengabaikan teguran Harun. Bagi umat lebih baik mereka menyembah anak sapi yang bersuara seperti suara Tuhan, sambil menunggu Musa kembali, daripada mendengarkan nasihat Harun.

Kenapa demikian? Karena umat telah terbiasa dengan berbagai mukjizat dan keajaiban yang Musa tunjukkan, maka patung anak sapi emas yang bisa berbicara terlihat lebih hebat dan ajaib ketimbang seorang Harun.

Selain itu Harun tak mau membuat pertikaian di antara umat karena berbeda pendapat. Jangan sampai umat terpecah karena masing-masing memiliki pendapatnya sendiri.

Di antara mereka ada yang percaya kepada perkataan Harun dan sebagian lagi taat pada Samiri. Jika suara mereka terpecah menjadi beberapa golongan, maka pertikaian bahkan perang antar saudara bisa terjadi. Harun memilih diam dan menunggu Musa kembali.

Musa berdoa kepada Allah, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku (Harun) dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para Penyayang.

Lalu Musa memerintahkan agar patung tersebut dibakar hingga menjadi abu. Kemudian abunya dibuang ke laut. Seiring Samiri yang menghilang karena takut pada Musa.

Saat umat Musa melakukan kesalahan karena menyembah patung anak sapi emas, bumi pun bergoncang. Musa mengajak ke-70 Imam untuk memohonkan ampun dan berdoa,

“Ya Tuhanku, jika Engkau kehendaki maka umat ini dapat binasa dalam seketika. Sesungguhnya ini adalah cobaan dari-Mu. Engkaulah Tuhan yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya. Dan, tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau.”

Nabi Musa As di Madyan

Setelah Musa turun dari Gunung Thursina, mereka kembali melanjutkan perjalanan hingga sampailah mereka di negeri Madyan. Negeri yang pernah menjadi tempat pelarian Musa. Negeri tempat Nabi Syuaib berada.

Alangkah gembira Musa dapat bertemu dengan guru dan orang-orang yang disayanginya. Syuaib telah mendengar banyak mukjizat yang ditunjukkan Musa. Sebagai sesama hamba Allah, Syuaib turut bersyukur atas berbagai nikmat yang Allah limpahkan kepada umat Musa. Tentu di balik semua kelimpahan itu ada makna yang harus mereka pahami.

Nabi Musa As di Madyan

Kemudian selama Musa tinggal di Madyan, Syuaib melihat betapa Musa telah begitu sibuk dengan urusan umat. Seolah ia tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Syuaib melihat bagaimana umat sangat tergantung kepada Musa.

Segala hal diceritakan kepada Musa. Segala urusan disampaikan kepada Musa. Musa memutuskan banyak perkara umat dari hal yang kecil hingga persoalan besar. Dari urusan pertikaian keluarga hingga masalah akidah.

Lalu Syuaib berkata,

“Cara seperti itu akan melelahkan dirimu. Pekerjaan itu terlalu banyak untuk dibebankan hanya pada satu orang saja. Engkau harus mengajarkan kepada mereka perintah Allah dan menerangkan cara hidup yang baik dan apa yang harus mereka lakukan.

Pilihlah beberapa orang yang bijaksana, orang-orang yang taat dan takut kepada Tuhan, untuk membantu memutuskan perkara umat. Tunjuklah mereka dari suku-suku tersebut. Perkara-perkara penting yang tak dapat diselesaikan oleh perwakilan suku dapat diajukan kepadamu, wahai Musa.

Tetapi hendaknya perkara kecil sehari-hari dapat mereka selesaikan sendiri. Hal itu akan meringankanmu karena mereka turut bertanggung jawab.“

Demikian nasihat Syuaib kepada Musa.

Setelah itu Musa memilih 70 orang imam untuk bersama-sama dengannya melakukan peribadatan kepada Allah. Kemudian para imam menyampaikan kepada umat mengenai apa yang telah diwahyukan Allah kepada Musa.

Demikianlah, kini Musa dibantu oleh para imam dalam menyelesaikan perkara pada umat. Jika ada perkara yang rumit dan tak dapat diselesaikan oleh para imam, barulah mereka menghadap Musa.

Kisah Pengikut Musa Bernama Yusya

Di antara pengikut Nabi Musa As, ada seorang hamba yang saleh bernama Yusya. Dia seorang yang taat dan selalu mengikuti apa yang diperintahkan Musa, karena Yusya yakin apa yang disampaikan Musa berasal dari petunjuk Allah ta’ala.

Berbagai keajaiban yang mukjizat yang mewarnai perjalanan mereka dahulu telah menambah imannya kepada Allah. Tak ada keraguan terhadap Tuhannya Musa.

Yusya turut mendampingi Nabi Musa As saat bertemu Khidr. Yusya adalah seorang ditunjuk Allah menjelang wafatnya Musa.

Ketika Musa tahu ajalnya telah dekat, ia berdoa kepada Allah, “Ya Allah, yang memberi kehidupan kepada semua yang hidup, saya mohon, tunjuklah seseorang yang dapat memimpin bangsa ini; seorang yang dapat menjadi panglima saat bangsa ini berperang. Jangan biarkan umat-Mu ini seperti kawanan domba tanpa gembala.”

Lalu, Allah menunjuk Yusya untuk meneruskan tongkat estafet Musa. Nabi Musa As berkata kepada Yusya, “Hendaklah engkau teguh hati dan berani, Yusya! Engkaulah yang akan memimpin bangsa ini untuk menduduki negeri yang dijanjikan Allah. Allah yang akan membimbing dan menolongmu. Ia tak akan mengecewakan dan meninggalkanmu.”

Setelah Musa wafat, maka tak pernah lagi Allah berbicara langsung kepada hamba-Nya. Nabi Musa As mendapat gelar Kalamullah karena Musa dapat bercakap-cakap secara langsung dengan Allah tanpa perantaraan malaikat atau bisikan di qalbu.

Yusya meneruskan perjalanan memimpin umat Israil memasuki Baitul Maqdis di Yerussalem. Yerussalem adalah ‘tanah yang dijanjikan’ oleh Allah ketika mewahyukan Musa untuk membawa umatnya keluar dari Mesir.

Daerah yang menjadi wilayah mereka adalah Kan’an, Mesopotamia dan sekitarnya (termasuk Palestina). Umat yang dipimpin Musa adalah generasi baru setelah umat Musa. Mereka lebih siap untuk diajak berperang.

Di perjalanan, mereka kembali menghadapi sungai Yordan yang luas dan berarus deras. Sebagaimana Musa, Yusya memiliki mukjizat untuk membelah air sungai. Sehingga terbentang jalan kering di tengahnya untuk umat menyeberang.

Setelah seluruh pasukan lewat dengan aman dan selamat, air sungai kembali menutup seperti semula. Mengalir dan meluap seperti semula seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.

Rintangan belum berakhir. Allah membuat banyak rintangan-rintangan untuk menguji umat-Nya. Apakah mereka tetap beriman atau sebaliknya. Sepanjang mereka beriman maka Allah akan menjadi penolong mereka.

Selepas menyeberang sungai Jordan, merek

Sisa sisa peninggalan benteng Jericho
Sisa-sisa reruntuhan Benteng Jericho

a masih harus melewati benteng tembok besar dan panjang, bernama benteng Jericho di negeri Kan’aan. Benteng tersebut sangat kuat dan kokoh.

 

Konon, saking tebalnya tembok tersebut, sampai-sampai di atas tembok tersebut bisa memuat delapan kereta kuda yang disusun berdampingan. Bahkan bisa dibangun sebuah rumah di atas tembok tersebut.

Umat Israil merasa gentar melihatnya. Bagaimana mungkin mereka dapat melewati benteng nan kokoh tersebut? Mereka tak memiliki persenjataan yang memadai sebagaimana yang dimiliki raja yang mendiami benteng Jericho.

Benteng Jericho terletak di tanah Kan’an. Diberi nama Kan’an menyerupai nama putra Nabi Nuh. Nama yang sepertinya memiliki keterkaitan sejarah. Di tempat tersebut juga terdapat pahlawan perang yang gagah berani yang membuat Yusya sempat ragu, karena di antara mereka juga ada orang-orang beriman.

Namun, Allah memberi penguatan, bahwa Allah akan melindungi orang beriman. Peperangan harus dilakukan karena itu adalah tugas dari Allah. Siapa yang gugur, sepanjang ia beriman kepada Allah, akan menjadi syahid.

Sebelum memasuki kota, mereka harus melewati benteng terlebih dahulu. Jika hanya mengandalkan tenaga manusia sungguh tidak mungkin dilakukan. Selain tenaga mereka terbatas, mereka juga tidak memiliki peralatan memadai untuk merobohkan benteng tersebut.

Tenaga mereka bisa habis hanya untuk meruntuhkan benteng. Selain itu para tentara dalam kota tersebut pasti tak akan tinggal diam, mereka akan terus menyerang sebelum benteng itu sempat dirobohkan.

Atas petunjuk Allah, Yusya memilih tujuh imam Bani Israil untuk melakukan thawaf, berputar mengelilingi benteng sebanyak tujuh kali, sambil mengagungkan nama Allah. Saat para imam menyelesaikan putaran ketujuh, seketika terdengar suara gemuruh.

Dengan ketakwaan dari orang-orang saleh tersebut, ternyata benteng tersebut bisa roboh, sehingga umat dapat masuk ke dalamnya. Tentu saja mereka masih harus melewati para pengawal kerajaan yang tidak menghendaki Yusya dan umatnya masuk ke kota tersebut. Peperangan tak dapat dielakkan. Meskipun Yusya berkata bahwa inilah perintah Tuhan, namun raja tersebut memilih berperang untuk melawan Yusya.

Perang tak dapat dielakkan, pasukan mulai bersiap. Yusya berkata, “Saudara-saudara, dengarlah! Hari ini kalian maju berperang. Jangan takut dan jangan berkecil hati. Allah akan menolong dan memberimu kemenangan. Jika kalian merasa takut atau gugup maka pulanglah, jangan merusak semangat orang lain.”

Peperangan terjadi berhari-hari, hingga tibalah hari Jumat. Saat itu hari telah menjelang senja. Esok hari Sabtu merupakan hari sabat. Dalam keyakinan mereka, hari Sabtu merupakan saat kebaktian, tidak diperbolehkan untuk berperang.

Namun jika mereka tak melakukan peperangan ke mana mereka akan pergi berlindung? Tentara kerajaan pasti akan terus menyerang dan menjadikan kesempatan tersebut untuk memukul mundur umat Israil, umat yang dipimpin Yusya untuk memasuki tanah yang dijanjikan, yaitu Baitul Maqdis.

Yusya berkata, “Hai matahari! Berhentilah di atas tanah ini. Dan kau bulan! Janganlah berpindah.” Maka matahari berhenti dan bulan tak berpindah sampai orang Israil menyelesaikan perangnya dan memperoleh kemenangan.

Sehari penuh matahari berhenti di tengah-tengah langit, dan lama sekali baru terbenam. Tidak pernah terjadi suatu hari yang seperti itu. Allah mengabulkan doa Yusya. Matahari terbit lebih lama hingga akhirnya pasukan Yusya berhasil memperoleh kemenangan. Kemenangan yang membuat mereka dapat melanjutkan perjalanan menuju “tanah yang dijanjikan’.

Sebagaimana Musa, nabi pendahulu yang menjadi pembimbing Musa, banyak keajaiban dan mukjizat yang ditunjukkan oleh Yusya. Tentu saja semua keajaiban tersebut dihadirkan bukan tanpa tujuan. Semua semata untuk menambah keyakinan dan keimanan di hati para umat. Agar meyakini bahwa Allah mendengar doa mereka.

Meskipun umat sudah berada di jalan Tuhan, bukan berarti mereka tak diuji. Tembok tebal adalah suatu simbol bagaimana dalam perjalanan keimanan mereka masih akan menghadapi ‘tembok’ berupa masalah yang berat.

Yusya memimpin umatnya melampaui banyak peperangan. Usia Yusya sudah sangat tua dan mendekati ajal. Masih ada bangsa yang harus dikalahkan, yaitu bangsa Filistin, bangsa raksasa yang masih menyembah berhala. Namun usia Yusya sudah tak memungkinkan untuk memimpin peperangan.

Kelak, pertarungan dengan bangsa Filistin akan diteruskan oleh Nabi Daud. Pada masa Daud inilah Bani Israil mencapai kemenangan sempurna mengalahkan bangsa Filistin.

Menjelang wafat, Yusya mengambil perjanjian dari umatnya. Agar umat tetap dalam keimanannya kepada Allah yang satu. Mereka berjanji akan akan mengabdi hanya kepada Allah dan setia dalam menjalankan perintah-Nya.

Yusya telah melanjutkan tongkat estafet Musa dalam mengantarkan umat menuju tanah yang dijanjikan. Dimulai dari Musa yang membimbing umat keluar dari negeri Mesir, kemudian menyeberangi laut Merah, kemudian tinggal di sahara Padang Tih, melewati gunung Sinai untuk mencapai Madyan.

Setelah itu Yusya melanjutkan memimpin umat menyeberang sungai Jordan, menembus benteng Jericho, berperang demi mencapai Baitul Maqdis. Kelak Daud akan meneruskan perjuangan tersebut. Semua rute perjalanan yang ditempuh para nabi merupakan simbol dari hakikat tersembunyi.

Semoga para pencari Allah dapat menemukan keindahan di balik semua kisah perjalanan para nabi.

Kisah Nabi Musa dan Penggembala

Pengembala
Pengembala

Alkisah, ketika Nabi Musa sedang melintasi suatu padang, ia mendengar seorang penggembala sedang khusyu’ bercakap-cakap, tapi tidak terlihat ada orang lain di sekitarnya. Hanya hamparan padang rumput dan kumpulan ternak yang sedang digembalakan.

“Di manakah Engkau, agar aku bisa menjahitkan pakaian-Mu. Aku dapat menambal kaos kaki-Mu. Aku bisa menyiapkan tempat tidur-Mu. Aku bisa menyemir sepatuMu. Dan agar bisa membuatkan susu hangat buat-Mu,” Lirih suara penggembala memecah hening padang rumput.

Nabi Musa segera menyapa dan bertanya, “Wahai gembala, dengan siapakah engkau berbicara, sedangkan aku tak melihat seorang pun di sekitar sini?”

Penggembala tersenyum dan menjawab, “Aku sedang bercakap-cakap dengan Tuhan sang pencipta langit dan bumi. Tuhan sang pencipta siang dan malam. Tuhan yang menciptakan kita semua.”

Terkejutlah Musa mendengar jawaban polos dari penggembala. Nabi Musa berkata, “Bagaimana mungkin engkau memperlakukan Tuhan seolah-olah Dia manusia? Bisa makan minum dan mengenakan terompah? Itu adalah suatu penghinaan. Tuhan tidak sama dengan manusia. Dia Maha Sempurna dan tidak membutuhkan apapun dari manusia. Hentikan perkataanmu yang merendahkan Tuhan seperti itu.”

Setelah memberikan nasihat, Nabi Musa melanjutkan perjalanan. Sementara sang gembala menjadi kecil hatinya dan menangisi ketidaktahuannya tentang Tuhan.

Sementara itu Allah datang kepada Musa,

“Wahai Musa mengapa engkau pisahkan antara pecinta dan Yang Dicinta? Apakah engkau lupa, kalau engkau diutus untuk menyatukan pecinta dan Kekasih? Engkau telah menyakiti orang yang mencintai dan setia dengan-Ku. Apa yang telah kau lakukan pada penggembala tersebut telah mengusik ketenangan-Ku.”

Mendengar sabda Allah, Nabi Musa tersungkur sujud, mohon ampun kehadirat Allah untuk bertaubat atas kesalahannya. Betapa ia telah berprasangka pada seorang hamba yang menyatakan cinta kepada Allah melalui caranya.

Setiap orang memiliki cara sendiri untuk mendekati Allah ta’ala, untuk menyatakan cinta dan kerinduan kepada Sang Pencipta.

Bergegas Nabi Musa kembali ke tempat di mana ia bertemu dengan penggembala tersebut. Ketika bertemu dengan penggembala, Nabi Musa menyampaikan salam dan pesan dari Tuhan kepadanya. Sungguh, Allah menerima setiap pujian yang ditujukan hamba-Nya dengan sepenuh hati.

Setiap orang memiliki cara sendiri untuk menyatakan cinta kepada Tuhannya. Kedekatan seseorang terhadap Tuhan kadang demikian melekat hingga tak ada lagi batas antara aku dan Dia.

Nabi Musa mempersilakan gembala tersebut untuk mengucapkan perkataan apa pun kepada Allah, sebagaimana yang dulu ia lakukan.

Namun Nabi Musa kembali dibuat terkejut dengan jawaban sang gembala, “Sesungguhnya aku telah melampaui tahap kata-kata dan kalimat. Aku tidak ingin mengatakan apa pun. Hatiku ini sudah tercerahkan. Hanya hatiku yang berbicara dan paham.”

Sesungguhnya tak ada lagi kata-kata yang bisa diungkap ketika hati telah penuh oleh kehadiran Allah.

Demikianlah kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam beserta kaumnya. Semoga menambah khazanah pengetahuan kita, dan mengambil pelajaran di dalamnya.