Kisah Nabi Ismail As

Kelahiran Nabi Ismail As

Alkisah sekian lama Nabi Ibrahim As belum memiliki keturunan. Meski demikian, Ibrahim tak pernah lelah berdoa. Sejak usia 40 tahun, telah diwahyukan kepada Ibrahim bahwa kelak ia akan memiliki keturunan yang sangat banyak. Keyakinan tersebut membuat Ibrahim tak pernah lelah berdoa, tak putus berharap.

Saat itu usia Ibrahim sekitar 86 tahun ketika akhirnya Ismail lahir. Namun hal tersebut tak berlangsung lama karena Ismail harus berpisah dengan ayahnya. Ismail dibawa ke suatu tempat bernama Mekkah yang kelak menjadi cikal bakal dibangunnya baitul haram.

Ibrahim menitipkan anak dan istrinya kepada Allah melalui doa,

Robbana, sesungguhnya Kau telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Robbana jadikanlah mereka senantiasa mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung (berkasih sayang) kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka termasuk dalam golongan hamba yang bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]:37).

Saat itu kondisi tanah haram masih sangat sepi dan tandus. Ibunda Ismail kebingungan mencari air, hingga kemudian ia berlari-lari dari bukit Shafa ke bukit Marwah demi mencari pertolongan.

Selama tujuh kali ibunda Ismail berlari-lari hingga turunlah malaikat yang mengabarkan, “Kami telah mendengarmu.” Ini pula yang menjadi asal nama Ismail, berasal dari kata Yishmael, yang berarti, “Allah telah mendengarmu.”

Saat menangis kehausan bayi Ismail menghentakkan kakinya. Dari tempat Ismail menghentakkan kakinya itulah Ibunda Hajar menggali tanah dan memancar air zam-zam dengan deras, mata air abadi yang hingga kini masih bisa dinikmati oleh seluruh umat manusia.

Mata air ini tak pernah kering meski iklim selalu berubah dan zaman berganti. Setelah menikmati air zam-zam, kembali malaikat datang dan menghibur Hajar dengan mengatakan bahwa kelak Ibrahim dan Ismail yang akan mendirikan Baitullah, tempat beribadah bagi kaum muslim.

Hati Hajar pun menjadi tenang dan damai. Ia percaya akan janji Tuhan. Sebagaimana ia ikhlas ditempatkan di daerah gurun tersebut oleh Ibrahim. Karena percaya bahwa Ibrahim adalah seorang yang demikian dalam cinta dan baktinya kepada Allah ta’ala.

Air zam-zam ini menarik perhatian para musafir yang melewati daerah tersebut. Lambat laun semakin banyak suku yang tinggal menetap di dekat sumber air zam-zam dan membentuk keluarga di sana, melanjutkan keturunan, dan mengolah tanah Mekkah menjadi lebih makmur dan subur. Tanaman tumbuh subur dan hewan ternak beranak-pinak. Semakin ramai masyarakat yang datang untuk berdagang.

Kisah Nabi Ismail Disembelih

Ismail tumbuh menjadi anak yang tangguh dan kuat pengabdiannya. Berbudi luhur, santun, dan amanah dengan kata-katanya. Sehingga tumbuh rasa kasih dari orang-orang yang mengenalnya.

Masyarakat yang tinggal di sekitar air zam-zam hidup rukun, tidak pernah ada perselisihan mengenai siapakah penguasa zam-zam tersebut. Ismail mengkhidmati bahwa semua yang diperolehnya adalah semata pemberian dari Allah kepada umatnya.

Terlebih-lebih rasa cinta Ibrahim kepada Ismail. Betapa penantian panjang menunggu kehadiran Ismail terbayar sudah. Melihat Ismail tumbuh menjadi cahaya mata Ibrahim, rasa cintanya pada Allah kembali diuji.

Baca juga:  Kisah Nabi Yakub As

Pada suatu malam, tanggal 8 Dzulhijjah, Ibrahim kembali bermimpi ada suara yang berkata, “Wahai Ibrahim, tepatilah janjimu!”

Ibrahim tersentak dalam mimpinya, dadanya berdebar kencang dan lisannya menyebut nama Allah berkali-kali. Ini bukan mimpi pertama. Selalu saja mimpi ini hadir. Pasti ada makna tersirat dari mimpi yang berulang datang. Mimpi yang sama. Ibrahim merasakan getaran Illahiyyah dari mimpi-mimpi tersebut.

Ibrahim perlu merenung kembali tentang kehidupannya. Tentang apa yang pernah ia janjikan dulu? Apakah sumpah yang pernah ia angkat dahulu? Sebagai seorang hamba Allah, Ibrahim harus bisa memegang kata-katanya, menepati apa yang pernah ia janjikan dahulu. Tapi apa itu?

Ibrahim perlu waktu untuk merenung. Waktu Ibrahim tengah mengingat masa lalunya ini disebut hari Tarwiyyah, karena merupakan hari renungan untuk mengingat masa yang lampau.

Kemudian Ibrahim menuju Mina untuk berkurban seekor unta sambil memohon ampunan dan petunjuk Allah. Setelah berkurban, malamnya Ibrahim masih didatangi mimpi yang sama. Ibrahim kembali mikraj mendaki tempat yang lebih tinggi, yakni, Padang “Arafah.

Masih ingat kisah Adam yang dipertemukan dengan siti Hawa di Padang “Arafah? Ini adalah tempat yang sama dengan yang didatangi Ibrahim saat melakukan perenungan. Adapun tujuan Ibrahim mendatangi tempat tersebut sebagai ikhtiar untuk ma’rif, mendekatkan diri kepada Allah. Agar semakin kuat keyakinan di dalam qalb. Ibrahim kemudian ingat.

Suatu masa, Allah berkata kepada Ibrahim, “Ibrahim, seluruh dunia tahu bagaimana Tuhan mencintaimu; tapi bagaimana dunia dapat mengetahui bahwa cinta yang engkau kandung hanya kepada-Ku?”

Mendengar firman Allah, Ibrahim segera melakukan kurban sebanyak 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 unta demi untuk menunjukkan kebaktian kepada Allah. Setiap orang yang melihatnya menjadi takjub akan pengorbanan Ibrahim.

Ibrahim berkata, “Setiap apa pun yang membuat aku dekat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku. Demi Allah, jika aku mempunyai seorang anak niscaya aku akan menyembelihnya ke jalan Allah. Jika itu membuatku dekat kepada Allah,” demikian janji Ibrahim. Saat itu Ibrahim belum berputra.

Akhirnya terjawablah, kenapa mimpi-mimpi itu mendatanginya. Ibrahim sangat yakin bahwa itu adalah perintah yang datang dari Allah. Sebagai seorang berjiwa ksatria, Ibrahim selalu memegang ucapannya dan menepati janjinya. Ibrahim pun menginsyafi betapa takdir besar sering kali terundang oleh perkara lisan.

Pada hari ke-3 sampailah Ibrahim di Mudzalifah. Saat itu matahari berada tepat di puncak langit. Hati Ibrahim terasa lebih lapang untuk menerima ‘amr Allah. Ibrahim kemudian bangkit lalu ruku’ dan bersujud syukur. Itulah asal mula shalat Zuhur, terkait dengan peristiwa tersebut. Kemudian Ibrahim menemui Hajar dan berkata, “Pakaikanlah pakaian yang paling baik untuk Ismail. Aku hendak mengajaknya berjalan-jalan.”

Ibrahim adalah seorang yang welas asih dan penyayang, namun kecintaannya pada Allah melebihi segalanya. Ia pun berkata kepada anaknya, tujuan dari ajakannya saat itu.

Baca juga:  Kisah Nabi Ilyas As

Ismail juga seorang yang dibesarkan oleh ibunda dengan kualitas penghambaan seperti Hajar. Orang-orang yang telah berserah diri atas Tuhan, dan taat semata-mata oleh perintah Allah. Ismail menjawab,

“Wahai Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk golongan orang yang sabar. ” (QS. Ash-Shaafaat [37]: 102).

Momen ketika Ibrahim membaringkan Ismail untuk disembelih adalah suatu peristiwa yang sangat luar biasa. Ketika kejadian itu berlangsung, Allah ta’ala membuka tutup mata para malaikat yang ada di langit dan di laut. Para malaikat bersungkur sujud kepada Allah menyaksikan peristiwa tersebut.

Kemudian Allah berfirman,

“Perhatikan oleh kalian semua tentang hamba-Ku ini, bagaimana dia meletakkan pisau di leher putera kesayangannya demi mengharap keridhoan-Ku semata. Sedangkan dulu kalian menentangku saat aku akan menciptakan khalifah (Adam) di muka bumi, menganggap manusia hanya berbuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah?” (Kitab Duratun Nasihin)

Ketika pisau itu tak juga berhasil melukai leher Ismail, dia berkata pada ayahnya agar kembali menajamkan pisau tersebut. Lalu Ibrahim memukul pisau itu pada sebuah batu besar. Seketika batu tersebut terbelah dua. Ibrahim berkata, “Kenapa batu sekeras ini bisa dibelah oleh pisau, tapi tidak bisa menyentuh leher Ismail?”

Pisau menjawab, “Sesungguhnya aku hanya taat pada perintah Tuhanku. Jika Tuhanku memerintahkan menjadi tumpul maka menjadi tumpullah aku.”

Sadarlah Ibrahim bahwa apa yang terjadi ini semua tak lepas dari izin Allah. Betapa semua makhluk berserah diri pada Allah, taat pada perintah-Nya.

Sementara itu, menyaksikan permintaan Ismail agar sang ayah kembali menajamkan pisau, membuat para malaikat berseru mengagungkan nama Allah, takjub dengan rasa pengabdian Ibrahim dan Ismail. Seorang ayah yang demikian dalam cintanya pada putranya, rela mengurbankan putranya sendiri. Sementara sang putra dengan ikhlas menuruti ayahnya tanpa sedikit pun penyangkalan. Sami’na wa atho’na, kami dengar (perintah Allah) dan kami menaatinya.

Malaikat Jibril tak henti berucap, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Lalu Ibrahim membalas, “Laa ilaaha illallaahu Allahu Akbar…” Ismail menyambut dengan ucapan, “Allahu Akbar wa lillaahil hamdu.

Kemudian Allah ta’ala memuliakan ucapan tersebut yang kelak dikumandangkan oleh umat islam sebagai takbir menyambut hari raya. Sebagai tanda dari keikhlasan pengabdian hamba-Nya demi mengharap ridho Allah semata.

Adapun kurban Ismail diganti oleh Allah dengan seekor domba yang telah dipelihara selama 40 hari di surga. Allah berkehendak untuk menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran dan teladan bagi semua makhluk, kepada semua umat manusia juga kepada malaikat, bahwa beginilah seorang pecinta sejati dalam mengharap keridhoan Tuhannya.

Apa pun perintah akan ditempuh semata demi mengharap keridhoan Allah ta’ala. Ini adalah ujian keimanan yang sebenarnya. Saat seseorang harus mengorbankan miliknya, memberikan miliknya yang paling ia cintai, miliknya yang paling berharga, demi menebus perhatian Tuhan.

Baca juga:  Kisah Nabi Hud As

Peristiwa ini kemudian menjadi tradisi bagi umat islam untuk mengurbankan diri secara simbolik melalui hewan ternak

pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah, yang dikenal dengan hari raya Idul Adha.

Nabi Ibrahim dan Ismail Membangun Baitullah

Usia Ismail sekitar 30 tahun, ketika Ibrahim kembali mengunjungi Ismail. Saat itu Ismail tengah meraut anak panah di bawah pohon dekat sumur zam-zam.

Ismail bangkit menyambut kedatangan ayahnya. Lalu Ibrahim berkata, “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah memberiku sebuah perintah,”

Ismail berkata, “Wahai Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah, ”

Ibrahim berkata, “Apakah engkau akan membantuku?”

“Ya… Aku akan membantumu,” sambung Ismail cepat.

“Sesungguhnya Allah menyuruhku membuatkan rumah untuk-Nya di sana.” Ibrahim menunjuk sebuah tempat. Maka pergilah ayah dan anak ini ke tempat yang dimaksud.

Sebelumnya Ibrahim telah menerima perintah dari Allah untuk meninggikan pondasi Baitullah. Allah mengutus awan berkepala untuk berbicara kepada Ibrahim.

“Hai Ibrahim, sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk membuat garis sebesar awan ini.” Lalu Ibrahim memandang ke arah awan dan mengambil ukurannya. Selanjutnya ketika Ibrahim telah mengerjakannya, awan itu pun menghilang dan muncullah pondasi yang menancap dari bumi untuk dibangun Baitullah di atas pondasi tersebut.

Saat bekerja meninggikan pondasi Baitullah, mereka tak henti berdoa, “Ya robbana, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Melihat.” Hati mereka tergetar merasakan kehadiran Allah.

Baitullah yang dibangun Ibrahim dan Ismail berdiri setinggi 9 hasta, panjang 32 hasta, dan lebar 22 hasta. Bersamaan itu pula, Ismail menemukan kembali batu hajar aswad yang sempat hilang. Malaikat Jibril mengembalikan pada Ismail sebagai penanda kehadiran Baitullah.

Hajar aswad adalah batu suci yang dulu ikut turun dari surga bersama Adam. Kemudian batu tersebut ‘hilang’ saat terjadi banjir di masa Nabi Nuh. Apakah makna dari kehadiran batu tersebut? Mengapa batu tersebut perlu diambil kembali? Lihat kembali kisah Nabi Adam.

Surga juga memiliki Baitullah-nya sendiri, tempat di mana para malaikat melakukan thawaf. Namanya Baitul Makmur yang setiap hari didatangi ribuan malaikat dan malaikat yang sudah berada di dalamnya enggan untuk pergi dari sana.

Di tengah Baitul Makmur itu ada sebuah batu yang menjadi penanda. Maka, batu serupa itu juga diturunkan bersama Adam. Batu itu akan menjadi penanda di mana Baitullah di bumi akan dibangun.

Nama batu tersebut adalah hajar aswad. Batu berwarna putih bersih ini juga menjadi pencatat dan pengingat tentang janji Allah, bahwa siapa pun hamba yang bertaubat pasti akan kembali kepada Allah, ke dalam surga-Nya.

Segala peristiwa yang dialami Ibrahim dan Ismail terekam dalam manasik haji. Puncak haji adalah pada Hari Raya Qurban.

Manasik haji mengandung makna yang dalam, yaitu mengenai pertaubatan dan keberserahan diri seorang hamba untuk menggapai cinta Rabb-nya. Semoga kita semua diberi kesempatan untuk mengalami shibgoh Allah sebagaimana kisah Nabi Ismail dan Ibrahim, para pecinta Allah sejati.