Nabi Ibrahim As lahir di kota Ur, wilayah Mesopotamia yang sekarang dikenal sebagai negara Iraq, sekitar 2000 SM atau 4000 tahun yang lalu. Saat itu yang berkuasa adalah Raja Namrud. Sebagaimana tradisi saat itu, maka Raja Namrud pun adalah penyembah berhala.
Pada suatu malam raja bermimpi melihat anak laki-laki kecil merampas mahkota dari kepalanya. Lalu para penafsir mimpi mengartikan mimpi itu kalau suatu saat nanti akan ada seorang pemuda yang merampas mahkotanya dan menguasai kerajaannya. Raja Namrud takut jika mimpi tersebut menjadi kenyataan. Maka ia memaklumatkan pada rakyatnya untuk tidak memiliki anak laki-laki.
Saat peraturan itu diumumkan, Ibrahim masih dalam kandungan ibunya. Sang ibu yang tengah mengandung selalu bersembunyi di gua karena khawatir ketahuan raja dan tentaranya.
Firasatnya ternyata benar. Anak yang dilahirkan adalah laki-laki. Sang ibu menyembunyikan anak tersebut di dalam gua. Sesekali ibunya datang untuk menyusui.
Makin lama, sang ibu makin kesulitan untuk selalu datang karena menghindari kecurigaan dari tentara kerajaan. Apalagi jarak yang ditempuh menuju gua sangat melelahkan. Sang ibu merasa sangat sedih dan hanya bisa berdoa, “Semoga sang pencipta melindungimu anakku.”
Pernah berhari-hari lamanya sang ibu tidak bisa datang, sampai-sampai ibunya menyangka bayinya sudah mati kelaparan. Namun, apa yang terjadi? Saat sang ibu datang, bayi itu tetap tumbuh sehat dan gemuk.
Bagaimana mungkin? Siapakah yang telah merawat bayi itu? Siapa yang memberinya makan hingga ia tetap hidup dan tumbuh sehat? Saat itu bayinya sedang asyik mengisap jempolnya sendiri. Ternyata dari jempol bayi tersebut mengalir madu segar yang manis. Sungguh suatu keajaiban luar biasa. Pantas saja sang bayi tetap tumbuh sehat
Meski terkesima dengan keajaiban tersebut, ibunya merahasiakan kejadian ini, bahkan kepada bapak sang bayi. Bapak sang bayi bernama Aazar (Terah), adalah seorang pembuat patung berhala.
Bertahun-tahun lamanya Ibrahim bersembunyi di gua tersebut. Dalam kesendiriannya itu, Ibrahim sering merenung tentang kehidupannya. Tentang apa yang ia alami, sehingga ia harus terpisah dari ayah ibu dan saudara-saudaranya.
Dalam hatinya timbul rasa ingin tahu untuk mengenal sang Pencipta. Siapakah yang menciptakanku? Yang menjagaku di saat aku lemah sebagai bayi? Yang memberiku makan saat orang tuaku tak sempat mengunjungiku? Yang melindungiku saat tak ada satu pun orang di sisiku?
Pertanyaan itu terus berpendar dalam benak kecilnya. Kerinduan untuk mengenal dan bersambung rasa dengan Sang Penguasa kehidupan meletup-letup dalam hatinya.
Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan
Ibrahim kecil hanya keluar gua saat malam tiba. Di saat gelap malam itulah Ibrahim menatap langit, melihat siraman gemerlap cahaya bintang dan bulan. Apakah bulan itu Tuhanku? Ataukah, bintang-bintang itu? Hati kecil Ibrahim bertanya. Lembut cahaya bulan dan indahnya kerlip cahaya bintang memancing kekaguman Ibrahim.
Namun, saat fajar menjelang, warna langit berubah, bulan pun tenggelam demikian pula bintang. Ah, kalau begitu, bulan dan bintang itu pasti bukan Tuhan. Karena Tuhan tak akan hilang. Tuhan akan selalu ada kapan pun aku ingin memandangnya, demikian bisik hati kecil Ibrahim.
Lalu, saat fajar, matahari terbit dengan cahayanya yang menyala-nyala membawa kehidupan pada semesta. Sinarnya menghangatkan dunia dan mengalirkan energi kehidupan. Kembali hati Ibrahim tergugah, apakah matahari ini Tuhanku?
Lihatlah betapa banyak kehidupan yang muncul. Betapa banyak kehidupan yang tergantung pada cahaya matahari. Bunga, hewan, dan manusia membutuhkan cahaya matahari untuk hidup. Semarak suasana pagi selalu memancarkan semangat bagi semua orang. Betapa setiap makhluk merindukan pagi, merindukan hangat mentari dan terang yang menggerakkan kehidupan.
Saat sore menjelang, cahaya matahari kian redup, tinggal semburatnya saja tertinggal di balik bayang pepohonan. Hati Ibrahim kembali menciut. Matahari bukan tuhanku karena matahari tak selalu nampak di langit. Ia kembali tenggelam ditelan langit malam. Pendarnya redup diganti cahaya bintang dan bulan.
Aah, matahari juga bukan Tuhan, karena ia tenggelam, kemudian menghilang. Jika Tuhan menghilang seperti itu, bagaimana aku dapat menemuinya saat aku membutuhkannya? Harusnya Allah selalu ada di sana, memandangku, menjaga, dan membimbingku.
Demikian Ibrahim kecil merenungkan tentang Tuhannya. Makin lama kerinduan akan Tuhan sejati, Tuhan yang hakiki, membuat imannya makin kuat. Membuat ia makin tak mau menyembah patung berhala yang dianggap tuhan oleh masyarakat saat itu.
Pertanyaan Ibrahim tentang Tuhan
Ibrahim kecil kemudian tinggal bersama abangnya yang bernama Haran, yang tinggal di luar wilayah Mesopotamia, sebuah daerah di luar kekuasaan Raja Namrud. Haran memiliki anak bernama Luth. Kelak, Luth, keponakan Ibrahim ini, juga diangkat menjadi Nabiyullah.
Saat berusia 7 tahun, Ibrahim datang pada ayahnya. Ia mengamati ayahnya yang seorang pembuat patung berhala. Lalu ia bertanya, “Ayah siapakah yang menciptakan manusia?”
Sang ayah menjawab, “Yang menciptakan manusia adalah manusia, karena aku yang membuatmu dan ayahku yang membuatku.”
“Tapi Ayah, bukan itu yang aku maksudkan, karena aku pernah mendengar seorang kakek menangis sambil berkata: “Oh Tuhanku, mengapa Engkau tidak memberikan seorang putera kepadaku?” Tanya Ibrahim lagi.
Sang ayah menjawab, “Itu benar anakku, bahwa Tuhan membantu manusia untuk membuat manusia, tapi Dia tidak melibatkan diriNya dalam proses pembuatan manusia itu. Yang diperlukan hanyalah seorang manusia yang bermohon kepada Tuhannya, agar memberinya anak domba dan domba, dan Tuhannya akan menolongnya.”
Ibrahim kembali bertanya, “Ada berapa banyak Tuhan, Ayah?” Ayahnya menjawab, “tuhan-tuhan itu tak terhitung jumlahnya, anakku.”
“Oh Ayah, apa yang harus aku lakukan jika aku akan mengabdi pada satu tuhan sedangkan tuhan lain akan membenciku karena aku tak mengabdi kepadanya? Dalam banyak hal, akan terjadi pertentangan dan ketidak harmonisan di antara tuhan-tuhan itu sehingga timbul peperangan antara mereka. Tapi, mungkin juga terjadi jika satu tuhan berniat jahat kepadaku dan mencelakakan aku, apa yang harus aku lakukan?” Tanya Ibrahim kecil.
Sang ayah tertawa dan menjawab, “Oh anakku, jangan takut karena tidak ada tuhan yang mengadakan peperangan melawan tuhan-tuhan lain. Tidak. .. tidak begitu. .. Di dalam rumah ibadah yang besar, ada ribuan tuhan dan yang paling besar adalah Baal. Sekarang usiaku mendekati tujuh puluh tahun dan selama ini aku belum pernah melihat ada satu tuhan bertengkar dengan tuhan lainnya.”
“Oh Ayah, seperti apa sih tuhan-tuhan itu?”
Sang ayah menjawab, “Ini adalah tuhan yang aku buat dari kayu palma, sedangkan yang itu dari kayu ivory, dan yang di sana terbuat dari kayu zaitun. Bagus bukan tuhan yang ayah buat, hanya saja mereka tidak bisa bernapas!”
“Lalu, Ayah jika tuhan-tuhan itu tidak bernapas, bagaimana caranya mereka memberi napas kepada manusia? Jika mereka tidak hidup, bagaimana mereka bisa memberi kehidupan pada manusia?”
Sang Ayah mulai terlihat gusar mendengar pertanyaan Ibrahim yang bertubi-tubi.
Ibrahim melanjutkan perkataannya kembali, “Ayah, jika tuhan itu terbuat dari kayu, kenapa Ayah menebangi pohon? Berarti Ayah sudah menebang tuhan. Bagaimana cara tuhan kayu itu membantu manusia untuk menciptakan manusia lainnya? Siapakah tuhan yang pertama ada? Bagaimana Ia ada? Apakah jika begitu, berarti manusia yang lebih dulu ada untuk membuat semua tuhan-tuhan ini?” Tanya Ibrahim sambil menunjuk patung berhala kayu yang dibuat ayahnya.
Sang Ayah duduk terhenyak, kaget oleh pertanyaan anaknya. Mengapa selama ini ia tak pernah memikirkan hal itu? Aazar, sang ayah, hanya menjalankan pekerjaan yang telah dilakukan turun temurun oleh leluhurnya. Tanpa pernah merenungkan atau mempertanyakan semua hal seperti yang disampaikan anaknya, Ibrahim.
Usia Ibrahim 12 tahun, sudah menjelang remaja, saat ayahnya berkata, “Besok adalah hari raya festival tuhan. Engkau harus memilih salah satu tuhanmu, karena engkau telah cukup umur untuk memilih tuhanmu,”
“Baik, ayah” sahut Ibrahim. Malam itu Ibrahim tak bisa tidur. Gelisah memikirkan hari esok. Ia tak mau menjadikan patung itu sebagai tuhannya.
Pikiran itu terus mendera hingga Ibrahim kurang tidur. Esok harinya, Ibrahim mengeluh sakit hingga tidak bisa ikut merayakan festival tuhan.
Akhirnya Ibrahim ditinggal sendirian di rumahnya. Pada saat itulah, Ibrahim mendatangi tempat ibadah di mana semua patung itu disimpan.
Ibrahim bertanya pada para patung, bagaimana mereka makan? Bagaimana mereka bicara? Apakah mereka bisa menghidupkan? Namun semua pertanyaan Ibrahim berlalu begitu saja ditelan angin.
Ya, patung-patung itu tentu saja tidak bisa berbicara. Mereka hanya benda mati yang diciptakan manusia. Jika patung itu diciptakan manusia, lalu siapakah yang menciptakan manusia? Demikian pikir Ibrahim.
Ibrahim berniat memberikan pelajaran pada masyarakat agar mereka tidak menyembah patung lagi. Sudah saatnya mereka mencari Tuhan sejati, Tuhan yang sesungguhnya, yang menciptakan manusia, yang abadi. Tuhan sejati tak akan hancur dan bisa menjawab pertanyaan manusia.
Lalu mulailah Ibrahim menghancurkan semua patung-patung itu dan hanya menyisakan sebuah patung besar bernama Baal. Ibrahim meletakkan alat pemukulnya (kapak) di tangan patung tersebut.
Keesokan harinya, saat semua orang kembali dari festival tuhan, terjadi kegemparan karena semua patung berhala telah hancur. Hanya menyisakan sebuah patung yang paling besar. Mereka hendak mencari tahu siapakah yang menghancurkan patung-patung tersebut.
Ibrahim segera menengahi, “Sudahlah tidak perlu repot-repot mencari siapa penghancur patung tersebut. Tanyakan saja pada patung yang paling besar tersebut, apakah ia melihat siapa pelakunya? Mungkin ia dapat memberitahukannya pada kita semua. Atau, jangan-jangan patung besar itu yang menghancurkannya? Lihat saja ada alat pemukul di tangannya, pasti alat itu yang ia gunakan untuk menghancurkan tuhan lainnya.”
Tentu saja jawaban Ibrahim membuat semua orang terkejut, tak menyangka akan ada seorang anak yang berani berpendapat seperti itu.
“Tapi mereka hanya patung, bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan kami?” Tanya orang-orang tersebut.
Di balik pertanyaan itu, orang-orang tersebut sadar bahwa tidak mungkin patung itu bisa menjawab. Bahwa patung yang mereka sembah tidak memiliki daya atas dirinya sendiri. Bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Jika tuhan tak bisa melindungi dirinya sendiri bagaimana pula ia dapat melindungi manusia?
Padahal Ibrahim berniat baik, ia menyeru manusia untuk menemukan Tuhan sejati, yaitu, Allah Ta’ala. Bukan menyembah patung berhala yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi orang-orang itu tidak mau menerima begitu saja pendapat dari seorang Ibrahim. Bagaimanapun mereka telah melakukan tradisi penyembahan tersebut secara turun temurun sejak dari nenek moyangnya.
Nabi Ibrahim Dibakar
Pendapat Ibrahim memancing kemarahan masyarakat. Apalagi ketika ayahnya, Azzar mengenali kalau alat pemukul di patung Baal adalah miliknya. Pasti Ibrahim yang telah mengambilnya. Masyarakat menjadi marah karena Ibrahim dianggap telah mendustakan tuhannya. Ibrahim diadukan pada raja. Raja sangat marah dan memberi titah agar Ibrahim dibakar.
Berbondong-bondong masyarakat yang marah turut membawa kayu bakar untuk menyalakan api. Mereka ingin menghukum Ibrahim yang dianggap telah menghina kepercayaan mereka, yaitu menyembah patung kayu.
Ketika api mulai berkobar, Ibu Ibrahim berseru kepada Ibrahim, “Wahai Ibrahim, mohonlah perlindungan dari Rabbmu,” maka Ibrahim berdoa, “Ya Allah, sungguh Engkau esa di langit dan di bumi ini aku hanya seorang diri yang beribadah kepadamu, maka tolonglah aku.”
Allah menjawab melalui firman-Nya, “Wahai api! Jadilah dingin dan penyelamat bagi Ibrahim.” Maka api pun meredupkan panasnya dan berubah menjadi kobaran menyejukkan bagi Ibrahim.
Tanpa diketahui semua orang, sebenarnya malaikat Jibril telah membawa jiwa Ibrahim untuk diselamatkan. Ibrahim dibawa melintasi taman bunga surgawi, kemudian dibawa oleh malaikat ke dekat rumahnya sendiri. Api sama sekali tak bisa menyentuhnya, hanya rasa sejuk yang terasa.
Selama 40 hari api itu terus menyala. Saat dalam api itu adalah saat terindah dalam kenangan Ibrahim. Karena di saat itulah ia merasakan Tuhan demikian dekat. Jiwanya dibawa berkelana untuk mengenal Rabb, pencipta semesta alam.
Sesampainya ia di dekat rumahnya, hari sudah malam. Ibrahim takut masuk ke rumahnya. Tentu ayahnya masih marah besar. Ibrahim hanya duduk di bawah pohon palma sambil memandang ke langit.
Dalam hatinya ia bergumam, “Pastilah terdapat Tuhan yang memiliki kehidupan dan kekuatan yang melebihi manusia, karena Dia-lah yang menciptakan manusia dan manusia tanpa keterlibatan Tuhan, tidak akan dapat membuat manusia.”
Saat tengah merenungi tentang siapakah Tuhannya dan bagaimana cara mengenal Tuhan yang benar, tiba-tiba saja ada suara yang memanggilnya. “Ibrahim!” sontak Ibrahim terkejut. Dilihatnya ke sekeliling. Tampak sepi, tak ada siapa-siapa. Namun suara itu terdengar jelas memanggil namanya. “Ibrahim”, terdengar panggilan itu lagi.
Ibrahim menjawab, “Siapa itu yang memanggilku?”
Kemudian suara itu menjawab, “Aku adalah malaikat Tuhan, Jibril.” Rasa takut mulai menjalari hati Ibrahim. Siapakah Jibril? Malaikat Allah?
“Jangan takut, Ibrahim, karena engkau adalah kekasih Tuhan. Ketika engkau menghancurleburkan tuhan-tuhan berhala manusia, engkau telah dipilih oleh Tuhan sejati. Bahkan namamu telah tertulis dalam kitab kehidupan.”
Mendengar apa yang disampaikan Jibril, Ibrahim bertanya, “Apa yang harus aku lakukan untuk melayani Tuhan para malaikat dan Tuhan para nabi yang suci?”
“Pergilah menuju pancuran air dan bersucilah karena Tuhan akan berbicara padamu,” demikian Jibril menyampaikan pesan dari Tuhan.
Setelah Ibrahim mensucikan diri, lalu Jibril membimbing Ibrahim untuk naik ke atas sebuah bukit. Di sanalah Allah berfirman, “Akulah satu-satunya Tuhan dan tidak ada Tuhan selain Aku. Aku yang menciptakan dan memberi kehidupan. Tak seorang pun yang mampu menghindar dari jangkauan-Ku”.
Allah memberikan wahyu pada Ibrahim untuk menjauhi kampung halamannya, untuk menetap di suatu wilayah yang di sanalah umatnya akan bertambah banyak dan diberikan kepadanya anak keturunan yang banyak. Lalu Ibrahim diperintahkan untuk berhijrah, pergi dari kampung halamannya menuju tempat yang baru.
Namun sebelum Ibrahim pergi, ia harus menghadapi raja Namrud yang telah malu karena tidak berhasil menghukum Ibrahim. Api ternyata tak berhasil melukai Ibrahim sedikit pun, meski dinyalakan terus menerus selama 40 hari lamanya.
Selama masa itu pula berbagai hewan mencoba membantu memadamkan api, kecuali binatang tokek yang justru mengembus-embuskan api agar tetap berkobar.
Namrud berkata bahwa ia dapat melakukan apa pun yang ia inginkan karena dialah yang berkuasa di tanah tersebut. Lalu Ibrahim berkata, “Jika demikian dapatkah kau menahan matahari agar terbit dari barat?”
Tentu saja Namrud tak dapat melakukan hal tersebut. Semakin banyak rakyat yang menyaksikan “tuhannya, Ibrahim. Sehingga iman mereka bertambah dan mulai meninggalkan berhala.
Ibrahim kemudian pergi meninggalkan kampung halamannya, pergi ke tanah Mesir bersama para pengikutnya, termasuk Luth. Kelak Luth diangkat menjadi nabi dan tinggal di wilayah Sadom. Ibrahim dan Luth melakukan perjalanan bersama-sama. Luth menjadi saksi dan belajar dari keteguhan seorang Ibrahim sebagai pengabdi Allah sejati.
Pengalaman yang didapat saat bersama Ibrahim menjadikan Luth seorang yang memiliki sifat seperti Ibrahim. Mereka kemudian berpisah ketika peternakan mereka semakin besar dan membutuhkan lahan baru. Luth memilih Sadom, wilayah yang subur karena berada di dekat aliran sungai Yordan.
Kisah Burung Pipit yang Memadamkan Api
Saat api sedang dinyalakan untuk mencelakakan Ibrahim, seekor burung pipit bergegas terbang ke danau. Dari danau ia mengisap air dengan mulutnya yang mungil, kemudian disimpannya air itu dengan hati-hati dalam paruhnya dan berjalan cepat menuju api tersebut.
Begitu dekat api, dituangkannya tetesan air dari mulutnya ke arah api. Lalu ia kembali ke danau mengambil air. Berkali-kali ia melakukan hal tersebut.
Seekor gagak bertanya, “Apa yang kau lakukan itu Pipit?”
“Aku mengambil air untuk memadamkan api,” jawab Pipit.
“Api apa?” Tanya Gagak lagi.
“Api yang disiapkan untuk membakar Ibrahim.”
Burung gagak memandang Pipit dengan tatapan aneh. Bagaimana mungkin, tetesan air yang dibawa oleh pipit dapat memadamkan kobaran api tersebut.
“Apakah engkau yakin bahwa dirimu dapat memadamkan api sebesar itu?” “Apakah air yang kau teteskan dari paruhmu tidak sia-sia saja? Engkau hanya mempersulit dirimu saja,” demikian Gagak mencemooh Pipit.
Pipit menjawab, “Aku tahu air yang kubawa ini tidak dapat memadamkan api tersebut, karena memang hal itu berada di luar kemampuanku. Tapi setidaknya ada alasan mengapa aku melakukan hal itu.”
“Ya, apa itu?” Gagak tak sabar ingin mendengar jawaban Pipit.
“Setidaknya, aku punya alasan di hadapan Rabbku kelak, di posisi siapa aku berdiri. Aku ingin punya andil, setidaknya dengan menunjukkan siapa yang aku bela.”
Kisah Malaikat yang Mendatangi Ibrahim
Sebagai seorang pecinta Allah, kerap kali Allah mengirimkan malaikat sebagai utusan untuk menyampaikan suatu perkara. Misalkan, saat Allah mengutus malaikat untuk menemani Ibrahim makan.
Ya. Ibrahim terkenal dengan kemurahan hatinya. Ia tidak pernah bisa makan sendirian. Keinginannya untuk selalu berbagi demikian besar. Untuk selalu membagi apa yang menjadi kesukaannya. Ia tidak akan tahan melihat orang lain lebih menderita dari dirinya. Setidaknya ia menyakinkan diri tak ada orang di sekitarnya yang kelaparan.
Ketika saat makan tiba dan tak ada yang bisa menemani, Ibrahim memilih menahan lapar, hingga Allah hadirkan malaikat yang menyamar sebagai manusia untuk menemani Ibrahim makan.
Juga saat malaikat muqarabbun, yaitu Jibril, Mikail, dan Israfil datang menyamar sebagai tamu kepada Ibrahim untuk menyampaikan kabar tentang kelahiran Ishaq.
Ketika mereka datang, Ibrahim mempersembahkan jamuan terbaik kepada tamunya tersebut. Namun makanan itu sama sekali tidak disentuh oleh tamu tersebut. Ibrahim menjadi gundah, khawatir jika jamuannya tak berkenan. Ibrahim sangat suka melayani orang yang datang kepadanya. Semua tamu memperoleh jamuan terbaik darinya.
Kemudian tamu-tamu tersebut mengabarkan kepadanya bahwa Allah telah memperkenankan doanya untuk memiliki keturunan melalui istrinya yang bernama Sarah. Mendengar perkataan tamunya, Sarah tak dapat menahan tawanya.
Sarah berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku ini juga dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat aneh.”
Para malaikat itu berkata, “Apakah kamu merasa heran dengan ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu. Hai ahlul bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Allah Maha Berkehendak. Pantang bagi seorang mukmin untuk berputus asa dari rahmat Allah. Sejak Ibrahim berusia 40 tahun, Allah telah menjanjikan, bahwa kelak keturunan Ibrahim akan sebanyak bintang di langit. Sungguh tak terhitung, saking banyaknya.
Usia Ibrahim genap 100 tahun saat Ishaq lahir dari rahim Sarah. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang penyantun dan orang yang mudah iba hatinya, selain merupakan seorang yang suka kembali (tubu’ ilallah/taubat) kepada Allah.
Seorang yang berhati bersih dan selalu berusaha menyambungkan hatinya kepada Allah, akan disambut oleh Allah melalui wahyu yang diturunkan melalui qalb hamba-Nya atau melalui utusan-utusan, berupa malaikat yang kariim.
Kisah Nabi Ibrahim dan Seorang Majusi
Nabi Ibrahim As terkenal dengan kemurahan hatinya. Siapa pun yang datang bertamu ke rumahnya disambut dan dilayani dengan sepenuh hati. Maka seorang Majusi bermaksud bertamu ke rumah Ibrahim, namun Ibrahim menolak.
“Aku tidak mampu menerimamu, karena kamu adalah seorang Majusi. Kecuali jika engkau mengubah keyakinanmu dan beriman pada Allah.”
Majusi itu pun tak jadi bertamu dan pulang kembali ke rumahnya. Malamnya turun wahyu kepada Ibrahim, “Ya Ibrahim, kenapa engkau tidak menerimanya sebagai tamu? Hal apakah yang memberatkanmu untuk menerimanya meski hanya semalam? Ketahuilah, Aku telah memberinya makan dan minum selama 70 tahun (usia Majusi tersebut), padahal ia tak pernah mengakui Aku. Lalu mengapa engkau menolaknya?”
Pagi harinya, Ibrahim segera mencari orang Majusi tersebut dan menawarkan untuk datang menginap di rumahnya.
Orang Majusi menjadi heran dan bertanya, “Perkara apa gerangan yang mengubahmu? Kemarin engkau menolakku, sekarang kau mencariku?” Lalu Ibrahim menceritakan mimpinya.
Majusi terkejut mendengarnya dan berkata, “Benarkah Tuhan telah bermurah hati padaku selama 70 tahun, sedang aku tidak mengakui dia Allah sebagai Tuhannya manusia? Jika demikian, wahai Ibrahim, genggam tanganku dan saksikanlah bahwa: “Tiada Tuhan yang lain, kecuali Allah, dan engkau adalah Rasul-Nya.”
Doa Nabi Ibrahim As
“Ya Rabb, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala.
Ya Rabb, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengarkan doa.
Ya Rabb, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankan doa kami. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang mukmin pada hari penghisaban. ” (QS. Ibrahim [14]: 35-41).
Demikianlah kisah Nabi Ibrahim As, semoga kita bisa mengambil ibrah dan pelajaran di dalamnya.