Pembagian Periodisasi Sastra Indonesia dan Ciri-Cirinya (Lengkap)

Istilah ‘periode’ sering dipertentangkan dengan istilah ‘angkatan’. Periode merupakan istilah yang cukup luas (sudah termasuk soal angkatan di dalamnya) menekankan rentang perkembangan sebuah karya sastra pada masa tertentu dari berbagai sudut pandang; pengaruh politik, perubahan paradigma sastrawan, dan perkembangan sastrawan.

Kalau angkatan hanya lebih merujuk pada sebuah generasi pengarang/sastrawan dan hal ini memberikan pengertian bahwa pembabakan sastra hanya menekankan dan mengikuti pada peran pengarang dalam mengembangkan kesusastraan.

Dalam suatu periode sastra Indonesia mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda beda; sedangkan munculnya periode baru tidak harus berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru.

Perbedaan norma norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman, mungkin menimbulkan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.

Periodisasi sastra Indonesia dapat disusun berdasarkan urutan waktu dan juga berdasarkan hasil karya. Dilihat dari metode penyampaian, sastra Indonesia terbagi atas dua bagian besar, yakni sastra lisan dan sastra tulisan.

Dari sudut pandang urutan waktu sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yakni:

  1. Pujangga Lama
  2. Melayu Lama
  3. Angkatan Balai Pustaka
  4. Pujangga Baru
  5. Angkatan ’45 (1945-an)
  6. Angkatan ’50-an (1950-an)
  7. Angkatan ’66-70-an (1966-1970-an)
  8. Angkatan Reformasi (1997)
  9. Angkatan 2000

[toc]

Untuk lebih memahami periodisasi sastra Indonesia, berikut ini diuraikan masing-masing periode tersebut.

1. Pujangga Lama

Karya sastra Indonesia yang termasuk dalam periode Pujangga Lama adalah karya karya yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra di Indonesia didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat.

Karya Sastra Pujangga Lama

Karya karya sastra yang termasuk karya Pujangga Lama, antara lain:

  • Sejarah Melayu
  • Hikayat Abdullah – Hikayat Andaken Penurat – Hikayat Bayan Budiman – Hikayat Djahidin – Hikayat Hang Tuah – Hikayat Kadirun – Hikayat Kalila dan Damina – Hikayat Masydulhak – Hikayat Pandja Tanderan – Hikayat Putri Djohar Manikam – Hikayat Tjendera Hasan Tsahibul – Hikayat Syair Bidasari – Syair Ken Tambuhan – Syair Raja Mambang Jauhari – Syair Raja Siak.

2. Sastra Melayu Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870-1942, umumnya berkembang di lingkungan masyarakat Sumatera; Langkat, Tapanuli. Padang dan daerah Sumatera lainnya; juga dikalangan orang Tionghoa dan masyarakat Indo Eropa.

Karya sastra Melayu Lama pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.

Karya Sastra Melayu Lama

Beberapa karya sastra yang termasuk dalam sastra Melayu Lama, antara lain:

  • Robinson Crusoe (terjemahan)
  • Lawan lawan Merah
  • Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)
  • Graaf de Monte Cristo (terjemahan)
  • Kapten Flamberger (terjemahan)
  • Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)
  • Bunga Rampai oleh A.F van Dewall
  • Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
  • Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
  • Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
  • Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (Indo) dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu Lama lainnya.

3. Periode/Angkatan Balai Pustaka (1920)

Jenis karya sastra yang dihasilkan pada periode ini sebagian besar adalah roman. Selain itu, ada juga jenis sastra berbentuk puisi yang berupa syair dan pantun. Puisi berupa syair dan pantun tersebut umumnya disisipkan dalam roman untuk memberi nasihat kepada pembaca.

a. Ciri-Ciri Karya Sastra Periode/Angkatan Balai Pustaka

  • Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah, dan peribahasa.

Contoh:

Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih? Bukankah setahun telah engkau ketahui untungku, karena engkau telah mendapat mimpi tentang nasibku itu?

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli, Balai Pustaka. Jakarta, 1988

Dalam kutipan di atas tampak bahwa novel Sitti Nurbaya menggunakan gaya bahasa yang mengandung pepatah.

  • Alur yang digunakan sebagian besar alur lurus. Namun, ada juga yang mempergunakan alur sorot balik. Contoh, dapat kalian baca pada novel misalnya Azab dan Sengsara dan di Bawah Lindungan Ka’bah.
  • Teknik penokohan dan perwatakannya menggunakan analisis langsung.
    Contoh:

Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka; anak muda ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula. Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak gemuk dan tak kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang jernih dan tenang, berbayang, bahwa ia seorang yang lurus, tetapi keras hati; tak mudah dibantah, barang sesuatu maksudnya. Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak seorang yang berbangsa tinggi.

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli, Balai Pustaka. Jakarta. 1988

Dalam kutipan di atas bentuk fisik Samsul Bahri digambarkan secara langsung.

  • Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga. Ada juga roman yang mempergunakan metode orang pertama, misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan Kabah.
    Contoh:
Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan sehari dua bekerja pada ayahmu.
  • Banyak sisipan sisipan peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan inti cerita, seperti uraian adat, dongeng dongeng, syair, dan pantun nasihat.
    Contoh sisipan pantun:

Ke rimba berburu kera,
dapatlah anak kambing jantan.
Sudah nasib apakah daya,
demikian sudah permintaan badan.

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai. Marah Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

  • Bersifat didaktis. Sifat ini berpengaruh sekali pada gaya penceritaan dan struktur penceritaannya. Semuanya ditujukan kepada pembaca untuk memberi nasihat.
    Contoh:

Ketahuilah olehmu, Samsul, walaupun di dalam dunia ini dapat kita memperoleh kesenangan, kekayaan, dan kemuliaan, akan tetapi dunia ini adalah mengandung pula segala kesusahan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kehinaan yang bermacam macam rupa bangunnya tersembunyi pada segala tempat, mengintip kurbannya setiap waktu, siap menerkam, barang yang dekat kepadanya.

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli. Balai Pustaka. Jakarta, 1988

Isi kutipan di atas memberi nasihat kepada Samsul Bahri dan pembaca untuk berhati hati dalam hidup.

  • Bercorak romantis (melarikan diri) dari masalah kehidupan sehari hari yang menekan.
    Contoh:

Aku masuk jadi bala tentara ini bukan karena apa, hanya karena hendak . . . di situ terhenti Letnan Mas bercakap cakap sebagai tak dapat ia mengeluarkan perkataannya . .. ” mencari kematian. ”

”Apa katamu?” tanya Van Sta dengan takjub. ”Mencari kematian, kataku,” jawab Mas dengan sedih. Tetapi sekarang belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya benar kata pepatah Melayu: sebelum ajal, berpantang mati.

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai. Marah Rusli, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Letnan Mas atau Samsul Bahri berusaha bunuh diri untuk lari dari masalah yang dihadapinya.

  • Permasalahan adat, terutama masalah adat kawin paksa, perpaduan, dan sebagainya
    Contoh:

Yang paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak lain hanyalah Rapiah, anak kakak kandung ibu. Yang seibu sebapa dengan ibu hanya Sutan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan sebuah kebaikannya, jika engkau memulangi Rapiah. Pertama, adalah menurut sepanjang adat, bila engkau memulangi anak mamakmu. Kedua, rupa Rapiah pun dikatakan tidak buruk. Ketiga, sekolahnya cukup, tamat HIS. Keempat, ia diasuh baik-baik oleh orang tuanya. Lepas dari sekolah ia dipingit, lalu diajar ke dapur, menjahit, dan merenda. Kelima perangainya baik, hati tulus, dan sabar. Keenam – ah, banyak lagi kebaikannya, Hanafi.

Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis. Balai Pustaka. Jakarta, 1987

Dari kutipan di atas diketahui masalah kawin paksa yang harus dilakukan oleh tokoh Hanafi.

  • Pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua mempertahankan adat lama, sedangkan kaum muda menghendaki kemajuan menurut paham kehidupan modern.
    Contoh:

”Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,” demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. ”Di rumah gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja.” ”Penat pinggangku duduk di kursi dan berasa pirai kakiku duduk berjuntai, Hanafi,” sahut ibunya. “Kesenangan ibu hanyalah duduk di bawah, sebab semenjak ingatku duduk di bawah saja.” ”Itu salahnya, ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu. . . brrrr!”

Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai Pustaka, Jakarta, 1987

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa antara tokoh Hanafi dan ibunya terjadi pertentangan paham mengenai letak perabotan yang ada di rumahnya.

  • Latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah.
    Contoh;
    Salah satunya adalah novel Sitti Nurbaya memiliki latar tempat di daerah Padang.
  • Cerita bermain pada zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman antah berantah.
    Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, masalah masih bersifat kedaerahan.
    Contoh:

”Uang belasting? Uang apa pula itu?” tanya Datuk Malelo dengan senyum merengut. “Ada ada saja kompeni itu, untuk mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu?”

Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai. Marah Rusli. Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa masalah yang terjadi masih bersifat kedaerahan saja. Masalah tersebut tentang uang belasting yang terjadi di Padang.

Baca juga:  Contoh Metode Ilmiah Lengkap, Pengertian, dan Langkah-langkahnya

b. Novel Angkatan Balai Pustaka dan Pengarangnya

  1. Merari Siregar
    – Azab dan Sengsara: kisah kehidupan seorang gadis (1921)
    – Binasa Karena Gadis Priangan! (1931)
    – Cinta dan Hawa Nafsu
  2. Marah Roesli
    – Siti Nurbaya
    – La Hami
    – Anak dan Kemenakan
  3. Nur Sutan Iskandar
    – Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan Hulubalang Raja (1961)
    – Karena Mentua (1978)
    – Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
  4. Abdul Muis
    – Pertemuan Jodoh (1964)
    – Salah Asuhan
    – Surapati (1950)
  5. Tulis Sutan Sati
    – Sengsara Membawa Nikmat (1928)
    – Tak Disangka
    – Tak Membalas Guna
    – Memutuskan Pertalian (1978)
  6. Aman Datuk Madjoindo
    – Menebus Dosa (1964)
    – Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
    – Sampaikan Salamku Kepadanya
  7. Suman Hs.
    – Kasih Ta’ Terlarai (1961)
    – Mencari Pencuri Anak Perawan (1957)
    – Percobaan Setia (1940)
  8. Adinegoro
    – Darah Muda
    – Asmara Jaya
  9. Sutan Takdir Alisjahbana
    – Tak Putus Dirundung Malang
    – Dian yang Tak Kundjung Padam (1948)
    – Anak Perawan di Sarang Penyamun (1963)
  10. Hamka
    – Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
    – Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
    – Tuan Direktur (1950)
    – Di dalam Lembah Kehidupan (1940).

4. Periode Angkatan Pujangga Baru (1930)

Pada periode Pujangga Baru jenis sastra yang dihasilkan sebagian besar puisi. Selain itu, karya sastra berjenis cerita pendek dan drama sudah mulai ditulis.

Ciri-ciri Karya Sastra Periode/Angkatan Pujangga Baru

a. Puisi Pujangga Baru

  1. Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
  2. Pilihan kata katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
  3. Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
  4. Hubungan antar kalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang ambigu.
  5. Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan tenteram.
  6. Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.

Contoh puisi Pujangga Baru:

Padamu Jua

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku . . . .

Dikutip dari: Nyanyi Sunyi. Amir Hamzah. Dian Rakyat, Jakarta, 1985

Dari puisi ”Padamu Jua” dapat diketahui bahwa puisi angkatan Pujangga Baru ini bukan termasuk pantun atau syair lagi. Pilihan kata-katanya sangat indah dan diwujudkan dalam rima yang sesuai. Puisi “Padamu Jua” mengekspresikan perasaan rindu dan cinta kepada sang kekasih.

Dalam puisi “Padamu Jua” terdapat bahasa kias yang berupa perbandingan, seperti serupa dara di balik tirai. Pada puisi ”Padamu Jua” masih mempertahankan persajakan. Persajakan ini dapat dilihat pada setiap baitnya.

Contoh:

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku . . .

b. Prosa

  • Alurnya lurus.
  • Teknik perwatakannya tidak menggunakan analisis langsung. Deskripsi fisik sudah sedikit.
    Contoh:

.”Aduh, indah benar.“ Dan seraya melompat lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, ”Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya, sebagai air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan melihat menurut arah telunjuk Maria, ia pun berkata, ‘Ya, bagus.” Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan berat.

Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

Dari kutipan tersebut dapat diketahui watak Maria yang mudah memuji dan watak Tuti yang tidak mudah kagum atau memuji. Watak Maria dan Tuti dapat dilihat dari percakapan antara Maria dan Tuti.

  • Tidak banyak sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat.
  • Pusat pengisahannya menggunakan metode orang ketiga.
  • Gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa.
  • Masalah yang diangkat adalah masalah kehidupan masyarakat kota, misalnya masalah emansipasi, pemilihan pekerjaan, dan masalah individu manusia.
    Contoh:

Dalam sepi yang sesepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah. ”Saudara saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebahagian besar ialah berbicara tentang cita cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali kali disangka, bahwa berunding tentang cita cita yang demikian semata mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.
….

Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa salah satu masalah yang ditampilkan adalah masalah emansipasi wanita.

  • Bersifat didaktis; mengandung nilai nilai yang bermanfaat.

Novel Angkatan Pujangga Baru dan Pengarang

Pada masa ini (tahun 1930-1942), lahir para pengarang karya-karya sastra yang gemilang pada masa itu. Beberapa pengarang dan karyanya adalah sebagai berikut.

  1. Sutan Takdir Alisjahbana
    – Layar Terkembang (1948)
    – Tebaran Mega (1963)
  2. Armijn Pane
    – Belenggu (1954)
    – Jiwa Berjiwa
    – Gamelan Djiwa – kumpulan sajak (1960)
    – Jinak-jinak Merpati – sandiwara (1950)
    – Kisah Antara Manusia – kumpulan cerpen (1953)
  3. Tengku Amir Hamzah
    – Nyanyi Sunyi (1954)
    – Buah Rindu (1950)
    – Setanggi Timur (1939)
  4. Sanusi Pane
    – Pancaran Cinta (1926)
    – Puspa Mega (1971)
    – Madah Kelana (1931/1978)
    – Sandhyakala ning Majapahit (1971)
    – Kertadjaja (1971)
  5. Muhammad Yamin
    – Indonesia, Tumpah Darahku! (1928)
    – Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
    – Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
    – Tanah Air
  6. Roestam Effendi
    – Bebasari: toneel dalam 3 pertunjukan (1953)
    – Percikan Permenungan (1953
  7. Selasih
    – Kalau Tak Untung (1933)
    – Pengaruh Keadaan (1957)
  8. J.E.Tatengkeng
    – Rindu Dendam (1934)

5. Periode Angkatan 45

Pada periode angkatan 45 ini berkembang jenis-jenis sastra: puisi, cerpen, novel, dan drama.

Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan 45

a. Puisi Angkatan 45

  • Puisi bebas, tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan (rima).
  • Pilihan kata atau diksi mempergunakan kosakata bahasa sehari-hari.
  • Menggunakan kata-kata, frasa. dan kalimat kalimat ambigu menyebabkan arti ganda dan banyak tafsir.
  • Mengekspresikan kehidupan batin atau kejiwaan manusia melalui peneropongan batin sendiri.
  • Mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme universal). Misalnya, tentang kesengsaraan hidup. hak hak asasi manusia, masalah kemasyarakatan, dan kepincangan dalam masyarakat, seperti gambaran perbedaan mencolok antara golongan kaya dan miskin.
  • Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.

Contoh puisi Angkatan 45:

Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari, berlari, hingga hilang
pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar, Maret 1943

Puisi “Aku” tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan. Pada bait pertama terdiri atas tiga baris. Pada bait kedua terdiri atas satu baris. Pada bait ketiga terdiri atas dua baris. Puisi “Aku” mengekspresikan langsung perasaan penyair.

Diksi atau pilihan kata yang digunakan adalah kosakata sehari hari. Dalam puisi ”Aku” terdapat kalimat-kalimat ambigu yang menyebabkan banyak tafsiran seperti kalimat Aku mau hidup seribu tahun lagi yang berarti penyair benar benar ingin hidup sampai seribu tahun lagi atau penyair ingin gagasan dan semangatnya diteruskan dari generasi ke generasi walaupun penyair telah meninggal.

Hubungan baris dan kalimat pada puisi “Aku” tidak terlihat, karena tiap-tiap kalimat pada puisi “Aku” seperti berdiri sendiri. Misalnya, pada bait 1 dan 2 secara kosakata tidak berhubungan. Namun, secara makna bait 1 dan 2 berhubungan.

Puisi “Aku” mengekspresikan kehidupan batin manusia yang tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk hidup bebas. Masalah yang diungkapkan adalah masalah hak asasi manusia untuk bebas dan berpegang teguh pada prinsipnya.

Filsafat eksistensialisme mulai tampak dalam puisi ”Aku”. Dalam puisi “Aku” penyair mulai menghargai keberadaannya meskipun dalam keadaan yang terasing dan tersiksa.

b. Prosa

  • Banyak alur sorot balik, meskipun ada juga alur lurus.
  • Sisipan sisipan cerita dihindari, sehingga alurnya padat.
  • Penokohan secara analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis
  • Mengemukakan masalah kemasyarakatan. Di antaranya kesengsaraan kehidupan, kemiskinan, kepincangan kepincangan dalam masyarakat, perbedaan kaya dan miskin. eksploitasi manusia oleh manusia.

Contoh prosa Angkatan 45:

Banyak yang ditakutinya timbul. Hari hari depan yang kabur dan menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya. Penghidupan yang semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada warung yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang sudah dihutang tiga bulan. Perhiasan istrinya dipajak gadai.

Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990

Dari kutipan tersebut dapat diketahui masalah yang dikemukakan adalah masalah kemiskinan yang dihadapi tokoh utamanya (Guru Isa).

  • Mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal. Masalah kemanusiaan dimaksud dapat berupa, masalah kesengsaraan. karena perang, tidak adanya perikemanusiaan dalam perang, pelanggaran hak asasi manusia, ketakutan ketakutan manusia, impian perdamaian, dan ketenteraman hidup.
    Contoh:

Isa berdiri terengah-engah karena sudah tidak biasa berlari lagi. Gadis gadis Palang Merah itu hendak kembali mengambil orang Tionghoa yang luka, tetapi orang orang menahan. ”Jangan,” kata mereka, ”ubel-ubel itu tidak peduli Palang Merah. “

Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung. Mochtar Lubis, Pustaka Jaya. Jakarta. 1990

Dari kutipan tersebut dapat dilihat tidak adanya perikemanusiaan dalam perang. Bahkan, untuk menolong orang yang terluka saja tentara tentara tetap menembaki anggota Palang Merah.

  • Mengemukakan pandangan hidup dan pikiran pikiran pribadi untuk memecahkan sesuatu masalah.
    Contoh:

Guru Isa merasa perubahan dalam dirinya. Rasa sakit siksaan pada tubuhnya tidak menakutkan lagi. . . .  orang harus belajar hidup dengan ketakutan ketakutannya . . . . Sekarang dia tahu. . . . Tiap orang punya ketakutannya sendiri dan mesti belajar hidup dan mengalahkan ketakutannya.”

Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990

Dari kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Guru Isa mengemukakan pikirannya untuk mengatasi rasa takut dan ia berhasil.

  • Latar cerita pada umumnya latar peperangan. Terutama perang kemerdekaan melawan Belanda, meskipun ada juga latar perang menentang Jepang. Selain itu, ada juga latar kehidupan masyarakat sehari hari.
    Contoh:

Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa memecah kesunyian pagi, Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang. Selintas masuk ke dalam pikirannya rasa was-was tentang keselamatan istri dan anaknya.

Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis. Pustaka Jaya. Jakarta, 1990

Latar kutipan novel Jalan Tak Ada Ujung menunjukkan latar suasana mencekam karena masih dalam suasana peperangan.

Baca juga:  10 Jurusan Kuliah yang Menjanjikan Gaji Tinggi di Indonesia

Karya Sastra Angkatan 45 dan Pengarangnya

Beberapa pengarang Angkatan 45 yang terkenal adalah sebagai berikut.

  1. Chairil Anwar
    – Kerikil Tajam (1949)
    – Deru Campur Debu (1949)
  2. Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar
    – Tiga Menguak Takdir (1950)
    – Idrus Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948)
    – Aki (1949)
    – Perempuan dan Kebangsaan
  3. Pramoedya Ananta Toer
    – Bukan Pasar Malam (1951)
    – Di Tepi Kali Bekasi (1951)
    – Gadis Pantai
    – Keluarga Gerilya (1951)
    – Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
    – Perburuan (1950)
    – Cerita dari Blora (1963)
  4. Mochtar Lubis
    – Tidak Ada Esok (1982)
    – Jalan Tak Ada Ujung (1958)
    – Si Jamal (1964)
  5. Achdiat K. Mihardja
    – Atheis 1958
    – Trisno Sumardjo
    – Katahati dan Perbuatan (1952)
    – Terjemahan karya W. Shakespeare: Hamlet, Impian di tengah Musim, Macbeth, Raja Lear, Romeo dan Julia, Saudagar Venezia, dll.
  6. M.Balfas
    – Lingkaran-lingkaran Retak, kumpulan cerpen (1978)
  7. Utuy Tatang Sentani
    – Suling (1948)
    – Tambera (1952)
    – Awal dan Mira drama satu babak (1962)

6. Periode Angkatan 50-an (1950)

Sesungguhnya ciri-ciri karya sastra Angkatan 45 dan Angkatan 50 sukar dibedakan. Angkatan 45 diteruskan oleh Angkatan 50.

Ciri-Ciri Karya Sastra Periode/Angkatan 50

a. Puisi Angkatan 50

  • Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada. dengan gaya yang lebih sederhana. Misalnya; Puisi puisi karya Rendra, seperti “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, ”Blues untuk Bonnie”, atau ”Nyanyian Angsa”.
  • Gaya ulangan mulai berkembang.
  • Ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan.
  • Mengungkapkan masalah masalah sosial seperti, kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar. belum adanya pemerataan hidup.

Contoh:

Blues untuk Bonnie

Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek.
Dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir hampir tanpa penonton.
….
Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
lalu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
….

Dikutip dari: Blues untuk Bonnie. Rendra. Pustaka Jaya, Jakarta, 1976

 

Puisi “Blues untuk Bonnie” berbentuk balada. Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya gaya ulangan, seperti pada baris kelima. Pada baris kelima tersebut kata eorgia diulang. Puisi ”Blues untuk Bonnie” menggambarkan suasana muram dan penderitaan kaum Negro yang tinggal di gubug-gubug yang bocor. Masalah yang diungkapkan dalam kutipan puisi di atas adalah masalah kemiskinan yang dihadapi oleh seorang penyanyi Negro tua.

b. Prosa

  • Tidak terdapat sisipan cerita sehingga alurnya padat.
  • Cerita perang mulai berkurang.
  • Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari hari.
  • Kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap.
  • Banyak mengemukakan pertentangan pertentangan politik.

Pengarang dan Karya Sastra Angkatan 50

Beberapa pengarang Angkatan 50 yang cukup berpengaruh adalah sebagai berikut:

  1. Ajip Rosidi
    – Cari Muatan Ditengah Keluarga (1956)
    – Pertemuan Kembali (1960)
    – Sebuah Rumah Buat Hari Tua Tahun
    – Tahun Kematian (1955)
  2. Ali Akbar Navis
    – Bianglala: kumpulan cerita pendek (1963)
    – Hujan Panas (1963)
    – Robohnya Surau Kami: 8 cerita pendek pilihan (1950)
    – Bokor Hutasuhut
    – Datang Malam (1963)
    – Enday Rasidin
    – Surat Cinta
  3. Nh. Dini
    – Dua Dunia (1950)
    – Hati yang Damai (1960)
  4. Nugroho Notosusanto
    – Hujan Kepagian (1958)
    – Rasa Sayange (1961)
    – Tiga Kota (1959)
  5. Ramadhan K.H
    – Api dan Si Rangka Priangan si Jelita (1956)
  6. Sitor situmorang
    – Dalam Sajak (1950)
    – Jalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
    – Pertempuran dan Salju di Paris (1956)
    – Surat Kertas Hijau: kumpulan sajak (1953)
    – Wajah Tak Bernama: kumpulan sajak (1955)
  7. Subagio Sastrowardojo
    – Simponi (1957)
  8. Toto Sudarto Bachtiar
    – Suara : kumpulan sajak 1950-1955 (1962)
    – Etsa, sajak sajak (1958)
  9. Trisnojuwono
    – Angin Laut (1958)
    – Di Medan Perang (1962)
    – Laki laki dan Mesiu (1951)
  10. W.S. Rendra
    – Balada Orang orang Tercinta (1957)
    – Empat Kumpulan Sajak (1961)
    – Ia Sudah Bertualang dan cerita-cerita pendek lainnya (1963) dan banyak lagi karya sastra lainnya

7. Periode/Angkatan 66’-70’

Dalam periode ini mulai berkembang sastra pop dan novel pop.

Ciri-ciri Karya Sastra Periode/Angkatan 60’-70’

a. Puisi

  • Mempergunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa frasa.
  • Mempergunakan teknik pengungkapan ide secara sederhana. dengan kalimat kalimat biasa atau sederhana.
  • Mengemukakan kehidupan batin religius yang cenderung mistik.
  • Menuntut hak-hak asasi manusia misalnya: kebebasan, hidup merdeka, bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak, dan bebas dari pencemaran kehidupan modern.
  • Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan.
    Contoh:

Solitude
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
samping yang paling kau!

Sutardji Calzoum Bachri

Pada puisi ”Solitude” kata yang ‘paling’ diulang-ulang. Puisi ”Solitude” menggunakan kata kata dan kalimat-kalimat yang sederhana. Puisi “Solitude” menunjukkan kesepian hati penyair. Penyair merasa bahwa Tuhanlah segala galanya dan ditunjukkan dengan kalimat: samping yang paling Kau!

Kata Kau! pada puisi “Solitude” mengacu kepada Tuhan.

b. Prosa

  • Alur berbelit-belit.
  • Pusat pengisahan bermetode orang ketiga.

Contoh:

“Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan. Pada dirinya sendiri. “

Dikutip dari: Ziarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa novel Ziarah menggunakan sudut pandang orang ketiga. Penulis menyebut tokoh utama dengan sebutan “dia”.

  • Mengeksploitasi kehidupan manusia sebagai individu, bukan sebagai makhluk komunal.
    Contoh:

”Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan. Pada dirinya sendiri.”

Dikutip dari: Ziarah. lwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa penulis hanya mengeksploitasi manusia sebagai makhluk individu yang hanya menghargai keberadaan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kalimat pada dirinya sendiri.

  • Mengemukakan kehidupan yang tidak jelas.
  • Mengedepankan warna lokal (subkultur). latar belakang kebudayaan lokal.
  • Mengemukakan tuntutan atas hak hak asasi manusia untuk bebas dari kesewenang-wenangan, baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat lain atau oleh pihak pihak yang berkuasa.

Pengarang Periode/Angkatan 66-70 Berserta Karyanya

  1. Sutardji Calzoum Bachri
    – Amuk
    – O
    – Kapak
  2. Abdul Hadi WM
    – Laut Belum Pasang (kumpulan puisi)
    – Meditasi (kumpulan puisi)
    – Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (kumpulan puisi)
    – Tergantung Pada Angin (kumpulan puisi)
    – Anak Laut Anak Angin (kumpulan puisi)
  3. Sapardi Djoko Damono
    – Dukamu Abadi (kumpulan puisi)
    – Mata Pisau dan Akuarium (kumpulan puisi)
    – Perahu Kertas (kumpulan puisi)
    – Sihir Hujan (kumpulan puisi)
    – Hujan Bulan Juni (kumpulan puisi)
    – Arloji (kumpulan puisi)
    – Ayat-ayat Api (kumpulan puisi)
  4. Goenawan Mohamad
    – Interlude
    – Parikesit
    – Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang
    – (kumpulan esai)
    – Asmaradana
    – Misalkan Kita di Sarajevo
  5. Umar Kayam
    – Seribu Kunang kunang di Manhattan
    – Sri Sumarah dan Bawuk (kumpulan cerita pendek)
    – Lebaran di Karet, di Karet (kumpulan cerita pendek)
    – Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
    – Para Priyayi
    – Jalan Menikung
    – Danarto
    – Godlob
    – Adam Makrifat
    – Berhala
  6. Putu Wijaya
    – Telegram
    – Stasiun
    – Pabrik
    – Gres – Putu Wijaya
    – Bom
    – Aduh – Edan – Dag Dig Dug (drama)
  7. Iwan Simatupang
    – Ziarah
    – Kering
    – Merahnya Merah
    – Koong
    – RT Nol / RW NoI (drama)
    – Tegak Lurus Dengan Langit
  8. Arifin C. Noer
    – Tengul (drama)
    – Sumur Tanpa Dasar (drama)
    – Kapai Kapai (drama)
  9. Djamil Suherman Sarip Tambak – Oso
    – Umi Kulsum (kumpulan cerita pendek)
    – Perjalanan ke Akhirat
    – Sakerah dan masih banyak lagi yang lainnya.

8. Sastrawan Angkatan Reformasi

Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi.

Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial politik, khususnya seputar Reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak sajak reformasi.

Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial politik.

Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu.

Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noer, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial politik mereka.

9. Sastrawan Angkatan 2000-an

Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki “juru bicara”, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002.

Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Heefanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti:

  • Ayu Utami
  • Abidah el Khalieqy
  • Afrizal Malna
  • Ahmad Nurullah
  • Ahmad Syubanuddin Alwy
  • Ahmadun Yosi Herfanda adalah salah seorang penyair yang dimasukkan oleh Korrie Layun Rampan ke dalam Angkatan 2000, tetapi ia sebenarnya telah banyak menulis sajak sejak awal 1980 an.
  • Ayu Utami dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar, itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, lanjutan dari cerita Saman.
  • Dorothea Rosa Herliany
  • Seno Gumira Ajidarma.
Baca juga:  Variabel Penelitian (Pengertian, Contoh, Jenis, dan Macam-Macam)

Perbedaan dan Perbandingan Karya Sastra Tiap Angkatan

Berikut ini akan dipaparkan beberapa perbedaan dan perbandingan karya sastra yang terdapat pada tiap-tiap angkatan.

1. Perbedaan karangan Kesusasteraan Lama dan Kesusasteraan Baru

Perbedaan kesusasteraan Lama dan Kesusasteraan Baru
Perbedaan Kesusasteraan Lama dan Kesusasteraan Baru

2. Perbandingan karangan antara Angkatan ’20, ’30, 45, 66, 70, sampai Angkatan ‘2000-an

Perbandingan karangan antara Angkatan '20, '30, 45, 66, 70, sampai Angkatan '2000 an (1)

Perbandingan karangan antara Angkatan '20, '30, 45, 66, 70, sampai Angkatan '2000 an (2)