Ada sebuah kejadian yang membuat heboh orang-orang di Demang Mangiran. Alkisah ada seorang gadis yang tidak pernah menikah dengan seseorang laki-laki. Namun, ia hamil dan lebih anehnya lagi ia melahirkan seekor ular sebesar lengan orang dewasa ketika kandungannya berusia sembilan bulan sepuluh hari. Wanita itu adalah putri Ki Demang Taliwangsa.
“Mengapa aku harus mengalami kejadian ini? Apa yang dikatakan oleh penduduk di Kademangan Mangiran jika mengetahui bahwa aku melahirkan seekor ular. Mereka pasti akan mengejekku sebagai orang yang terpandang di desa ini,” keluh Ki Demang Taliwangsa.
Dengan adanya kejadian itu, Ki Demang Taliwangsa pun merasa malu karena mempunyai anak yang melahirkan seekor ular. Kemudian ia menyuruh putrinya agar membuang anaknya yang berwujud ular itu.
“Anakku, maafkan ayah. Sebenarnya ayah tidak tega menyuruhmu untuk membuang anakmu yang berwujud ular itu. Namun bagaimana pun kamu harus melakukannya. Terus terang, ayah merasa malu dengan penduduk di Kademangan ini.”
“Adakah jalan lain selain membuangnya, Ayah? Apapun wujudnya, ia adalah anakku,” tanya wanita itu. Ki Demang Taliwangsa hanya menggelengkan kepala.
“Baiklah, kalau itu memang kehendak ayah. Aku mengerti,” ujar wanita itu memahami kegelisahan ayahnya.
Namun sungguh ajaib karena ular itu dapat berbicara seperti manusia. Anak itu merasa sedih ketika ia mengetahui akan dibuang oleh ibunya.
“Mengapa ibu ingin membuangku? Apakah ibu tidak sayang kepada aku?” tanya ular itu pada suatu hari.
Ketika mendengar perkataan anaknya, akhirnya wanita tersebut mengurungkan niat untuk membuang anaknya. Ia akan memelihara dan merawat sang ular tersebut layaknya anak-anak yang lain. Ia tidak perduli dengan apa pun yang dikatakan oleh orang-orang di desanya.
Suatu hari wanita itu menemui Ki Demang Taiiwangsa dan menjelaskan keinginannya itu. Akhirnya Ki Demang pun setuju.
“Maafkan aku, Ayah. Sebab aku tidak tega melakukannya. Izinkanlah aku untuk merawat dan memeliharanya seperti anak-anak yang lain. Aku akan menasihatinya agar tidak mengganggu penduduk di Kademangan Mangiran ini,” kata wanita itu memohon kepada Ki Demang Taliwangsa.
“Baiklah. Tetapi pesanku agar jangan sekali-kali ular itu diizinkan pergi keluar rumah agar tidak membuat kekacauan penduduk,” kata Ki Demang Taliwangsa.
Semakin hari ular itu semakin tumbuh besar. Namun, ia tidak pernah keluar rumah. Ia juga belum mempunyai nama. Suatu ketika ia minta diberi nama yang bagus oleh ibunya.
“Ibu, sampai sebesar ini aku masih belum kau beri nama. Berilah aku nama yang bagus seperti anak-anak lainnya,” kata ular itu.
Ibunya tersenyum sambil memandangi ular yang ukurannya sudah sebesar paha orang dewasa. Ular itu terlihat sedang melingkar di tempatnya.
“Mmm, bagaimana jika kamu kuberi nama dengan Naga Baru Klinting?” kata sang ibu.
“Itu nama yang bagus. Aku sangat senang mendengarnya. Terima kasih ibu,” ujarnya dengan gembira. Sejak saat itu, ia sering dipanggil dengan Naga Baru Klinting.
Naga Baru Klinting juga ingin mengetahui siapakah ayahnya yang sebenarnya. Belum pernah sekalipun ia melihat sosok ayahnya. Karena masih penasaran, suatu saat ia bertanya kepada ibunya tentang hal itu.
“Belum pernah sekalipun aku melihat ayah. Bolehkah aku tahu siapa ayahku yang sebenarnya, Ibu? Siapa nama ayahku?”tanya Naga Baru Klinting.
Ibunya agak terkejut ketika mendengar pertanyaan dari sang ular. Ia mencoba dan mengatakan bahwa Ki Demang Taliwangsa adalah ayahnya. Naga Baru Klinting tidak mempercayai kata-kata sang ibu dan justru mengatakan kalau Ki Demang Taliwangsa adalah ayah dari ibunya.
Oleh karena setiap hari ibunya terus didesak oleh Naga Baru Klinting, akhirnya ia memberikan cerita yang sebenarnya.
“Wahai anakku Naga Baru Klinting. Jika kamu ingin mengetahui siapa ayahmu yang sebenarnya, maka ibu akan menceritakan peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam,” kata ibunya. Naga Baru Klinting mendengarkan dengan baik-baik.
Beberapa tahun yang lalu, di Kademangan Mangiran akan mengadakan hajatan berupa bersih desa. Sebagai seorang putri Ki Demang Taliwangsa, ia turut membantu acara hajatan tersebut. Suatu saat, ia diminta Ki Demang Taliwangsa menemui Ki Wanabaya untuk meminjam pusaka yang digunakan untuk keperluan upacara bersih desa selama beberapa hari.
Putri dari Ki Demang Taliwangsa itu akhirnya segera pergi menemui Ki Wanabaya dan menyampaikan maksud dan tujuannya.
“Aku datang menemui Ki Wanabaya karena perintah ayahanda. Aku disuruh meminjam pusaka keris Ki Wanabaya untuk dijadikan penolak balak, karena di Kademangan Mangiran akan ada hajatan bersih desa,” kata gadis itu.
Ki Wanabaya terlihat merasa agak keberatan jika meminjamkan keris pusakanya. Ia khawatir jika keris yang bertuah itu hilang atau direbut oleh orang ketika di perjalanan. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya keris itu diberikan kepada putri Ki Demang Taliwangsa.
“Mengapa bukan ayahmu saja yang datang kemari?”tanya Ki Wanabaya penuh kekhawatiran.
“Ayahanda sedang sibuk mempersiapkan upacara bersih desa itu, Ki,”jawab putri Ki Demang Taliwangsa.
“Sebenarnya aku merasa khawatir untuk memberikan keris ini kepadamu. Hal ini karena jika tidak hati-hati dapat mencelakakan diri-sendiri. Dan sebaiknya ingat pesanku ini, janganlah kau menaruh keris pusaka ini secara sembarangan. Dan jangan sekali-kali kamu menaruh di pangkuanmu,” pesan Ki Wanabaya.
Setelah mendengarkan pesan dari Ki Wanabaya, akhirnya gadis itu pulang dengan membawa keris pusaka. Setibanya di rumah, ia melihat banyak para gadis dan wanita yang sedang sibuk memasak makanan di dapur. Ia pun ikut membaur bersama mereka.
Oleh karena kesibukannya, ia lupa menyerahkan keris itu kepada ayahnya. Bahkan, ia melakukan kesalahan yang sangat fatal. Ia meletakkan keris itu di pangkuannya tanpa sengaja. Tiba-tiba, benda keramat tersebut lenyap tak berbekas.
Putri Ki Demang Taliwangsa menjerit. Ia terkejut dan sangat takut. Mukanya menjadi pucat pasi karena terbayang wajah Ki Wanabaya yang pernah berpesan kepadanya. Ia berpikiran kalau Ki Wanabaya tahu pasti akan marah karena ia tidak menuruti pesannya. Akibatnya keris pusaka itu lenyap.
Gadis itu akhirnya pingsan. Seluruh orang yang hadir di Kademangan Mangiran menjadi panik, terutama Ki Demang Taliwangsa. Setelah putrinya tersadar kembali, Ki Demang segera memberitahukan kejadian itu kepada Ki Wanabaya.
Ki Wanabaya kemudian diajak ke Kademangan Mangiran. Ia diminta untuk menyembuhkan putri Ki Demang. Gadis itu sangat ketakutan ketika bertemu dengan Ki Wanabaya. Ia merasa bersalah atas perbuatannya yang tidak berhati-hati dan segera minta maaf.
Ki Wanabaya menghela napas dan tidak marah sedikit pun. Ia kemudian mendekati Ki Demang Taliwangsa yang berada tidak jauh dari dirinya sambil membisiki tentang sesuatu yang penting.
“Itu sudah menjadi suratan takdir walaupun kejadian ini memang tidak dikehendaki. Kita harus menerimanya. Sebenarnya, aku sudah berpesan kepada putrimu agar tidak meletakkan keris itu di pangkuannya.
Namun, karena putrimu teledor, ia menaruh keris itu di pangkuannya. Akibatnya keris itu lenyap dan masuk ke dalam rahimnya. Kejadian ini membuat putrimu hamil walaupun masih perawan,”jelas Ki Wanabaya.
“Bagaimana ini Ki, apa kata orang-orang di Kademangan ini terhadap putriku. Padahal ia belum bersuami,” Ki Demang Taliwangsa tampak panik.
Ki Wanabaya ikut merasakan kesedihan yang dialami sahabatnya ini. Ia kemudian berusaha membantu menyelesaikan masalah ini. Setelah lama berpikir, Ki Wanabaya kemudian menawarkan diri untuk menjadi suami dari putrinya.
Namun ada satu syarat, yaitu setelah acara perkawinan ia tidak akan menjamah sama sekali terhadap putri Ki Demang dan harus segera pergi ke lereng Gunung Merapi untuk bersemedi di sana. Hal ini karena keris pusakanya telah lenyap.
Ki Demang Taliwangsa berpikir sejenak. Akhirnya ia pun setuju dengan saran sahabatnya. Ia kemudian membicarakan dengan putrinya tentang rencana perkawinan. Gadis itu tampak sedih setelah mendengar cerita ayahnya.
Akhirnya ia mau menerima apa yang telah disarankan ayahnya untuk sekedar menutupi aib. Acara perkawinan dilangsungkan dengan acara bersih desa. Demikianlah peristiwa yang dialami oleh putri Ki Demang Taliwangsa.
Setelah mendengar cerita dari ibunya, Naga Baru Klinting akhirnya menyadari dan ingin menemui ayahnya. Ia menanyakan letak Gunung Merapi, tempat di mana Ki Wanabaya bersemedi.
Wanita itu terdiam dan terlihat sedih. Ia sudah terlanjur menyayangi anaknya walaupun berwujud ular. Ia juga khawatir Naga Baru Klinting tersesat ketika pergi ke Gunung Merapi. Karena desakan anaknya, akhirnya ia menunjukkan jalan.
“Jika kamu ingin mencari ayahmu, keluarlah dari Kademangan Mangiran ini pada malam hari agar penduduk tidak merasa ketakutan. Berjalanlah menuju
Kali Progo kemudian kamu harus menyusuri Kali Progo ke arah utara. Dari situ kamu akan menemukan Gunung Merapi. Namun, ingatlah kamu harus bermukim di sana selama beberapa tahun. Setelah tubuhmu cukup kuat, kemudian barulah kamu mencari ayahmu,” pesan ibunya.
Naga Baru Klinting meninggalkan Kademangan Mangiran di malam hari dan bermukim di Kali Progo. Lama-kelamaan tubuhnya menjadi semakin besar sehingga menjelma menjadi seekor naga yang cukup besar. Kulit tubuhnya bersisik dan matanya berkilat-kilat menakutkan. Jika ia mengguncangkan tubuhnya, maka daerah di tepi Kali Progo menjadi longsor.
Keberadaan Naga Baru Klinting cukup meresahkan penduduk sekitar. Hal ini didengar oleh Ki Wanabaya yang sedang bersemedi di puncak Gunung Merapi. Ia menghentikan semedinya dan turun gunung ke Kali Progo untuk mengusir ular tersebut.
Naga Baru Klinting akhirnya bertemu dengan Ki Wanabaya. Namun ia belum mengetahui jati diri Ki Wanabaya yang sebenarnya. Ia menceritakan tujuan kedatangannya untuk menemui ayahnya yang bernama Ki Wanabaya yang sedang bertapa di puncak Gunung Merapi.
Ki Wanabaya yang telah mendengar cerita Naga Baru Klinting, akhirnya mengetahui kalau jelmaan keris pusakanya telah terlahir seorang ular dari rahim putri Ki Demang Taliwangsa.
“Jika kamu ingin mencari ayahmu, pergilah ke Gunung Merapi. Kamu dapat bertemu dengannya jika terlebih dahulu bersemedi, sebab ayahmu seorang pertapa,” kata Ki Wanabaya.
“Bagaimana caranya, Ki?”
“Tubuhmu harus dilingkarkan ke Gunung itu. Jika berhasil, kamu dapat bertemu dengan ayahmu!” ujar Ki Wanabaya.
Naga Baru Klinting akhirnya menuju Gunung Merapi dan melingkarkan tubuhnya. Namun, tubuhnya tidak cukup untuk melingkarinya.
Akhirnya ia menjulurkan lidahnya agar sampai ke ujung ekornya. Bersamaan dengan itu, Ki Wanabaya mengeluarkan keris dan memotong lidahnya. Naga Baru Klinting menjerit dan tubuhnya lenyap. Lidahnya menjelma menjadi sebuah tombak kemudian diberi nama Kiai Baru Klinting.