Legenda Balai-Balai Kayu Jati

Pada zaman dahulu kala di desa Tlogosari ada seorang tetua bernama Demang Joyosura. Joyo artinya jaya dan sura artinya berani. Jadi, Joyosura berarti berani untuk berjaya. Wilayah itu sangat makmur di bawah pimpinan Ki Demang Joyosura.

Joyosura juga seorang guru yang memberi pelajaran tentang ilmu pengetahuan, ilmu beladiri, dan seluk-beluk manusia hidup di dunia. Murid-murid Joyosura tidak hanya dari wilayah Tlogosari, namun juga berasal dari berbagai wilayah.

Joyosura mempunyai seorang murid yang cerdas, pintar, dan cakap. Dia bernama Citrawangsa. Citrawangsa berasal dari luar Tlogosari, yaitu dari Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur.

Pada suatu senja sehabis magrib, tiba-tiba ada seorang punggawa utusan dari Majapahit datang menemui Ki Joyosura. Utusan itu terlihat sangat lelah, tubuhnya kotor dan bau karena hampir 40 hari dia menempuh perjalanan tanpa sempat membersihkan diri.

Walaupun begitu, Joyosura meminta utusan itu untuk segera menjelaskan maksud kedatangannya.

“Maafkan saya, Tuan! Maksud kedatangan hamba ke sini diutus oleh Raja Majapahit bahwa Anda diperintahkan oleh Raja untuk menumpas pemberontakan,” kata utusan itu.

Joyosura terdiam belum bisa menjawab perintah itu. Dalam benaknya terbayang wajah Raja Majapahit. Sebelum Joyosura sempat menjawab, Citrawangsa mengusulkan lebih baik Ki Joyosura tetap tinggal di desa itu saja, ia yang akan menghadap Raja Majapahit.

“Ki Joyosura, biarlah hamba yang akan berangkat menghadap Raja Majapahit,” kata Citrawangsa.

“Tapi… Citrawangsa, yang diutus oleh Raja Majapahit adalah saya,” jawab Joyosura.

“Maafkan hamba, Ki! Hamba harus berbakti dan membela negara. Hamba harus melakukan tugas itu karena hamba rasa ilmu, kesaktian, dan keterampilan berperang yang Ki Joyousura ajarkan sudah cukup banyak.”

Baca juga:  Asal Usul Kota Semarang

Citrawangsa juga menegaskan bahwa ia ingin membalas budi kepada Joyosura yang sudah begitu ikhlas dan tulus menurunkan ilmu kepadanya. Setelah dipertimbangkan cukup lama, akhirnya Joyusura pun meluluskan permintaan Citrawangsa.

Sebelum keberangkatannya ke medan perang, Citrawangsa berpesan kepada istrinya untuk mendoakan keselamatannya.

“Istriku, doakanlah Kanda agar berhasil di medan pertempuran dan kembali dengan selamat. Kanda juga meminta agar Dinda setiap pagi mengamati keadaan balai-balai tempat tidur kita. Apabila balai-balai itu bersih, berarti Kanda berhasil dalam peperangan. Namun sebaliknya, jika tampak noda darah pada balai-balai itu, mungkin Kanda terluka, tertangkap musuh, atau bahkan gugur.

“Baiklah, Kanda. Dinda selalu mendoakan Kanda kapanpun dan dimanapun. Dinda juga akan selalu mengingat pesan Kanda.”

Setelah itu mereka saling berpelukan. Tujuh belas titik air mata menetes di dada Citrawangsa. Sebagai seorang kesatria, Citrawangsa tetap teguh hati dan ikhlas teguh dalam menjalankan tugas.

Kemudian berangkatlah Citrawangsa menuju ke kerajaan Majapahit. Sesampainya di Kerajaan Majapahit, ia menghadap raja dan diperintah untuk memimpin pasukan bersenjatakan pedang, panah, dan tombak.

Pasukan yang dipimpin Citrawangsa pada awalnya berhasil dalam peretempuran. Namun, lama-kelamaan semangat tempur prajurit Majapahit semakin melemah. Sebagian besar prajurit menyerah dan Citrawangsa pun terkepung. Citrawangsa berhasil ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.

Di lain tempat dan di saat yang sama, istri Citrawangsa sedang mengamati balai-balai tempat tidur mereka. Seketika itu juga, wanita cantik itu menjerit saat melihat ada noda darah di atas balai-balai tempat tidurnya. Dalam hatinya berpikir mungkin suaminya gagal dalam medan pertempuran. Mungkin ia terluka, tertangkap, atau bahkan telah gugur.

Istri Citrawangsa yakin bahwa noda darah itu merupakan pertanda buruk bahwa mungkin sang suami tidak akan kembali.

Baca juga:  Legenda Joko Budug

“Ya, Tuhan, selamatkanlah suami hamba dari segala bahaya yang mengancamnya.”

Bulan demi bulan berlalu, istri Citrawangsa masih menunggu dengan setia. Hingga satu tahun sudah Citrawangsa dalam penjara.

Saat itu di desa Tlogosari mulai tersebar berita adanya seorang janda yang begitu cantik bak bulan purnama yang bersinar. Oleh karena itu, ia dipanggil Wulan.

Sementara Citrawangsa berada dalam penjara, pasukan-pasukan Majapahit terus berperang melanjutkan perjuangan melawan pemberontakan. Sampai suatu saat, dari dalam penjara, Citrawangsa mendengar suara gong kecil dipukul berkali-kali, tanda pasukan Majapahit menang.

Akhirnya Citrawangsa pun dapat dibebaskan dari penjara. Raja Majapahit memberi hadiah emas dan mutu manikam kepada Citrawangsa.

Citrawangsa bergegas pulang ke Tlogosari karena sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Wulan, istrinya. Akan tetapi, setelah sampai di Tlogosari Citrawangsa sangat terkejut karena melihat sebuah upacara pernikahan. Dan ternyata, pernikahan itu adalah pernikahan Wulan dengan seorang perjaka bertubuh kekar.

Hati Citrawangsa sangat hancur, amarahnya meluap. Tetapi dia mencoba tenang dan menahan diri. Mungkin pernikahan itu bukan kehendak Wulan, melainkan karena keadaan yang mendesak. Karena pada waktu itu seorang janda dapat dianggap menimbulkan aib bagi penduduk desa.

Dengan hati yang tegar, Citrawangsa masuk ke dalam pesta. Ia mengenakan pakaian bagus, perhiasan yang indah, dan keris bertahtakan mutu manikam hadiah dari Raja Majapahit.

Para tamu sudah menunggu lama, tapi upacara pernikahan belum juga dimulai. Mereka menunggu dalang yang memainkan wayang kulit belum juga datang. Setelah lama ditunggu, ternyata dalang tidak bisa datang karena sakit.

Akhirnya, Ki Joyosura mengumumkan kepada para tamu apakah ada yang bersedia memainkan wayang kulit. Tanpa pertimbangan, Citrawangsa pun mengajukan diri menjadi dalang.

Baca juga:  Legenda Kera Sakti di Puncak Gunung Slamet

Gamelan mulai dibunyikan dan para sinden mulai bernyanyi. Namun, Citrawangsa tidak segera mengambil dan memainkan wayang-wayang kulit itu. Tapi dia menceritakan kisahnya sendiri.

Wulan mendengar cerita itu dan menangis. Dia mulai sadar bahwa dalang itu adalah Citrawangsa, suami yang sangat dicintainya. Kemudian, ia berlari menuju balai-balai tempat tidur mereka. Dan ternyata balai-balai itu sudah bersih berseri-seri tanpa ada noda darah sedikitpun.

Hatinya sangat gembira, tapi calon suaminya menjadi marah. Pertengkaran pun hampir terjadi, tapi Joyosura segera menjelaskan duduk persoalannya. Akhirnya, calon suami Wulan pun ikhlas melepaskan si Wulan untuk kembali kepada Citrawangsa.

Untuk mengenang kisah itu, penduduk Desa Tlogosari Kabupaten Wonogiri sepakat menganggap kayu jati adalah kayu keramat.