Legenda Endang Nawangsih sangat terkenal di Kecamatan Ampel, Kecamatan Boyolali. Para penari di sana menciptakan sendratari berdasarkan cerita ini.
Alkisah, di sebuah desa yang bernama Canditoro ada seorang gadis yang cantik jelita, baik hati, dan senantiasa menolong sesamanya. Gadis itu bernama Endang Nawangsih. Ia adalah anak Ki Ageng Pantaran.
Endang Nawangsih gemar bertanam sayur-sayuran dan buah. Ia menyukai tanaman sayur-sayuran, teh, dan terutama tanaman yang berbuah seperti kopi. Buah yang dihasilkan dari tanaman dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat, terutama bagi penduduk yang kurang mampu dan memerlukan pertolongan di bidang ekonomi.
Pada suatu hari di pagi hari, ketika Endang Nawangsih sedang memetik sayuran, datanglah seorang pemuda yang tampan. Pemuda itu mengaku bernama Citrasoma. Ia adalah putra Raja Hajipamoso, penguasa Pengging.
Citrasoma mengatakan maksud kedatangannya ke Desa Canditoro, ia ingin menikmati pemandangan yang indah dan menghirup udara sejuk di desa itu. Tak lupa juga bahwa Citrasoma mengunjungi desa itu atas perintah ayahandanya. Raja Hajipamoso mengutus Citrasoma untuk memeriksa wilayah itu. Hal ini dikarenakan sang raja sering kurang puas jika mendengar laporan yang diberikan oleh para punggawa mengenai wilayah itu.
“Pagi, Tuan. Sekiranya ada keperluan apa tuan datang ke Desa Canditoro ini? Dan adakah yang dapat saya bantu?” tanya Endang Nawangsih dengan nada lembut.
“Aku hanya ingin mengunjungi Desa Canditoro. Aku dengar tanah di desa ini sangat subur. Banyak tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan yang ditanam di sini,” jawab Citrasoma sambil menatap Endang Nawangsih yang sangat cantik.
Kata-kata lemah lembut dan penuh sopan santun yang diucapkan oleh Endang Nawangsih membuat Citrasoma terpesona. Pertemuan mereka yang sangat singkat itu membekas di hati Citrasoma.
Oleh karena itu, ketika Citrasoma tiba di Pengging yang dilaporkannya kepada Raja Hajipamoso bukan tentang keadaan di wilayah itu.
Namun, Citrasoma mengatakan ketertarikannya kepada Endang Nawangsih yang ditemuinya ketika di desa Canditoro. Tidak hanya itu, Citrasoma bahkan menyatakan keinginannya untuk mempersunting gadis jelita itu menjadi istrinya.
Setelah mendengar cerita anaknya, Raja Hajipamoso segera memanggil guru Citrasoma untuk meminta pertimbangan. Guru Citrasoma itu bernama Syekh Maulana Malik Maghribi.
Sang guru diam sejenak kemudian merenung dan berpikir tentang keputusan apa yang sebaiknya dilakukan. Beberapa menit kemudian, sang guru menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Citrasoma pun tersenyum bahagia.
Pertemuan antara Raja Hajipamoso dan guru Citrasoma masih berlangsung dengan sungguh-sungguh. Mereka membicarakan waktu yang baik untuk mengunjungi desa Canditoro dan melamar Endang Nawangsih.
Sementara itu, di desa Canditoro tampak Ki Ageng Pantaran sedang asyik membicarakan berbagai hal dengan sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba, muncullah Endang Nawangsih dengan tergopoh-gopoh. Ia terlihat baru saja mengalami kejadian yang aneh. Ayahnya hanya tersenyum melihat putrinya itu. Endang Nawangsih kemudian menceritakan peristiwa yang baru dialaminya di ladang.
Setelah mendengarkan cerita putrinya tadi, Ki Ageng Pantaran agak terkejut melihat kedatangan Raja Hajipamoso, Citrasoma, dan Syekh Maulana yang tiba-tiba. Mereka mengatakan maksudnya ke desa Canditoro adalah untuk melamar Endang Nawangsih untuk Citrasoma.
Endang Nawangsih tentu saja sangat terkejut mendengar berita itu. Menurutnya, bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu Citrasoma dapat kembali bahkan dengan membawa ayahanda serta guru guna melamarnya.
Namun, Endang Nawangsih segera ingat bahwa putra Raja Pengging itu memang terkenal sakti. Konon, ia memiliki ilmu kesaktian yang bernama Angin Selaksa. Dengan menggunakan ilmu kesaktian itu, ia dapat berlari dan menyelesaikan tugas dengan sangat cepat.
Raja Hajipamoso segera mengatakan niatnya dan mendesakkan keinginan sang putra.
“Kami datang ke desa ini hendak melamar putri Ki Ageng Pantaran. Apakah Ki Ageng menerima Citrasoma sebagai calon suami Endang Nawangsih?” tanya Raja Hajipamoso dengan santun.
Ki Ageng Pantaran menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada putrinya. Endang Nawangsih menjawab dengan cerdik. Ia mau menerima lamaran Citrasoma jika pemuda tampan itu mau memenuhi permintaannya.
“Baik, Gusti. Aku akan menerima lamaran itu jika putra Prabu Hajipamoso dapat menciptakan sumber air jernih di desa Canditoro,”jawab Endang Nawangsih dengan suara lembut.
Mendengar permintaan itu, Citrasoma segera meninggalkan mereka dan pergi bersemedi. Pada waktu bersemedi, Citrasoma mendapat gangguan dari berbagai jenis jin dan makhluk halus lainnya. Mereka ingin membatalkan keinginan Citrasoma untuk terus bersemedi.
Citrasoma pun marah terhadap para makhluk halus itu. Dan perkelahian di antara mereka akhirnya terjadi. Kemenangan berada di pihak Citrasoma. Setelah itu, ia menjelaskan tujuan semedinya. Mendengar penjelasan Citrasoma, semua jin dan makhluk halus sepakat membantu.
Setelah Citrasoma bersemedi selama tujuh hari, muncullah sumber air jernih yang memancar dengan deras dari lereng gunung Merbabu ke desa Canditoro. Akhirnya ia berhasil mewujudkan permintaan Endang Nawangsih. Mereka memuji kehebatan Citrasoma. Namun, putra Raja Hajipamoso cenderung merendahkan diri.
“Hamba tidak menciptakan sumber air jernih ini. Namun, Tuhan yang telah berkenan memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Selain itu, juga karena doa dan restu Ki Ageng Pantaran,” katanya lembut dan sangat perlahan.
Ki Ageng Pantaran terharu setelah mendengar perkataan Citrasoma. Oleh karena itu, ia memperkenankan putrinya Endang Nawangsih untuk dipersunting oleh putra Raja Hajipamoso.
Nama desa Canditoro kemudian diubah dengan Pantaran. Udara di desa itu sejuk karena berada pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut.