Asal-Usul Aksara Jawa HANACARAKA

Aksara Jawa HANACARAKA adalah salah satu aksara yang digunakan di Pulau Jawa dan sekitarnya, sering disebut aksara Jawa. Aksara Hancaraka sebenarnya diambil dari lima aksara pertama dalam aksara Jawa: “hana caraka”.

Aksara Jawa sendiri berjumlah dua puluh aksara, yaitu:

“ha na ca ra ka – da ta sa wa la – pa dha ja ya nya – ma ga ba tha nga”

Tapi tahukah kamu bagaimana asal mula aksara jawa? Berikut ini cerita tentang asal mulanya aksara jawa hanacaraka.

Pada suatu hari datanglah seorang pertapa yang masih muda bernama Ajisaka. Ia adalah orang yang sakti, rajin, dan baik hati. Ajisaka mempunyai dua orang abdi yang bernama Dora dan Sembada. Mereka berasal dari Hindustan.

Mereka dengan menggunakan kapal layar bergerak menuju ke arah selatan. Ajisaka pernah mendengar sebuah pulau bernama Jawa Dwipa yang kaya raya. Ia merasa tertarik untuk menjejakkan kaki di sana.

Ajisaka bersama dengan dua abdinya memasuki kota dan desa. Kedatangannya di Tanah Jawa bermaksud menyebarkan ilmu pengetahuan. Suatu ketika ia bersama dengan kedua abdinya pergi ke negeri Medang. Namun dalam perjalanannya mereka singgah terlebih dahulu di pegunungan Kendeng.

Diam-diam tanpa sepengetahuan Dora, Ajisaka menitipkan keris pusakanya kepada Sembada.

“Sembada, besok aku akan pergi ke negeri Medang dan keris pusaka ini kutinggalkan di sini. Kupercayakan keris pusaka ini kepadamu. Ingat, siapa pun yang datang meminta, jangan kau serahkan. Jika aku memerlukan akan kuambil sendiri,” kata Ajisaka.

Setelah berpesan kepada abdinya, Ajisaka dan Dora kemudian berangkat menuju negeri Medang. Di negeri Medang, ia tiba di sebuah desa Sengkeran yang terpencil. Ajisaka kemudian bertamu ke sebuah rumah milik janda tua yang bernama Nyai Sengkeran.

“Apakah di sini negeri Medang?” tanya Ajisaka kepada Nyai Sengkeran.

“Betul! Tuan berasal dari mana? Dan apa maksud kedatangan Tuan di tempat ini?” ujar Nyai Sengkeran.

“Aku adalah seorang kelana dari jauh, Nyai. Kedatanganku di negeri ini hanyalah melihat-lihat keluhuran negeri Medang,” jawab Ajisaka.

Nyai Sengkeran merasa senang dengan kedatangan Ajisaka di rumahnya. Nyai Sengkeran hanya hidup sendirian selama ini. Oleh karena itu kedua pemuda tersebut dianggap sebagai anaknya sendiri.

Baca juga:  Dongeng Ki Jenggot

Ajisaka seorang pemuda yang sangat rajin. Ia membantu Nyai Sengkeran mengerjakan sawah. Dan juga berkenalan dengan orang-orang di desa itu. Penduduk desa Sengkeran sangat suka kepadanya karena budi pekertinya yang santun.

“Negeri Medang ternyata tanahnya subur dan makmur,” ujar Ajisaka suatu ketika kepada penduduk desa itu.

“Beginilah keadaan desa ini, Tuan. Tapi sayang sekali, sebagian kecil dari rakyat resah dan ketakutan. Mereka mengungsi secara diam-diam ke daerah lain,” jelas seorang penduduk.

“Mengapa demikian?”

“Negeri Medang diperintah oleh raja yang bernama Prabu Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar mempunyai kesukaan yang aneh. Beliau sangat buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang Prabu memakan daging manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda,” sahut Nyai Sengkeran.

Ajisaka memahami rasa kekhawatiran penduduk desa itu setelah mendengar cerita dari Nyai Sengkeran. Memang sudah sepantasnya jika penduduk desa selalu dalam ketakutan. Sebab mungkin sekali para prajurit akan datang ke desa ini dan membawa mereka ke sang Prabu untuk dimakan.

Ajisaka ternyata seorang yang sakti. Ketika para penduduk yang ketakutan berlari mengungsi, ia meminta para penduduk itu untuk tinggal bersamanya di rumah Nyai Sengkeran. Ia juga tertarik untuk datang ke istana dan ingin mengetahui bagaimana sosok Prabu Dewata Cengkar. Ajisaka kemudian mengutarakan keinginannya ini kepada Nyai Sengkeran.

“Aku ingin mengabdi kepada Prabu Dewata Cengkar, Nyai,” ujar Ajisaka.

“Urungkanlah niat Tuan. Lebih baik tinggalkanlah tempat ini. Desa ini sungguh berbahaya,” kata Nyai Sengkeran memperingatkan.

“Jangan khawatir, Nyai. Dan tidak usah merisaukan keselamatan diriku. Jika aku berhasil mengabdi kepadanya, maka aku akan dapat menumpas angkara murka yang dilakukan oleh Prabu Dewata Cengkar,” jawab Ajisaka.

“Tolong antarkan aku ke rumah Patih Jugul Muda agar nanti diantar menghadap sang Prabu,” kata Ajisaka.

Ajisaka berniat menolong rakyat Medang. Akhirnya, Nyai Sengkeran mengantarkan Ajisaka. Dengan menggunakan serban di kepala, Ajisaka berangkat menghadap patih. Di hadapan patih, Ajisaka mengutarakan maksudnya ingin mengabdi kepada sang Prabu.

Baca juga:  Legenda Joko Budug

Sang patih menjadi tertegun mendengar niat baik Ajisaka karena ia memang seorang pemuda yang bijaksana dan tampan. Dalam benak sang patih, ia merasa sayang jika Ajisaka diserahkan kepada Prabu Dewata Cengkar.

“Baiklah, aku akan menuruti permintaanmu. Namun, kamu harus mengetahui tugasmu nanti. Karena tidak mudah mengabdi kepada sang Prabu,” kata sang patih.

Prabu Dewata Cengkar adalah manusia raksasa. Tubuhnya besar dan menyeramkan. Meskipun demikian, Ajisaka menghadap Prabu Dewata Cengkar dengan berani dan menyerahkan diri untuk disantap oleh sang Prabu dengan mengajukan syarat. Syarat tersebut berupa tanah seluas serban yang digunakannya.

“Sebelum Prabu memangsaku, bolehkah aku minta sesuatu?” ujar Ajisaka.

“Kamu mau minta apa? Katakan saja!” ujar Prabu Dewata Cengkar dengan suara menggelegar.

“Aku hanya minta sebidang tanah seluas serbanku ini,”jawab Ajisaka sambil menunjukkan serbannya.

Prabu Dewata Cengkar setuju dengan syarat yang diajukan oleh Ajisaka. Ajisaka segera membuka serbannya. Ia minta agar Prabu Dewata Cengkar yang memegangi ujungnya. Prabu Dewata Cengkar menuruti kemauan Ajisaka dengan senang hati.

Namun ajaib, saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Ajisaka, serban terus memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar.

Sang Prabu menjadi sangat marah setelah mengetahui niat Ajisaka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya. Prabu Dewata Cengkar terus melangkah mundur mengulur serban Ajisaka. Semakin lama semakin jauh dan tiada habis-habisnya.

Akhirnya Prabu Dewata Cengkar sampai di tepi pantai selatan yang sangat curam. Dengan serta merta Ajisaka menyentakkan serbannya yang mengakibatkan tubuh Prabu Dewata Cengkar tercebur ke laut selatan kemudian hilang ditelan oleh ombak. Raja negeri Medang itu kemudian menjelma menjadi buaya putih.

Semenjak kejadian itu, Ajisaka kemudian dinobatkan menjadi raja negeri Medang. Berkat pemerintahannya yang adil dan bijaksana, Ajisaka telah menjadikan kerajaan Medang ke zaman keemasan, yaitu zaman di mana rakyat hidup dengan tenang, damai, makmur, dan sejahtera.

Penduduk yang semula mengungsi ke daerah lain kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka mulai mengolah sawah dan menanami ladang. Negeri Medang sekarang menjadi tempat yang ramai kembali.

Baca juga:  Legenda Balai-Balai Kayu Jati

Suatu hari, Ajisaka teringat pada keris pusaka yang dititipkan pada abdinya yang bernama Sembada. Pada suatu kesempatan, Ajisaka menyuruh Dora untuk pergi ke pegunungan Kendeng untuk menemui Sembada dan meminta keris pusaka itu.

“Dora, pergilah ke pegunungan Kendeng! Ambillah kerisku! Dan katakan bahwa aku sedang sibuk,” pesan Ajisaka. Dora pun berangkat.

Sesampainya di pegunungan Kendeng, Dora memberikan salam kepada Sembada. Kemudian Dora menyampaikan maksud kedatangannya yang diutus Ajisaka untuk mengambil keris pusaka milik tuannya itu.

Namun Sembada tidak mau menyerahkan keris pusaka Ajisaka yang pernah dititipkan kepadanya. Beberapa waktu yang lalu, Ajisaka pernah berpesan agar Sembada tidak menyerahkan keris kepada orang lain, kecuali kepada dirinya. Itulah yang tetap dipegang teguh oleh Sembada.

Kedua abdi tersebut saling mempertahankan perintah Ajisaka, keduanya tidak mau mengalah. Mereka sama-sama benar. Akhirnya terjadilah perkelahian di antara keduanya. Memang kedua abdi tersebut sama-sama sakti. Akhirnya adu kesaktian kedua abdi itu mengakibatkan keduanya tewas. Mereka masing-masing mempertahankan perintah tuannya daripada mengkhianati perintahnya.

Oleh karena Dora dan Sembada lama tidak datang menemuinya kembali, Ajisaka menjadi khawatir. Akhirnya Ajisaka meninggalkan istana kemudian pergi ke pegunungan Kendeng untuk menyusul Dora dan Sembada. Setelah sampai di pegunungan Kendeng, Ajisaka terkejut ketika melihat mayat Dora dan Sembada tergeletak di tanah.

Ajisaka teringat dengan pesan yang pernah disampaikannya kepada Sembada. Ajisaka menyesal. Dora dan Sembada sebagai abdi kesayangan telah tewas demi tugas yang diberikannya. Kematian mereka merupakan bukti kesetiaan dan kepatuhan terhadap tuannya.

Untuk mengenang pengabdian mereka, Ajisaka menciptakan huruf Jawa yang dikenal dengan Carakan yang berbunyi: “ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.”

Huruf Jawa HANACARAKA
Aksara Jawa HANACARAKA

Pengertian susunan aksara Jawa tersebut adalah sebagai berikut.

  • Hana caraka = ada utusan
  • Data sawala = sama bertengkar
  • Padha jayanya = sama saktinya
  • Maga bathanga = mati bersama.