Kisah Nabi Hud As

Umat Hud adalah kaum ‘Aad, sedangkan Hud berasal dari kota ‘Irom. Hud, ‘Aad, ‘Irom, ketiganya disingkat menjadi Hadram yang kemudian dikenal menjadi Hadramaut. Sebuah wilayah di sebelah selatan Yaman yang sangat subur dan dijuluki ‘new diamond Arabia’.

Nabi Hud As juga merupakan orang pertama yang berbicara menggunakan bahasa Arab. Empat orang nabi yang berasal dari Arab adalah: Hud, Saleh, Syuaib, dan Rasulullah SAW.

Kaum ‘Aad dikenal memiliki kemampuan teknologi yang tinggi. Disebutkan dalam Al-Qur’an yang belum pernah sebuah bangsa memiliki teknologi secanggih itu. Teknologi tersebut yang diwarisi oleh kaum Tsamud, kaumnya Nabi Saleh, yang kemudian disebut bangsa Semit.

Mereka juga memiliki teknologi membangun istana dengan pilar tinggi, gedung-gedung pencakar langit dan memahat gunung-gunung batu untuk dijadikan rumah. Kaum ‘Aad adalah bangsa superior saat itu. Peradaban mereka sudah sangat tinggi melampaui kemampuan bangsa lain di zaman tersebut.

Teknologi seperti apakah yang mereka miliki? Piramida yang dibangun di Mesir, konon, karena diajarkan oleh kaum ‘Aad.

Sayangnya kepandaian yang mereka miliki digunakan untuk bermegah-megah. Kemakmuran yang mereka raih dianggap sebagai hasil kerja keras mereka sendiri. Negeri yang subur mereka anggap sebagai berkah dari penyembahan berhala yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.

Seolah tragedi yang terjadi pada zaman Nuh hilang tak berbekas. Padahal jarak antara banjir Nuh sampai diangkatnya Hud sebagai nabi hanya berkisar sekitar 5-6 abad.

Kesejahteraan dan kemapanan telah membuat mereka lalai. Mereka tenggelam oleh kenikmatan duniawi berkat tanah yang subur dan kekuatan yang mereka miliki dalam mengolah alam. Kemakmuran tersebut telah mengikis sifat-sifat kebaikan dan welas asih dalam diri mereka, bahkan fitrah diri mereka sendiri.

Mereka hanya memercayai apa yang mereka lihat dan apa yang dapat dibuktikan saat itu juga. Mereka mengandalkan bukti empiris dan mengabaikan aspek lain yang lathiif, yang membutuhkan kehalusan rasa untuk memahaminya.

Baca juga:  Kisah Nabi Ayub As

Pada hakikatnya, setiap insan meski tak semua dapat melihat Allah secara langsung, dapat merasakan kehadiran Allah. Setidaknya melalui ciptaan-Nya, seperti bentangan alam, air yang mengalir sehingga tanaman dapat tumbuh subur, pengaturan langit, bintang, bulan, dan matahari yang beredar pada orbitnya.

Tak terbayangkan jika benda langit tersebut tak ada yang mengatur maka sewaktu-waktu akan ada benda langit yang jatuh ke bumi dan meluluh-lantakkan seluruh isinya.

Juga pada pergantian musim, di mana orang dapat bercocok-tanam sesuai musimnya, menikmati tanaman yang tumbuh pada musim tertentu, oksigen yang bisa dihirup dengan leluasa, juga pada dipergilirkannya siang dan malam.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 190).

Manusia sendiri merupakan bukti nyata dari kehadiran Allah, sang pencipta. Tapi kaum ‘Aad tetap bersikeras selama sesuatu hal tak terlihat wujudnya, tak bisa disentuh sosoknya, maka hal tersebut dianggap tak masuk akal, termasuk di dalamnya konsep ketuhanan. Tanpa sadar mereka telah mengecilkan makna kemanusiaan mereka sendiri.

Berhala yang mereka sembah hanyalah benda yang tak memiliki kekuatan apa pun. Manusia membuat patung, namun patung tak dapat membuat manusia. Bagaimana mungkin sesuatu yang dapat dengan mudah kita buat dan kita hancurkan lebih layak untuk disembah?

Kaum ‘Aad sangat mengandalkan kekuatan lahiriah mereka, baik kekuatan pikiran maupun tenaga. Kaum ini sangat menonjolkan kebendaan/materiil. Seolah keberuntungan yang mereka miliki saat ini dicapai melalui kemampuan mereka sendiri. Mereka membanggakan kemampuan yang mereka miliki. Bentuk-bentuk lahiriah menjadi keutamaan bagi mereka.

Akibatnya hati mereka mengeras, membatu, sulit untuk mengenal “kebenaran”. Hati mereka tak lagi sensitif untuk mengenali sesuatu hal yang menjadi fitrah manusia, yaitu, rasa pengenalan pada Sang Maha Pencipta.

Baca juga:  Kisah Nabi Ilyasa As

Sudah merupakan sunatullah, jika suatu kaum telah menyimpang dari kebenaran maka akan Allah hadirkan seorang utusan. Utusan yang akan menyeru umat untuk memurnikan akidah dan bertauhid kepada Allah.

Nabi Hud As datang untuk mengembalikan harkat manusia yang mulia, manusia yang memancarkan sifat-sifat Illahiyyah, bukan berdasar nafsu dan subjektivitas yang terbangun secara turun-temurun. Kepandaian yang mereka miliki harusnya menjadi jalan untuk mentafakuri kehidupan, bukan untuk dipersembahkan kepada berhala kehidupan.

Allah mengutus Nabi Hud As, seorang yang dikenal karena budi pekertinya yang tinggi serta kebijaksanaannya. Nabi Hud As berseru,

“Hai kaumku, aku adalah utusan Allah. Aku menyampaikan amanah Rabbku kepadamu dan aku adalah pemberi nasihat bagimu.”

Namun kaum ‘Aad tidak mendengarkan seruan Nabi Hud As. Kaumnya menjawab, “Apakah engkau datang kepada kami agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh nenek moyang kami? Jika engkau benar, tunjukkan siapa Tuhanmu.”

Lalu terjadi kemarau panjang selama 3 tahun. Kemarau adalah suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Daerah yang dikenal subur mulai meranggas, pohon sulit tumbuh, air menjadi kering, hewan mati karena tak mendapat makanan, dan masyarakat mulai kelaparan.

Kemarau terjadi karena kaum ‘Aad menantang Allah. Bencana yang terjadi terundang oleh lisan mereka sendiri, oleh tantangan mereka sendiri. Mereka berpikir dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menangani semua masalah yang terjadi. Mereka tak punya imajinasi sedahsyat apa gerangan jika menentang kuasa Allah.

Namun bencana kemarau tak jua melunakkan hati mereka. Hud berkata, Allah akan memberikan pertolongan dengan mengirimkan awan.

Untuk menguji apakah hati mereka telah iman dan dapat melihat “kebenaran”, maka Allah hadirkan 3 warna awan masing-masing berwarna: putih, merah, dan hitam. Hamba yang beriman akan memahami kehendak Allah melalui qalb-Nya bukan pada logika semata.

Baca juga:  Kisah Nabi Yunus ‘Alaihissalam

Melihat mega mendung berarak, gembiralah hati mereka. Mereka kira awan yang hitam menjadi penanda akan turun hujan yang lebat. Mereka menyambut dengan sorak-sorai gembira. Mereka melupakan Nabi Hud As dan merasa tak perlu meminta bantuannya untuk menentukan awan yang mana yang akan mendatangkan manfaat bagi mereka.

Semakin pekat awan menjadi penanda derasnya hujan yang akan turun. Sayangnya, pendapat tersebut hanya berdasarkan logika dan pengetahuan yang mereka miliki. Mereka merasa tak perlu minta pendapat Nabi Hud As untuk sekadar memilih awan. Mereka bersandar pada pengetahuan yang mereka miliki, hingga merasa tak lagi membutuhkan Allah.

Ketika kaum ‘Aad memilih awan hitam, seorang perempuan beriman menjerit hingga pingsan. Jeritan tersebut tentu mengagetkan semua orang yang hadir. Ketika perempuan itu siuman, orang-orang bertanya apakah yang membuat ia menjerit seperti itu?

Lalu perempuan itu mengatakan “Aku melihat awan hitam itu adalah meteor yang dapat membawa bencana.” Kaum ‘Aad telah melakukan kesalahan. Mereka salah memilih awan karena terlalu mengandalkan logika tanpa meminta nasihat dari Hud, sang utusan Allah.

Namun, ketetapan Allah telah tiba. Mereka hanya menuai akibat dari tindakan mereka sendiri.

Demikianlah kisah Nabi Hud As dan keteladanannya, serta penyebab sehingga Kaum ‘Aad dibinasakan. Semoga kita bisa mengambil hikmah di dalam kisah tersebut.