Cerita Fabel dan Pesan Moralnya – Banyak kisah dengan tokoh hewan (fabel) yang diceritakan secara turun-temurun di setiap daerah di Indonesia. Cerita fabel tersebut memiliki hikmah positif yang bisa diambil, terutama bagi perkembangan mental anak-anak. Dongeng ini sangat dianjurkan bila dibacakan orang tua bersama anak-anaknya agar hubungan psikologis antara orang tua dan anak bertambah erat.
Di halaman ini berisi kumpulan dongeng fabel dari berbagai daerah di Nusantara yang masing-masing bagian tidak saling berkaitan sehingga bisa dibaca secara tidak berurutan. Dongeng-dongeng ini diambil dari berbagai sumber dan ditulis kembali sesuai tingkat pemahaman usia anak.
Membekali pengetahuan kepada anak sebaiknya dilakukan dengan cara yang menarik. Salah satunya lewat cerita fabel bergambar. Selain memberi pengetahuan dan ajaran moral, cerita bergambar mampu merangsang imajinasi. Imajinasi yang muncul saat proses belajar tentu akan merangsang daya pikir anak menuju kedewasaannya.
Jadikan saat-saat mendongeng menjadi bagian dari agenda kebersamaan keluarga. Selamat mendongeng. Setamat mendampingi putra-putri Anda membaca cerita fabel.
Cerita Fabel: Raja Burung Parkit (Aceh)
Burung-burung parkit itu terbang berarak. Mereka menuju hutan luas untuk mencari makanan. Tiba-tiba, mata mereka yang mungil secara bersamaan memandang biji-bijian yang tersebar di tanah yang cokelat, berada di antara rimbunan pohon besar. Tanpa diperintah, tubuh-tubuh kecil itu pun langsung melesat cepat menuju hamparan makanan itu.
Saat kaki parkit-parkit itu menyentuh tanah, tiba-tiba sebuah jaring raksasa terentang dan menyergap mereka. Parkit-parkit itu pun panik. Tubuh-tubuh kecil itu meronta-ronta dan berusaha meloloskan diri dari rangkaian jaring yang kuat itu.
”Sakit sekali Aku tidak bisa bernapas!” pekik seekor parkit yang panik karena terjepit di antara teman-temannya.
“Tolong… tolong!” teriak salah satu parkit.
“Hai…, kawan!? Di tempat seperti ini tidak ada yang bisa menolong kita. Jadi, jangan buang tenagamu sia-sia untuk berteriak-teriak. Saat ini yang dibutuhkan adalah siasat untuk meloloskan diri dari jaring-jaring ini,” kata parkit yang lain.
Raja Parkit yang juga ikut terjebak dan mendengar keluhan rakyatnya berusaha menenangkan.
“Jangan panik kalian semua! Kita sedang berada di dalam perangkap. Sebentar lagi, pemburu akan datang. Ia akan memilih burung-burung yang masih hidup. Burung yang mati akan dibuangnya. Karena itu, kita semua harus berpura-pura mati. Nanti, setelah aku beri aba-aba, saat itulah kita akan terbang bersama-sama.”
Memang, salah satu kelebihan yang dimiliki sebagian besar bangsa burung adalah mampu berpura-pura mati dengan cara menahan napas dalam waktu yang lama. Ini dilakukan untuk mengelabui musuh atau calon pemangsa. Jadi, tak berapa lama kemudian, tubuh parkit-parkit itu langsung berjatuhan ke tanah. Kaku, seakan-akan telah mati dalam waktu yang sudah lama.
“Huh, sial benar hari ini! Semua burung yang masuk dalam perangkap telah mati,” kata si pemburu. ”Burung-burung yang mati seperti ini tidak mungkin laku dijual,” gerutunya.
Saat pemburu itu memperhatikan Raja Parkit, ia begitu tertarik dengan keindahan bulu-bulunya. Ia pun meletakkan sang raja dalam sangkar untuk diawetkan. Karena merasa dirinya sudah diletakkan di luar jaring bersama burung-burung yang lain, sang raja pun memberi aba-aba pada rakyatnya untuk segera terbang.
Burung-burung parkit yang terlihat kaku itu pun dengan sigap dan tangkas berubah segar dan terbang menuju awan. Namun, sang raja lupa kalau dirinya justru berada di dalam sangkar. Jadilah ia tertinggal sendiri di dalam sangkar.
Walaupun kaget dengan kejadian itu, si pemburu tampak sangat bahagia. Ternyata, burung yang dikaguminya masih hidup. Si pemburu sudah tidak peduli lagi dengan ratusan burung lain yang terbang.
Tanpa buang waktu, Raja Parkit diletakkan di sangkar yang indah dan dibawa ke pasar. Sepanjang hari, Raja Parkit bernyanyi untuk menghibur diri. Suaranya yang sangat indah membuat kagum mereka yang mendengarnya. Si pemburu pun memasang harga yang sangat tinggi jika ada yang ingin membeli burung itu.
Keindahan suara sang Raja Parkit akhirnya terdengar oleh raja. Sang raja tidak hanya jatuh cinta pada suaranya, tapi juga pada keindahan bulu-bulunya. Walaupun harga yang ditawarkan pemburu sangat tinggi, sang raja tetap ingin membeli burung itu. Raja Parkit pun dibawa ke istana dan ditempatkan dalam sangkar emas.
Meski diberi tempat dan makan yang enak, Raja Parkit tetap memendam rindu pada rumah dan rakyatnya. Dari hari ke hari, kicauannya berubah menjadi nyanyian sedih. Raja Parkit pun jatuh sakit. Ia telah kehilangan semangat hidup. Tubuhnya melemah dan tidak lagi bernyanyi.
Melihat keadaan burung kesayangannya, sang raja pun menjadi sangat sedih. Suatu hari, ia melihat tubuh burung itu diam tak bergerak di dalam kandangnya. Dengan perasaan tak menentu, Raja Parkit dikeluarkan dari dalam sangkar untuk dikuburkan.
Saat jasadnya diletakkan begitu saja di atas tanah, Raja Parkit tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Meski dengan kondisi tubuh yang lemah, ia segera terbang tinggi untuk kembali ke hutan dan menemui rakyatnya. Sesampainya di sana, Raja Parkit pun disambut gembira.
Kisah Ikan Tongkol dan Ayam (Riau)
Zaman dahulu, di Pulau Natuna dan Anambas, semua hewan saling bersahabat, baik yang hidup di darat maupun di laut. Di antara mereka yang berteman baik adalah bangsa ayam dan bangsa ikan tongkol.
Suatu ketika, bangsa ayam mendatangi bangsa ikan tongkol untuk mengabarkan adanya pesta dengan zikir bardah (doa atau puji-pujian berlagu) pada malam bulan purnama.
“Kalian harus datang karena pesta sebesar ini belum tentu ada di tahun depan. Pokoknya, kalian akan rugi kalau tidak bisa menyaksikan kemeriahannya!” seru bangsa ayam.
Mendengar berita tersebut, bangsa ikan tongkol menyambut gembira. Mereka memang sudah lama ingin menyaksikan zikir bardah yang disertai tetabuhan rebana dari jarak dekat. Apalagi, acara tersebut berlangsung pada saat bulan purnama, saat air laut pasang.
“Baiklah, sahabatku, kami akan datang. Terima kasih atas undangan kalian,” kata pemimpin Ikan tongkol.
“Aku pun bahagia karena kita bisa berpesta bersama di darat,” jawab bangsa ayam.
”Namun, sebelumnya aku mohon pertolongan kalian. Berkokoklah sebelum fajar menyingsing saat air laut akan surut. Jangan sampai terlambat karena rakyatku pasti akan celaka,” pinta pemimpin Ikan tongkol.
“Tenang saja. Tanpa kau minta, kami pasti akan berkokok Jauh sebelum Matahari terbit. Itu sudah menjadi pekerjaan kami setiap hari!” seru sang ayam meyakinkan.
Saat yang ditunggu pun akhirnya tiba. Ketika bulan purnama tiba dan air laut pasang, segerombolan ikan tongkol berbondong-bondong menuju daratan. Air pasang membawa mereka hingga di bawah panggung tempat zikir badar berlangsung.
Mereka terlena dengan alunan rebana, lantunan zikir, dan juga pantun. Acara terus berlangsung hingga larut malam. Bangsa ayam tentu saja ikut larut dalam kegembiraan. Mereka pun terlena dengan kemeriahan pesta.
Semua yang hadir dalam acara tersebut baru tertidur menjelang pagi. Bisa dipastikan, mereka semua terlambat bangun. Begitu pula dengan ikan tongkol. Mereka tentu saja terkejut karena Matahari sudah meninggi dan air laut telah kembali surut.
Beberapa di antara mereka yang berdiam dekat dengan batu karang berlarian menuju lekuk karang yang banyak airnya. Namun, sebagian lagi tidak bisa menuju ke tengah laut karena pantai telah mengering. Mereka pun menggelepar-gelepar di kolong panggung tempat pesta semalam.
“Hoiii…!!! Ada ikan terdampar. Ayo, kita tangkap…” seru para nelayan.
Suara tersebut mengagetkan bangsa ayam. Mereka semua langsung terbangun.
“Celaka!!! Apa yang harus kita lakukan. Bangsa ikan tongkol pasti marah pada kita!” terlak pemimpin bangsa ayam.
Dalam kepanikan itu, bangsa ayam pun menuju pantai. Mereka tidak tega melihat sekian banyak ikan tongkol mati dan ditangkap manusia.
Dari arah karang, pemimpin ikan tongkol berseru, ”Hai, bangsa ayam… mana janji kalian!? Aku tidak akan pernah memaafkan kelalaian kalian sampai kapan pun.”
“Maafkan kami.… Kalian lihat kan, kita semua terlambat bangun!” seru bangsa ayam.
Ikan tongkol sudah tidak peduli dengan permintaan maaf bangsa ayam.
“Perhatikanlah wahai bangsa ayam. Kami akan memangsa bangsa kalian sebagai balasan atas kematian rakyat kami. Kalaupun tidak mendapatkan tubuh kalian, bulu-bulu kalian pun akan kami makan!”
Sejak saat itu, bangsa ayam bermusuhan dengan bangsa ikan tongkol. Hingga saat ini, para nelayan di Kepulauan Natuna dan Anambas Kepulauan Riau selalu menggunakan bulu ayam jantan yang diambil dari bagian tengkuk sebagai umpan memancing ikan tongkol di lautan.
Cerita Fabel Pendek: Kecerdikan Burung Puyuh (Bengkulu)
Pada suatu masa, manusia, hewan, dan pohon dapat saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Saat itu jugalah hidup seorang yang sangat kejam bernama Pak Sugeak. Ia hidupsendiri di sebuah rumah besar di pinggir hutan. Meski kaya-raya, ia sangat serakah sehingga semua makhluk enggan berkawan dengannya.
Tidak jauh dari rumah Pak Sugeak, hiduplah seekor burung puyuh. Suatu hari, burung puyuh, yang sedang mencari makan dengan mengais-ngais tanah mencari cacing, dikejutkan seruan Pak Sugeak.
“Pergi kau burung kecil kotor! Jangan ganggu cacing-cacing itu. Mereka sedang menggemburkan kebunku. Kalau mereka kau makan, kau yang akan aku suruh untuk menggantikan pekerjaan cacing-cacing itu.”
Sang burung puyuh rupanya sakit hati dengan kata-kata Pak Sugeak. Tanpa berpikir lama, ia mendatangi kancil sahabatnya yang terkenal cerdik untuk meminta nasihat.
“Cil, tingkah-laku Pak Sugeak sudah keterlaluan, dia merasa semua yang di dunia ini miliknya. Dia sudah sangat serakah. Kita harus berbuat apa untuk menghentikannya? Biasanya, kau punya ide yang hebat, sahabatku,” kata burung puyuh.
“Maaf, kawan. Aku rasa Pak Sugeak terlalu kuat untuk dilawan,” kata Kancil menyerah.
“Cil, tidak ada makhluk yang lebih kuat daripada Tuhan. Jadi, aku yakin pasti ada sesuatu yang bisa mengalahkan Pak Sugeak. Itulah yang harus kita cari,” kata burung puyuh memberi keyakinan.
Sebatang pohon kopi yang berada di sana ikut bersuara. “Benar yang dikatakan burung puyuh itu. Aku juga sudah tak tahan dijadikan tempat untuk mengikat kambing-kambingnya. Lihatlah badanku, bengkak dan lecet semua.”
“Ternyata, bukan aku saja yang sakit hati pada Pak Sugeak. Aku pikir, kita semua bisa bekerja sama untuk melawannya,” kata puyuh lagi.
”Itulah yang sejak dulu aku pikirkan. Pak Sugeak terlalu kuat dan pintar. Walaupun kau dan aku bersatu, kita tidak akan bisa menang,” ucap si pohon kopi yang sudah ragu.
“Kawan-kawan, bukan hanya kalian yang ingin memberi pelajaran buat Pak Sugeak. Aku juga ingin. Apalagi, banyak temanku yang dijadikan tungku dan dijual oleh Pak Sugeak.” Kali ini si tanah liat ikut berbicara.
Si burung puyuh pun berpikir sejenak. Setelah itu, dia berseru, ”Kalau begitu, kita semua harus bersatu!”
Selanjutnya, burung puyuh mengajak ketiga temannya Itu untuk lebih mendekat. Dia ingin membisikkan sesuatu. Setelah mendengar ide dari burung puyuh, ketiganya mengangguk setuju.
Saat hari menjelang tengah malam, mereka sudah berada di rumah Pak Sugeak. Ketika orang itu sudah tidur, si batang kopi mengetuk pintu rumah sangat keras. Dengan mata setengah terpejam, Pak Sugeak menuruni tangga rumah hendak membuka pintu. Ketika kakinya menyentuh anak tangga terakhir, tiba-tiba tubuh lelaki kejam itu tergelincir karena menginjak si tanah liat licin yang dengan sengaja berada di sana.
Dengan menahan rasa sakit, Pak Sugeak mencoba untuk bangun. Namun, belum sempat berdiri, wajah Pak Sugeak terkena hantaman kuku tangan si kancil. Akibatnya, mata kanan orang itu tidak bisa melihat. Sambil terhuyung-huyung, ia masih berusaha mencari-cari sesuatu di dapur.
Saat itulah burung puyuh mengepakkan sayapnya dengan keras sehingga abu dapur beterbangan dan masuk ke mata kiri Pak Sugeak. Lelaki itu pun berteriak menahan sakit. Tak lama kemudian, batang kopi datang dan memukul tubuh Pak Sugeak dari belakang hingga jatuh terkapar.
“Apakah kau masih bisa berlaku kejam, Pak Sugeak!?” seru burung puyuh.
“Siapa kalian?” tanya Pak Sugeak.
“Kami semua adalah korban kejahatanmu,” tambah si kancil.
“Baiklah, aku minta maaf. Akan tetapi, tolong jangan sakiti aku lagi,” iba Pak Sugeak.
“Kami akan memaafkanmu, tetapi dengan satu syarat!” kata si kancil. “Apa itu?” Pak Sugeak bertanya.
“Mulai saat ini, kau harus meninggalkan tempat ini. Pindahlah ke tempat lain dan janganlah berbuat kejam lagi di tempat barumu itu.”
“Kalau itu memang keinginan kalian, baiklah. Aku akan pergi jauh dan tidak akan mengulangi kesalahanku di tempat yang baru,” janji Pak Sugeak.
Pagi harinya, mereka pun melihat Pak Sugeak meninggalkan rumahnya yang besar tanpa membawa harta bendanya.
Cerita “Siput Memuji Buntut” (Bengkulu)
Di Bengkulu ada sebuah peribahasa terkenal yang berbunyi ”Siput Memuji Buntut”. Peribahasa itu adalah perumpamaan bagi orang yang suka memuji diri sendiri, sombong, dan selalu merasa paling unggul.
Ada kisah terkenal mengenai kesombongan si kancil kepada hewan lain yang dianggapnya lemah. Kancil dikenal sebagai hewan yang cerdik dan pintar. Selain itu, ia juga sering menolong yang lemah sehingga banyak hewan yang mau bersahabat dengannya.
Ternyata, hal itu memupuk rasa sombong di dalam dirinya. Tanpa sadar, ia menjadi besar kepala, menganggap dirinya paling pintar di seantero hutan. Bahkan, kadang ia meremehkan kecerdikan hewan lain yang menurutnya lemah dan tidak berdaya.
Suatu saat, kancil bertemu dengan siput. Hewan kecil ini berjalan dengan perlahan, menikmati udara pagi yang indah di dalam hutan. Ia ingin menghirup udara segar sepuas-puasnya. Kancil yang telah berada di sana pun menyapanya.
”Selamat pagi, siput. Aku lihat pagi ini kau begitu kelelahan. Mungkin bebanmu teramat berat hingga jalanmu pelan sekali. Sebaiknya, kau tinggalkan saja rumahmu itu, tidak perlulah engkau bawa ke mana-mana. Dengan begitu, aku yakin jalanmu bisa Jadi lebih cepat.”
Siput merasa kata-kata kancil itu mengejek dirinya. “Hai, kancil, aku sudah terbiasa membawa rumahku ini. Jadi, aku tidak pernah merasa lelah atau terbebani. Malah, aku jadi leluasa menikmati indahnya pagi dengan berjalan santai seperti ini.”
“Itu sih alasanmu saja. Buktinya, kerjamu hanya makan dan bermalas-malasan. Itu artinya rumah itu sangat membebanimu,“ ujar kancil lagi.
Siput tak menyangka mendapat ungkapan seperti itu dari kancil, hewan yang selama ini dihormatinya karena pintar dan sering membantu hewan lain.
“Aku tahu, kau memang hewan paling hebat di hutan ini. Namun, itu bukan berarti kau bisa merendahkan hewan lain,” kata siput menasihati.
”Kalau kau merasa tersinggung dengan ucapanku, buktikanlah bahwa dirimu memang hebat!”
Siput makin terkejut. Dia tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Mungkin semuanya telah berubah. Kepintaran si kancil telah membuat dirinya sombong.
“Baiklah,… Karena kau meremehkanku, aku akan membuktikan bahwa kepintaranku sama dengan dirimu, bahkan lebih. Otakku ini bahkan mungkin lebih besar daripada milikmu!” seru siput.
”Apa aku tidak salah dengar? Bayangkan kalau seisi hutan ini mendengar ucapanmu. Mereka pasti akan menertawakanmu. Tidak ada hewan lain di sini yang bisa menandingi kecerdikanku,” kata kancil sombong.
“Engkau yang seharusnya ditertawakan. Dirimu sudah banyak berubah. Engkau bukan kancil yang dulu lagi. Baiklah, agar kau kembali sadar dan tidak sombong, kita buktikan siapa yang terbaik. Aku akan menantangmu untuk lomba lari,” ujar siput dengan yakin.
Kancil semakin lupa diri mendengar tantangan itu, yang baginya tidak masuk akal.
”Hei… tanpa diadu pun semua hewan tahu kalau akulah yang akan jadi pemenangnya. Namun, untuk menghormatimu, aku akan melayani tantangan itu.”
“Besok pagi, di tempat ini, kita akan mulai bertanding. Kita akan menyusuri sungai ini sampai ke hulu di bukit sana. Yang tiba lebih dahulu di bukit, itulah yang jadi pemenangnya, ” kata siput lagi.
Kancil pun setuju. Tak lama kemudian, ia langsung pergi meninggalkan siput.
Segera saja siput mengumpulkan teman-temannya. Mereka mengadakan rapat untuk menyusun strategi.
“Mulai sekarang, semua bergerak menyusuri pinggir sungai sampai ke garis akhir. Masing-masing siap di tempatnya. Kalau besok kancil memanggil, siput terdekat yang akan menjawab,” begitulah uraian penutup sebelum rapat berakhir.
Waktu yang dinantikan pun tiba. Seluruh hewan sudah datang ke tempat lomba. Siput dan kancil pun telah bersiap. Setelah hitungan ketiga, kancil lari secepat kilat meninggalkan siput yang berjalan dengan santai. Ketika sudah agak jauh, kancil berkata dengan lantang, “Kau pasti masih jauh di belakang karena jalanmu lamban!”
Kancil terkejut saat mendengar jawaban yang tak kalah lantang, “Aku sudah di sini, di depanmu.“
Melihat siput sudah berada di depan, emosi kancil terpancing. Ia mempercepat larinya. Ketika sudah sampai jauh dan mulai kelelahan, kancil pun berniat beristirahat.
”Siput itu pasti masih jauh. Aku akan istirahat dulu,” kata kancil terengah-engah.
Belum sempat kancil memperlambat langkahnya, dari depan terdengar suara lagi.
”Rupanya kau kelelahan teman. Kalau mau istirahat, silakan saja. Aku akan berjalan duluan,” kata siput.
Kancil pun kaget. Ia tidak jadi beristirahat. Kancil kembali berlari sekuat tenaga sampai terjatuh karena kelelahan dan menyerah kalah.
Dongeng Kancil yang Licik (Bengkulu)
Seekor kancil berlari-lari kecil di Jalanan setapak di pinggir hutan. Dengan riangnya, ia bernyanyi dan menyapa setiap hewan yang ditemui di sepanjang perjalanan. Sampailah ia di sebuah ladang yang ditumbuhi pohon mentimun. Hari yang sangat terik membuat kancil tergoda untuk menyantap mentimun yang segar itu.
Namun, kancil harus bersabar karena Pak Tani masih berada di tengah ladang. Menjelang sore, Pak Tani akhirnya meninggalkan ladang. Karena rasa lapar yang ditahannya sejak siang, kancil langsung masuk ke ladang dan menyantap mentimun yang ada di sana hingga kenyang. Kancil baru kembali ke hutan saat hari menjelang malam.
”Besok, aku akan datang ke sini lagi,” pikir si kancil. Esok harinya, Pak Tani terkejut melihat ladang mentimun miliknya rusak. “Ini tidak bisa dibiarkan. Dari bekas gigitannya, pasti hewan bergigi kecil. Aku akan memberinya pelajaran.”
Pak Tani berkeliling ladang mencari tahu jenis hewan dan dari mana hewan itu masuk ke dalam ladang. Setelah cukup lama menyusuri ladang, Pak Tani menemukan bekas-bekas jejak kaki hewan. Akhirnya, di dekat tempat itu, dibuat sebuah lubang jebakan yang ditutupi dengan dedaunan.
“Malam ini, hewan itu pasti akan kembali. Namun, kali ini dia tidak akan lolos,” kata Pak Tani sembari melangkah pulang.
Dugaan Pak Tani ternyata benar. Malam itu, kancil datang kembali melewati jalan yang sama. Tanpa rasa curiga, ia berjalan melenggang sambil sesekali berlari-lari kecil. Ketika sampai di pinggir ladang, tiba-tiba tubuhnya terjerembab ke dalam sebuah lubang.
“Bruukl”
Sejenak kancil tertegun dalam lubang yang gelap. Mau tak mau ia harus berpikir panjang, otak kancil segera mencari akal. Ia pun melantunkan mantra dari dalam lubang.
“Pat-terempat esok hari akan kiamat, masuklah ke lubang agar selamat!” seru kancil dengan lantang dari dalam lubang.
Seekor tikus yang lewat dan mendengar mantra itu langsung saja menceburkan diri ke dalam lubang tersebut. Tidak hanya Itu. Kelinci, monyet, kambing, dan ular juga memercayai mantra tersebut dan ikut masuk ke dalam lubang. Mereka percaya yang berada dalam lubang akan selamat saat hari kiamat.
Menjelang pagi, lubang kecil Itu sudah penuh. Tiba-tiba, mereka mencium bau yang amat busuk.
“Teman-teman, siapa di antara kalian yang kentut hingga baunya sangat mengganggu. Lubang ini terlalu sempit untuk kita. Jadi, yang kentut harus dilempar keluar!” seru si kancil.
Semuanya yang ada di situ terdiam dan memandang satu sama lain.
“Kalau tidak ada yang mengaku, ayo kita periksa,” usul kambing yang disetujui semua hewan yang berada di situ. Setelah diperiksa, ternyata kancil yang kentut. Akhirnya, dengan terpaksa ia dilempar ke luar lubang.
Setelah berada di luar lubang, kancil mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya.
“Sampai jumpa lagi, kawan-kawan. Maafkan aku yang telah menipu kalian semua. Hari ini kiamat ternyata tidak terjadi. Jangan lupa juga sampaikan salamku untuk Pak Tani,” kata kancil sambil segera berlari kencang menuju hutan.
Cerita Buaya yang Ingin Menyantap Gajah (Lampung)
Pak Buaya terkenal sebagai hewan yang rakus dan serakah. Setiap hari, tak kurang dari seekor kambing atau sepuluh ekor bebek disantapnya. Hal ini tentu meresahkan hewan lain yang sering mencari makan dan minum di pinggir sungai. Kerakusan Pak Buaya membuat mereka harus sangat hati-hati agar tidak menjadi santapannya.
Hewan-hewan yang gelisah dan merasa terancam ini pun berkumpul untuk mengadakan pertemuan. Pak Kambing ditunjuk memimpin rapat itu. Ia dianggap lebih pintar di antara hewan lain.
“Jalan satu-satunya agar kita selamat dan hidup tenang adalah menyingkirkan Pak Buaya dari sungai,” ujar Pak Kambing saat membuka rapat.
“Benar, Pak Kambing. Cuma kami tak tahu caranya. Apalagi, Pak Buaya sangat buas. Tak seekor hewan pun yang berani kepadanya,” seru tupai lantang.
“Nah, untuk itulah kita semua berkumpul di sini. Masalah ini harus kita pecahkan bersama,” sahut bebek.
“Bagaimana kalau kita lawan saja? Kalau kita semua yang ada di sini bersatu untuk melawannya, Pak Buaya pasti kalah,” usul sapi.
Pak Kambing menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
“Kita tidak akan melawan kekerasan dengan kekerasan. Bisa-bisa, kita semua akan binasa dan mati dengan sia-sia.”
“Benar kata Pak Kambing. Kita semua pasti akan kalah, apalagi Pak Buaya juga memiliki banyak teman. Mereka akan menganggap kita semua sebagai hidangan pesta yang lezat,” kata bebek lagi.
Akhirnya, semua hewan yang ada di dalam rapat itu terdiam dan mulai berpikir mencari cara yang tepat untuk mengalahkan Pak Buaya.
“Aku tahu apa yang harus kita lakukan!” seru Pak Kambing memecah keheningan.
“Ide Pak Kambing pasti cemerlang,” kata sapi tak sabar.
“Begini, kita semua tahu, Pak Buaya adalah hewan yang rakus. Namun, kita juga tahu, ia adalah hewan bodoh. Besok, aku akan pergi ke pinggir sungai. Aku akan memintanya menemui gajah.”
“Hati-hati, jangan sampai engkau yang menjadi santapan Pak Buaya!” seru kelinci memperingatkan.
Keesokan hari, Pak Kambing pergi ke pinggir sungai untuk menjalankan idenya. Ia memang sengaja berlama-lama menunggu kehadiran Pak Buaya sambil selalu waspada. Pak Kambing tidak ingin dirinya dijadikan santapan Pak Buaya.
Pak Buaya akhirnya muncul dan berjalan menuju ke arah Pak Kambing. Sebelum dekat, Pak Kambing segera menyapanya. “Hari ini kau pasti sangat lapar. Namun, kalau kau menyantapku sekarang, dirimu pasti akan menyesal. Soalnya, aku tahu tempat hewan yang sangat besar yang bisa membuatmu kenyang dan tidak makan selama satu minggu.”
“Oh ya, di mana itu?” Pak Buaya yang rakus memang selalu tidak sabar kalau mendengar makanan yang banyak.
“Tenang dulu, Pak Buaya. Tidak usah terburu-buru. Hewan itu bernama gajah. Ia tinggal di hulu sungai ini. Memang agak jauh dari sini. Akan tetapi, kalau kau sudah menemukannya, aku jamin kau suka. Jumlah mereka sangat banyak sehingga kau tidak perlu khawatir kelaparan. Kalau dibandingkan dengan yang ada di sini, jauh sekali. Hewan di sini kecil-kecil dan jumlahnya semakin sedikit karena kau selalu memangsanya,” kata Pak Kambing.
”Baiklah. Aku harap engkau tidak berbohong. Aku akan datang ke sana. Toh, tempat itu tidak terlalu jauh. Aku cukup berenang selama empat hari saja. Terima kasih atas informasimu, Pak Kambing,” ujar Pak Buaya senang.
Tanpa membuang waktu, Pak Buaya berenang menuju hulu sungai. Meski belum pernah bertemu dengan gajah, Pak Buaya sangat yakin akan menemukan hewan itu dengan mudah. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, Pak Buaya melihat sekelompok hewan bertubuh besar sedang minum di sungai. Wajah Pak Buaya terlihat gembira.
“Inilah hewan yang diceritakan Pak Kambing. Mereka memang sangat besar. Sekali santap, aku pasti akan merasa kenyang selama satu minggu,” pikir Pak Buaya.
Pak Buaya pun berjalan mendekat ke arah gajah-gajah itu. Sebelum sampai di tempat yang dituju, seekor gajah telah melihatnya. Sadar akan bahaya yang mengancam, salah satu dari gajah yang paling besar mendekati Pak Buaya dan menginjak Pak Buaya dengan salah satu kakinya.
Karena tidak diduga, Pak Buaya tidak sempat menghindar atau melakukan perlawanan. Pak Buaya akhirnya mati karena tubuhnya diinjak sang gajah.
Cerita Fabel: Badak Pembohong (Banten)
Badak sebenarnya hewan yang baik. Ia suka berbagi makanan pada hewan lain. Sayangnya, ia sangat suka berbohong, meskipun hal itu dilakukannya sekadar iseng. Ternyata, keisengannya ini merugikan dirinya dan hewan lain.
Di siang hari yang terik, kambing sedang tidur-tiduran di bawah pohon besar. Suasana yang teduh dan hawa yang sejuk membuat kambing hampir tertidur. Tiba-tiba, badak datang dan mengagetkannya.
“Hoi, kambing!!!” teriak badak lantang. “Mengapa engkau malah enak-enakan tidur di sini, sementara teman-temanmu sedang bersusah payah memperbaiki rumahmu yang rusak tertimpa pohon!?”
Mendengar hal itu, si kambing pun terkejut. “Yang benar, badak. Waktu aku pergi, rumahku masih baik-baik saja.”
”Kejadiannya belum begitu lama,” kata badak.
Perkataan badak yang sangat meyakinkan membuat kambing terpengaruh dan percaya. “Kalau begitu, aku harus segera pulang. Terima kasih atas informasimu.”
Begitu kambing pergi menjauh, si badak tertawa terbahak-bahak. “Kambing itu rupanya tak tahu sedang aku bohongi. Ha… ha… ha….”
Rupanya, si badak berbohong agar ia bisa berteduh di bawah pohon besar Itu.
Di lain waktu, ketika si badak ingin berendam di sungai, di situ ternyata sudah ada sekelompok bebek yang sedang bermain. Si badak pun merencanakan kebohongan lain agar bisa menguasai sungai itu dan berendam dengan leluasa.
”Hai, bebek. Berani sekali kau mandi di sungai ini. Apa kau tidak takut dimakan buaya!?” seru badak dengan lantang dari tepi sungai.
“Mana ada buaya di sini? Kami sudah lama mandi di sungai ini dan belum pernah sekali pun bertemu buaya,” bantah bebek.
“Buaya itu memang baru tinggal di sungai ini kemarin. Aku melihatnya sendiri. Dia tinggal di gua pinggir sungai itu. Sekarang ia pasti sedang tidur. Kalau nanti bangun, ia pasti kelaparan dan akan memangsa kalian.”
”Benarkah begitu?” tanya bebek-bebek itu serentak.
“Terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang penting, aku sudah memberi tahu kalian. Kalau kalian tidak menghargai niat baikku, ya tidak apa-apa,” kata badak.
Setelah berkata demikian, si badak pun pura-pura berjalan pergi. Ia bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai. Ternyata, tipuannya kali ini juga berhasil. Bebek-bebek itu keluar dari sungai dan pergi menjauh. Setelah bebek-bebek itu tidak tampak lagi, barulah si badak keluar dari tempat persembunyian dan berendam di sungai.
Begitulah tingkah laku si badak. Hampir setiap hari ada saja hewan di hutan yang dibohongi demi kepentingannya sendiri. Akhirnya, semakin banyak hewan yang tidak percaya lagi kepadanya.
Suatu hari, di hutan tempat badak tinggal, hujan turun dengan sangat deras. Angin pun bertiup kencang. Tidak ketinggalan petir sambar-menyambar. Akibatnya, banyak pohon di hutan roboh. Saat hujan mengganas, badak sedang berada di dalam gua, tempat tinggal beruang. Ia pun baru pulang ke rumah saat hujan reda.
Sesampai di depan rumah, badak sangat terkejut mendapati tempat tinggalnya hancur tertimpa pohon. Karena panik, si badak berlari mencari bantuan kepada hewan-hewan lain di hutan. Sayangnya, mereka tidak lagi percaya pada kata-kata si badak.
“Tolonglah, rumahku hancur tertimpa pohon. Bantu aku memperbaiki rumahku,” kata badak setengah menangis.
“Sudahlah. Biar pun kau menangis sampai air matamu habis, tak akan ada hewan di hutan ini yang percaya lagi kepadamu,” kata kambing ketika badak mendatanginya.
Ketika badak mendatangi kerbau, jawabannya pun tak Jauh berbeda.
“Kali ini, aku tidak bohong,” kata badak meyakinkan.
“Kami sudah tidak bisa membedakan kapan kau bohong dan tidak,” kata gajah saat badak meminta tolong kepadanya.
Lelah meminta pertolongan, si badak cuma bisa menangis. Malam itu, ia harus tidur di luar. Tubuhnya pun kedinginan. Selain itu, besoknya ia harus membangun rumahnya sendiri, tanpa bantuan dari kawan-kawannya.
Cerita Fabel: Kijang dan Kura-kura (Jawa Tengah)
Harimau adalah raja hutan yang sangat bijaksana. Jadi, tidak mengherankan kalau semua hewan di hutan hormat dan tunduk kepadanya. Kalau si raja ini memerintahkan sesuatu, tak ada satu hewan pun yang berani membantah.
Sebulan sekali, saat purnama muncul, semua hewan penghuni hutan diwajibkan berkumpul di padang rumput. Di sana mereka akan membicarakan segala permasalahan yang ada di hutan itu. Biasanya, masing-masing hewan juga membawa hadiah istimewa untuk diberikan pada si raja hutan.
Sore itu, semua hewan sedang bersiap-siap menghadiri pertemuan di padang rumput. Tidak ketinggalan pula si kijang. Ia akan memberikan sebuah mangkuk yang indah pada raja hutan. Mangkuk itu terbuat dari tempurung kelapa yang sangat besar.
”Harimau pasti akan suka dengan mangkuk tempurung ini. Aku rasa ini adalah tempurung terbesar yang ada di dunia,” pikir kijang.
Dengan riang gembira, kijang berjalan menuju padang rumput sambil membawa tempurung tersebut. Pada zaman dahulu, kijang tidak bisa berlari. Karena itu, ia sengaja berangkat lebih awal agar tidak terlambat sampai di tempat pertemuan.
Di tengah perjalanan, kelinci memanggilnya, ”Kijang… maukah kau menolongku?”
“Dengan senang hati. Apa yang bisa kubantu, kelinci?” Kijang lalu menghampiri kelinci, sementara mangkuk tempurung ia letakkan begitu saja di pinggir jalan.
“Aku kesulitan membungkus hadiah untuk raja hutan. Nah, kau pasti bisa melakukannya. Aku tahu kau adalah hewan yang memiliki selera seni tinggi. Jadi, apa pun yang kau buat, pastilah hasilnya sangat bagus.” Si kelinci pun menarik kijang masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, di tempat lain, kura-kura sedang berlari menuju rumahnya. Ia sedang terburu-buru.
“Gawat… hari sudah sore. Aku belum menyiapkan baju untuk pertemuan nanti.”
Dulu, kura-kura terkenal sebagai hewan yang memiliki kemampuan berlari cepat karena badannya belum bertempurung seperti sekarang. Di hutan itu, kura-kura juga terkenal sebagai hewan yang sangat modis. Pada setiap acara yang didatangi oleh banyak hewan, ia selalu tampil dengan pakaian yang indah.
Karena berlari sangat cepat, si kura-kura tidak melihat ada tempurung besar yang diletakkan begitu saja oleh kijang.
Brukkkk!! Si kura-kura terjatuh karena kakinya tersandung tempurung itu. Bukannya marah atau kesal, wajah kura-kura malah terlihat ceria.
“Aha… bagus sekali tempurung ini. Akhirnya, aku menemukan pakaian yang cocok untuk kupakai buat acara nanti.”
Kura-kura membawa tempurung itu pulang. Sesampainya di rumah, ia mengikatkan tempurung itu di atas punggungnya.
”Hmm… pakaian ini membuatku terlihat gagah. Tapi… berat sekali ya. Kalau seperti ini, aku tidak bisa berlari cepat ke tempat pertemuan. Tak apalah, yang penting semua hewan akan memandang kagum kepadaku.”
Di tempat lain, kelinci dan kijang sudah bersiap untuk berangkat. Begitu keluar dari rumah kelinci, kijang sangat kaget karena tempurung yang ia bawa menghilang.
”Siapa yang tega mencuri tempurung itu?” tanya kijang menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah… anggap hadiah ini milik kita berdua,” bujuk kelinci.
Si kijang pun setuju dan berhenti menangis.
Malam itu, padang rumput sudah dipenuhi seluruh hewan. Mereka sedang menunggu kedatangan raja hutan. Kura-kura adalah hewan yang terakhir datang. Ia tampak gagah dengan baju barunya. Semua mata tertuju pada kura-kura. Ya, hampir semua hewan mengagumi penampilan kura-kura malam itu, kecuali si kijang dan kelinci.
“Ternyata, kau yang mencuri tempurungku,” teriak kijang mengagetkan semua yang ada di sana.
”Enak saja. Aku menemukan tempurung ini di pinggir jalan,” bantah kura-kura.
Untunglah harimau si raja hutan segera datang.
Kijang pun segera mengadu. “Tuanku Harimau, kura-kura telah mencuri tempurung yang sebenarnya akan hamba berikan pada tuanku sebagai hadiah. Kelinci ini sebagai saksinya, Tuanku.”
“Hamba tidak mencuri, Tuanku. Hamba menemukannya di pinggir Jalan, di depan rumah kelinci,” ujar kura-kura membela diri.
”Apa betul begitu, kelinci?” tanya harimau menyelidiki.
“Benar, Tuanku. Kijang meninggalkan tempurung itu di depan rumah hamba karena ia masuk ke dalam rumah untuk menolong hamba,” kata si kelinci.
”Apa kau menyukai tempurung itu kura-kura?” si raja hutan bertanya menyelidik.
“Tentu saja, Tuanku. Tempurung ini membuat hamba terlihat gagah.”
“Kalau begitu, aku akan memberikan tempurung itu untukmu. Sebagai gantinya, kemampuanmu berlari cepat akan aku berikan pada kijang. Adil, bukan?’
Ya, sejak saat itu, kijang dapat berlari cepat, sedangkan kura-kura berjalan lambat. Tentu saja kura-kura menyesal mengambil tempurung itu, tetapi penyesalan itu sudah terlambat dan tidak ada gunanya lagi.
Dongeng Dua Ekor Kambing yang Sombong (Jawa Timur)
Tak terasa sudah seharian Si Tanduk berdiri di tepi sungai. Ternyata, ia sedang berkaca di air dan mengagumi tanduknya yang besar dan melengkung.
”Aku memang gagah. Tidak ada seekor kambing pun di sini yang memiliki tanduk seperti aku.”
Seperti itulah yang dilakukan si kambing sombong setiap hari. Ia memang memiliki tanduk yang indah. Tak heran jika teman-temannya menjulukinya “Si Tanduk”. Namun, karena kesombongannya itu, tak ada seekor kambing pun yang mau berteman dengannya. Setiap ada yang mendekati, Si Tanduk selalu membanggakan tanduknya.
“Tidakkah kau mau mengagumi sejenak tandukku yang indah ini,” kata Si Tanduk pada domba yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Untuk apa, yang aku butuhkan sekarang ini adalah rumput segar karena aku lapar. Lebih baik kau cari saja kambing lain,” jawab si domba dengan wajah kesal sambil beranjak pergi menuju lapangan rumput.
Si Tanduk pun beranjak ke arah berlawanan dengan si domba. Ia berharap bertemu dengan kambing lain untuk memamerkan tanduknya.
Tak lama setelah itu, empat ekor anak kambing tampak berjalan ke arahnya. Hati Si Tanduk pun sangat senang.
“Anak-anak kambing itu pasti akan kagum melihat tandukku,” pikirnya sambil tersenyum.
Sayangnya, keempat anak kambing itu malah berlari berbalik arah meninggalkan Si Tanduk. Keempat anak kambing itu rupanya sudah bosan dengan perilaku si Tanduk yang suka pamer.
“Hai… kalian akan rugi kalau tidak melihat tandukku hari ini!” teriak Si Tanduk.
”Justru kami yang rugi sudah membuang waktu untuk mendengar kesombonganmu,” jawab keempat anak kambing Itu serempak.
Karena merasa tidak ada lagi kambing lain mau mengagumi tanduknya, Si Tanduk berniat pergi ke seberang sungai. Ia ingin memamerkan tanduknya pada kambing-kambing yang ada di sana. Sayangnya, sungai itu tidak berjembatan sehingga Si Tanduk tidak dapat menyeberang.
Namun, suatu hari terjadi angin topan sehingga banyak pohon yang tumbang. Kebetulan, sebuah pohon kelapa yang tinggi tumbang dan jatuh melintang di atas sungai. Karena batangnya menjangkau tepian sungai yang lain, pohon tersebut bisa digunakan sebagai jembatan. Keinginan Si Tanduk pun terkabul. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, ia segera menuju sungai.
Baru saja kakinya sampai di jembatan, dalam waktu yang sama, seekor kambing dari seberang Juga menginjakkan kakinya di ujung jembatan satunya.
“Hei, Minggir! Aku mau lewat!” seru Si Tanduk berteriak lantang.
”Untuk apa aku harus minggir? Aku sudah terlebih dahulu menginjakkan kakiku,” sahut kambing di seberang tak kalah lantang. Keduanya saling berpandangan sejenak dengan mata melotot.
“Tidakkah kau takut pada tandukku yang besar ini?” Si Tanduk mulai menyombongkan diri.
“Harusnya kau yang takut padaku. Lihatlah tubuhku ini. Lebih besar darimu, bukan? Aku pasti lebih kuat.” Ternyata, kambing ini pun sama sombongnya dengan Si Tanduk.
Karena tidak ada yang mengalah, kedua kambing itu mulai melangkah maju. Mereka pun bertemu di tengah-tengah jembatan pohon kelapa itu. Mata keduanya sama-sama garang.
“Jadi, kau benar-benar tidak mau mundur! Berarti kau telah siap menanggung risikonya. Rasakanlah kehebatan tandukku ini” seru Si Tanduk sambil berlari ke arah lawannya.
Tanpa mengenal rasa takut. serudukan Si Tanduk dilayani si kambing besar itu. Karena dua kekuatan besar bertemu, hasilnya pun menakjubkan. Keduanya sama-sama jatuh ke sungai. Karena tidak dapat berenang, keduanya terseret arus sungai yang deras.
Cerita Dongeng: Menyelamatkan Kura-Kura (Jawa Timur)
Burung gagak, kura-kura, kijang, dan musang sudah lama menjalin persahabatan. Mereka sering berkumpul di bawah pohon besar, dekat sebuah danau. Masing-masing akan bercerita tentang apa saja yang mereka alami.
Seperti biasa, pagi itu mereka sudah berkumpul. Sampai hari agak siang, baru kijang dan musang yang datang. Gagak dan kura-kura belum tampak. Kijang dan musang pun menjadi gelisah.
“Ke mana mereka berdua ya? Padahal, gagak telah berjanji membawakanku udang besar dari sungai,” kata si musang.
Tak berapa lama, terdengar suara dari udara.
”Maaf, teman-teman,” kata gagak terengah-engah ketika sampai di depan dua sahabatnya. ”Tadi aku menjemput kura-kura, tapi dia tidak ada di rumah. Aku sudah mencarinya di sekitar hutan dan tetap tidak bertemu. Sekarang, aku akan mencari di pinggiran hutan. Agar lebih cepat, kalian juga bantu mencarinya, ya. Nanti kita akan bertemu lagi di sini ketika Matahari tepat di atas kepala.”
“Baiklah, kami akan membantumu mencari kura-kura!” seru kijang dan musang bersamaan.
Dalam sekejap, gagak sudah melesat ke udara dan menghilang dari pandangan dua sahabatnya itu. Pada suatu tempat, matanya melihat sahabatnya itu berada di dalam jaring yang dipikul seorang pemburu. Saat itu, sang gagak langsung berpikir.
“Kalaupun turun ke bawah, aku tidak akan bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan kura-kura. Lebih baik aku menyusun siasat bersama teman-teman terlebih dahulu.”
Gagak pun melesat menuju tempat pertemuan yang direncanakan dan segera melaporkan apa yang telah dilihatnya. Ketiganya langsung menyusun rencana untuk menyelamatkan kura-kura dari cengkeraman pemburu. Tak lama kemudian, ketiga sahabat itu menuju tempat yang diceritakan gagak melalui jalan pintas.
Ketika sampai di jalan setapak, tiba-tiba musang dan rusa berkelahi. Pertarungan itu tentu saja menarik perhatian si pemburu. Jaring yang berisi kura-kura pun diletakkannya di tanah. Si pemburu itu penasaran dan memperhatikan pertarungan itu dari balik semak-semak.
“Rusa itu pasti kalah oleh musang. Setelah rusa itu jatuh, aku akan memanah musang. Hmm… aku akan mendapat dua hewan sekaligus. Hari yang sungguh menguntungkan,” pikir si pemburu.
Melihat jaring kura-kura yang ditinggalkan begitu saja, gagak pun datang untuk membantu kura-kura meloloskan diri.
“Cepatlah masuk ke dalam sungai sebelum pemburu itu tahu,” kata gagak ketika kura-kura sudah terbebas dari jaring yang membelenggunya.
Gagak pun segera terbang dan memberi tanda pada kedua sahabatnya bahwa misi mereka telah berhasil. Saat itu juga, pertarungan antara rusa dan musang terhenti.
Si pemburu yang sejak tadi memperhatikan keduanya langsung terheran-heran melihat kejadian tersebut. Apalagi, keduanya pun langsung melarikan diri ke dalam hutan.
Kesialannya bertambah karena jaring berisi kura-kura yang ia letakkan begitu saja kini telah kosong. Kura-kura itu telah pergi entah ke mana….
Pesan Cerita: Persahabatan yang dilandasi dengan kesetiaan mampu menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Persahabatan ketiga hewan tersebut membuktikan hal tersebut, mereka menolong sahabat mereka yang sedang mengalami kesulitan…
Cerita Hewan: Hikayat Kelelawar Terbang Malam (Bali)
Di sebuah kebun, hiduplah berbagai jenis hewan. Kelompok hewan di darat dipimpin oleh kera, sedangkan kelompok burung dipimpin oleh burung jalak. Mereka hidup rukun dan tolong-menolong.
Di sana juga hidup sekelompok kelelawar yang sombong. Mereka lebih suka bergaul dan berkumpul dengan sesama kelelawar. Ketika itu, bangsa kelelawar masih terbang dan mencari makan di siang hari.
“Kelelawar adalah hewan yang paling tinggi derajatnya. Kita tidak akan pernah merendahkan diri hanya untuk berteman dengan hewan lain. Tidak ada hewan yang lebih sempurna dari kita, yang punya gigi sekaligus sayap. Kita pun bisa memakan makanan enak setiap hari.” Begitulah ucapan yang sering dikatakan pemimpin kelelawar kepada rakyatnya.
Pada suatu hari, kelompok hewan di darat berencana mengadakan kerja bakti. Kera pun mendatangi kelelawar untuk minta bantuan.
“Hai, bangsa kelelawar, kami akan membersihkan sampah yang ada di kebun ini agar saluran air menjadi lancar dan pohon-pohon tumbuh subur. Bisakah bangsa kalian ikut membantu?”
Bukannya ikut membantu, kelompok kelelawar itu mencibir. Bahkan, salah satu di antara mereka berkata, ”Hai kera, tidakkah kau lihat bahwa bangsa kami memiliki sayap? Jadi, kami bukan termasuk bangsa hewan. Coba ajak bangsamu sendiri saja.”
Mendengar perkataan itu, kera pun pergi dengan kecewa. Ia menceritakan hal tersebut pada burung jalak.
“Tidak pernah aku menemukan hewan sesombong bangsa kelelawar. Ucapannya membuatku sakit hati,” ujar kera kepada burung jalak.
”Sabar, kawanku. Biar aku saja yang mencoba membujuk mereka. Mungkin mereka akan mau. Apalagi, aku dan mereka sama-sama hewan bersayap,” kata burung jalak.
“Baiklah. Semoga engkau tidak akan sakit hati seperti diriku jika jawaban mereka nanti akhirnya sama,” kera memperingatkan sahabatnya.
Burung Jalak pun datang menghampiri kelelawar.
“Besok pagi, bangsa burung akan membersihkan ulat-ulat yang banyak merusak buah-buahan di kebun. Aku harap kalian bisa turut membantu untuk kepentingan kita bersama,” kata burung jalak.
Sama seperti saat dengan kera, kelelawar menanggapi ajakan burung jalak dengan sinis.
“Kau salah alamat, kawan. Tidakkah kau lihat bahwa bangsa kami memiliki gigi? Mana ada burung yang punya gigi? Jadi, kami bukan termasuk bangsamu.’
Burung jalak pun menelan kekecewaan yang sama dengan kera.
Ketika para hewan bekerja keras membersihkan kebun, bangsa kelelawar malah bercanda dan tertawa-tawa sambil bergelantungan di pohon dan memakan buah-buahan yang ranum.
Beberapa bulan kemudian, kerja keras para hewan membuahkan hasil. Kebun itu telah dipenuhi buah-buahan ranum yang tidak lagi dimakan ulat. Mereka semua bergembira dan bersuka-cita dengan mengadakan pesta. Buah-buahan itu dipanen dan hasilnya dibagi dua, yaitu untuk bangsa hewan di darat dan bangsa burung.
Keesokan hari, ketika bangsa kelelawar hendak mencari makan, mereka tidak lagi menemukan buah-buahan. Dari seekor burung, mereka tahu ada pesta panen buah-buahan kemarin. Sekelompok bangsa kelelawar lalu mendatangi kera untuk meminta bagian.
‘Hal, kera, mengapa kemarin kau tidak mengundang kami? Nah, sekarang kami datang untuk meminta bagian.”
“Hai, kelelawar, dulu kau bilang bangsa kelelawar bukan termasuk bangsa hewan di darat. Jadi, mintalah bagianmu pada bangsa burung.”
Kelelawar langsung pergi menemui burung jalak. Mereka juga mendapatkan jawaban serupa.
”Bukankah kalian hewan yang bergigi? Maaf kalau kemarin kami tidak memasukkanmu ke dalam daftar undangan untuk pesta panen raya. Kami pikir hewan di darat mengundang kalian.”
Sejak saat itu, kelelawar menjadi malu. Mereka tidak berani keluar di siang hari saat bangsa hewan mencari makan. Bangsa kelelawar baru berani keluar untuk mencari makan di malam hari.
Cerita Hewan: Kecerdikan Kucing (Bali)
Anjing dikenal memiliki penciuman tajam. Kemampuan anjing mencium keberadaan hewan-hewan di hutan tentu saja dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemburu. Akibatnya, tak satu hewan pun yang bisa lolos dari kejaran pemburu.
Hal tersebut tentu saja meresahkan Prabu Macan. Raja hutan ini sangat sedih memikirkan nasib rakyatnya. Setiap hari, selalu saja ada hewan di hutan yang ditangkap oleh pemburu.
“Hari ini, si kembar babi hutan tertangkap pemburu,” lapor monyet dengan terengah-engah karena kelelahan, melompat dari satu pohon ke pohon lain untuk melapor ke Prabu Macan.
Pada hari sebelumnya, burung nuri dan kelinci juga melaporkan nasib sahabat-sahabatnya.
”Kasihan si rusa. Anjing pemburu itu berhasil mengendus tempat rusa beristirahat sehingga pemburu-pemburu itu dengan mudah memanah si rusa hingga mati,” kata burung nuri.
”Semakin lama, jumlah kancil yang ada di hutan ini akan habis. Merekalah yang paling sering menjadi sasaran pemburu,” tambah kelinci, sahabat si kancil ikut memberi laporan.
Melihat keadaan ini, Prabu Macan pun memanggil seluruh penghuni hutan untuk berkumpul. “Kita tidak bisa membiarkan warga hutan habis diburu. Untuk itu, kita harus melakukan sesuatu.”
“Setuju!!!” seru semua yang hadir kompak.
“Namun, apa harus kita lakukan?” tanya kelinci.
”Kita harus menyingkirkan anjing itu,” sahut serigala.
Prabu Macan pun berpikir sejenak. “Usul serigala memang tepat, tetapi siapa yang sanggup melakukannya? Apalagi, si anjing itu selalu berada dekat dengan si pemburu,” kata Prabu Macan kepada warganya.
Suasana pun hening. Tak satu pun hewan yang berani mengajukan diri untuk menyingkirkan si anjing.
Tiba-tiba….
“Serahkan saja semuanya pada hamba,” kata kucing lantang.
Mendengar perkataan kucing, semua hewan yang hadir tertawa terbahak-bahak.
“Kau ini lucu sekali kucing. Aku berjanji, kalau kau bisa melenyapkan anjing pemburu itu, aku akan memakan kotoranmu. Ha… ha… ha,” kata Prabu Macan sambil tertawa.
Merasa diremehkan, malam itu kucing menyusup ke istana tempat anjing pemburu itu tinggal. Si kucing ingin membuktikan bahwa perkataannya dapat dipertanggungjawabkan. Ia memang merasa mampu untuk mengalahkan anjing.
Sesampai di dalam istana, kucing melihat anjing sedang makan bersama tuannya. Dengan hati-hati, kucing merayap masuk ke dalam. Namun, gerak-gerik kucing ini tercium oleh anjing pemburu. Seketika itu, mata si anjing melotot dan tak henti-henti menyalak.
“Guk… guk… guk.…!!!”
Tingkah-laku si anjing membuat tuannya heran. Ia berpikir hewan peliharaannya ini sedang kelaparan. Jadi, tulang-tulang pun dilemparkan ke arah hewan tersebut. Meski sudah diberi banyak tulang, si anjing tetap menyalak.
“Apa lagi maumu? Bukankah tulang-tulang itu sudah cukup banyak?” tanya tuannya keheranan.
Kucing pun melompat pada tiang di belakang kursi tempat si pemburu duduk. Dengan senyuman mengejek, ia menggoda anjing tersebut.
“Tak bisakah kau menangkapku hewan pemalas?”
Perkataan kucing membuat anjing marah besar. Tanpa pikir panjang, si anjing memburu kucing dengan membabi-buta. Karena kepandaian si kucing untuk menghindar, terjangan anjing justru menuju sang tuan.
Hal ini tentu saja membuat si pemburu marah besar. Bahkan, ia mulai berpikir anjingnya terkena penyakit gila dan berbahaya. Saat itu juga, si pemburu mengambil pedang panjang dan menghunusnya tepat di dada si anjing. Anjing pun mati seketika itu.
Setelah berhasil memperdaya si anjing, kucing tidak berani kembali ke hutan. Dia ingat janji Prabu Macan yang akan memakan kotoran si kucing.
“Kalau sekarang ia makan kotoranku, bisa jadi suatu saat aku yang akan dimakannya,” pikir kucing.
Jadi, sampai saat ini kucing selalu menutupi kotorannya dengan tanah agar tak tercium oleh Prabu Macan.
Cerita Fabel: Lamaran Burung Bangau (Bali)
Di sebuah hutan, kecantikan seekor gelatik berparuh merah sudah sangat terkenal. Karena sangat cantik, hewan-hewan di hutan memanggilnya Raden Galuh.
Suatu hari, datang seekor burung kecil bernama Ingkling-Ingkling menyampaikan lamaran burung bangau bernama Buah Banu kepada Raden Galuh.
“Raden Galuh yang cantik jelita, kecantikanmu sungguh memesona. Buah Banu, burung bangau yang gagah perkasa, sangat mengagumimu. Kedatanganku ke sini adalah mewakili sahabatku itu untuk melamar dirimu agar bersedia menjadi istrinya,” kata Ingkling-Inkling dengan penuh harap.
Mendengar lamaran itu, Raden Galuh terdiam cukup lama. Ia sebenarnya ingin menolak. Namun, Ia harus mencari cara yang tepat untuk mengatakannya agar tamunya itu tidak tersinggung.
Setelah cukup lama berpikir, Raden Galuh akhirnya bersuara. “Ingkling-Ingkling, kau lihat tubuhku yang mungil ini, bukan? Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan seekor bangau yang tinggi besar. Jadi, kalau Buah Banu ingin mempersuntingku, ia harus memotong kakinya terlebih dahulu.”
Ingkling-Ingkling pulang untuk memberitahukan permintaan Raden Galuh kepada Buah Banu. Tanpa beban, Buah Banu menurun permintaan itu. Ingkling-Ingkling pun kembali diutus untuk melamar Raden Galuh.
“Raden Galuh, Buah Banu telah memotong kakinya sebagai tanda cinta padamu. Untuk itu, aku mohon kau menerima lamarannya,” kata Ingkling-Inkling pada Raden Galuh.
Raden Galuh, yang tidak menyangka permintaan itu dilakukan, berpikir lagi. Ia harus mencari cara lain agar Buah Banu menghentikan lamarannya.
“Ingkling-Ingkling, aku hanya mau menerima Buah Banu jika ia telah memotong paruhnya. Aku tidak ingin tersiksa karena paruhnya yang begitu besar,” minta Raden Galuh kepada burung kecil itu.
Permintaan ini pun akhirnya disampaikan kepada Buah Banu. Seperti pada permintaan pertama, Buah Banu pun langsung melaksanakannya. Ia langsung memotong paruhnya dengan senang hati.
Ingkling-Ingkling kembali datang kepada Raden Galuh.
“Buah Banu telah memotong paruhnya. Apakah kau sudah bisa menerima lamarannya?” kata Ingkling-Ingkling.
”Tampaknya belum. Masih ada satu syarat lagi yang harus dikerjakannya. Aku ingin bangau itu memotong sayapnya agar diriku tidak sesak napas saat berada di dekatnya.”
Mendengar syarat terakhir itu, Ingkling-Ingkling terkejut. Ia merasa permintaan itu berlebihan sehingga tidak tega untuk menyampaikannya pada Buah Banu.
Namun, karena ia diutus untuk menyampaikan lamaran dan syarat yang diajukan, mau tak mau hal itu harus diberitahukan kepada Buah Banu. Karena rasa cintanya yang begitu besar, bangau besar itu pun memotong kedua sayapnya.
”Raden Galuh, permintaan terakhirmu telah dipenuhi. Jadi, terimalah segera lamaran Buah Banu!” seru Ingkling-Ingkling.
”Baiklah, aku menerima lamarannya. Bawalah Buah Banu padaku dengan memakai tandu yang dihias bunga dan diarak seluruh hewan penghuni hutan,” jawab burung gelatik cantik itu.
Jawaban Raden Galuh kali ini melegakan hati Ingkling-Ingkling. Dengan gembira, Ingkling-Ingkling menyampaikan berita tersebut kepada Buah Banu.
”Segera siapkan semuanya, Ingkling-Ingkling,” perintah Buah Banu.
Di suatu pagi yang cerah, rombongan Buah Banu berjalan menuju rumah Raden Galuh. Wangi bunga dan suara riuh-rendah membuat Raden Galuh terjaga dari tidurnya. Ia pun bersiap menyambut rombongan tamunya yang akan segera tiba itu.
”Raden Galuh, inilah Buah Banu. Ia datang memenuhi permintaanmu,” kata Ingkling-Ingkling lantang.
Raden Galuh pun segera menemui rombongan itu.
“Rasa cintamu memang begitu besar kepadaku, Buah Banu. Itu memang telah kamu buktikan dengan menerima semua permintaanku. Namun, diriku minta maaf. Setelah berpikir lama, aku memutuskan tidak bisa menerimamu sebagai pendampingku. Aku tidak bisa mencintaimu. Saat dirimu sempurna saja, aku sulit mencintaimu. Sekarang, dengan keadaanmu yang seperti ini, tentu saja semakin sulit bagi diriku untuk mencintaimu,” kata Raden Galuh.
Setelah berkata demikian, Raden Galuh segera melesat tinggi ke awan dan menghilang entah ke mana. Buah Banu yang mendengar umpan itu merasa dipermalukan. Ia akhirnya jatuh pingsan.
Cerita Dongeng: Si Cantik Cenderawasih (Papua)
Siapa yang tidak kenal dengan cenderawasih? Kecantikan bulu-bulunya diakui seluruh penghuni hutan. Selain itu, tingkah-laku cenderawasih pun sangat baik. Ia suka menolong hewan lain yang tinggal di hutan.
Suatu kali, cenderawasih membantu menolong burung pipit yang sayapnya terluka. Dengan lembut, luka di sayap pipit itu diobati cenderawasih.
”Lain kali kau harus lebih berhati-hati,“ kata cenderawasih memberi nasihat.
“Terima kasih, cenderawasih. Kau baik sekali. Bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini?” ujar pipit.
“Aku akan senang jika rasa terima kasihmu itu kau ganti dengan berbuat kebaikan kepada hewan lain,” pesan cenderawasih ketika mengantar pipit pulang ke rumah.
Di rumah, pipit yang terbaring sakit selalu memikirkan kebaikan apa yang akan ia lakukan sebagai ungkapan terima kasihnya pada cenderawasih. Tiba-tiba. ia mendengar suara ketukan di pintu rumahnya.
“Pipit, apakah kau ada di dalam?”
“Itu seperti suara nenek bebek,” pikir burung pipit. Ia pun segera bergegas menuju pintu.
“Pipit yang baik, sudah beberapa hari ini aku tidak enak badan. Maukah kau menolongku menari biji-bijian? Di rumahku sudah tidak ada persediaan makanan sama sekali,” pinta nenek bebek sedih.
SI pipit menjadi teringat pesan untuk melakukan kebaikan yang pernah dikatakan cenderawasih.
“Aku akan senang membantumu. Namun, untuk saat ini, aku belum bisa keluar rumah karena sayapku masih sangat lemah dan baru diobati cenderawasih. Kebetulan, persediaan makananku cukup banyak. Jadi, nenek bisa berbagi makanan denganku. Nanti, kalau sudah cukup kuat untuk terbang, aku janji akan membantu nenek mencari makanan,” urai pipit.
Mendengar perkataan pipit, hati si nenek bebek terlihat sangat bahagia.
“Bagaimana aku harus berterima kasih padamu, pipit?” tanya nenek bebek.
“Jangan pikirkan itu. Akan lebih baik kalau nenek juga melakukan kebaikan pada hewan lain. Anggaplah itu sebagai ungkapan terima kasih nenek untukku.”
Pada suatu hari, nenek bebek bertemu anak burung bangau yang menciap kelaparan di sarangnya. Saat itu, nenek bebek baru saja pulang dari kebun mencari cacing. Kebetulan, saat itu ia mendapatkan cacing dengan jumlah cukup banyak.
“Kau pasti lapar anak bangau,” kata nenek bebek sambil mendekati sarang dan membelai anak bangau.
”Iya, ibuku sedang pergi mencari makanan, tetapi sudah lama sekali dan belum juga pulang,” ucap anak bangau.
”Kalau begitu, aku akan memberimu sebagian cacing ini.”
“Terima kasih, Nek. Aku mungkin masih akan terus kelaparan kalau tidak ada Nenek,” kata anak bangau.
“Lebih baik lagi kalau ucapan terima kasihmu itu kau ganti dengan berbuat baik kepada hewan lain.”
“Aku berjanji dan aku akan selalu ingat akan kebaikan nenek padaku,” kata anak bangau tulus.
Lama setelah peristiwa itu, si anak bangau pun sudah tumbuh menjadi seekor bangau dewasa. Ketika sedang berjalan-jalan, tiba-tiba ia mendengar suara rintihan menyayat hati. Saat mencari arah suara tersebut, ia mendapati burung cenderawasih yang kakinya melekat pada jebakan pemburu.
“Tolong aku, lepaskan kakiku dari perangkap ini,” rintih cenderawasih dengan wajah ketakutan. ”Aku tidak mau ditangkap oleh pemburu.”
“Tunggu sebentar. Aku akan mencari air untuk melepaskan kakimu dari getah nangka itu.”
Burung bangau pun bergegas pergi menuju sebuah danau. Ia lalu mengangkut air dengan paruhnya yang besar. Setelah itu, air tersebut digunakan untuk membasuh kaki cenderawasih agar terbebas dari getah nangka. Beberapa kali burung bangau itu harus terbang bolak-balik sampai akhirnya kaki cenderawasih terlepas dari perangkap itu.
”Terima kasih. Aku akan meneruskan kebaikanmu ini dengan berbuat kebaikan kepada hewan lain,” kata cenderawasih.
“Memang begitu seharusnya, seperti yang dikatakan Nenek Bebek padaku,” jawab burung bangau yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya kebaikan yang ia lakukan pada cenderawasih ini adalah sebagai balasan atas kebaikan yang dilakukan cenderawasih pada burung pipit.
Penutup
Peran orang tua tua sangat penting, terutama saat mendampingi anak membaca buku dan menceritakan kembali makna cerita tersebut. Bani anak-anak yang belum bisa membaca, orang tua dapat membacakan sambil menjelaskan inti cerita dan pesan dari contoh cerita fabel yang dibacakan.
Yang juga perlu diingat, durasi bercerita berkisar antara 3-5 menit untuk anak usia di bawah 5 tahun dan 5-2 menit untuk usia di atas 5 tahun. Di atas waktu tersebut anak sudah tidak berkonsentrasi lagi. Cerita fabel ini pun bisa dilanjutkan di lain waktu.
Bagi anak yang sudah pandai membaca, orang tua dapat menjadi tempat bertanya. Meski demikian. bisa saja orang tua tetap membacakan salah satu contoh cerita fabel dengan gaya yang menarik dan volume suara yang sesuai. Apabila hal ini dibiasakan, anak-anak akan menjadi gemar membaca.