Pada zaman dahulu sekitar tahun 1820-1823 di Surakarta pernah terjadi pageblug (wabah yang mengerikan). Peristiwa pageblug ini sangat mengerikan karena Surakarta sebelumnya dikenal sebagai daerah yang subur, aman, dan makmur.
Peristiwa pageblug ini terjadi pada saat pemerintahan Paku Buwono V. Raja Paku Buwono V adalah sosok seorang raja yang bijak, baik, dan menyayangi rakyatnya. Raja Paku Buwono V telah berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi peristiwa pageblug yang mengerikan itu.
Berbagai cara sudah dilakukan, termasuk meminta bantuan dari orang-orang pintar dari luar wilayah Surakarta. Namun, semuanya belum membuahkan hasil sedikit pun. Raja Paku Buwono V sangat sedih hatinya, dia mencoba bersabar dan tabah. Karena semua ini adalah ujian dari Tuhan yang Maha Kuasa.
“Ya, Tuhan. Ampunilah hamba dari segala dosa dan tolonglah hamba beserta seluruh rakyat Surakarta agar dapat terhindar dari peristiwa pageblug yang mengerikan ini,” doa Raja Paku Buwono V.
Sebagai seorang raja yang baik dan bijaksana, Paku Buwono V tidak segan-segan untuk memeriksa diri sendiri, serta memohon ampun dan petunjuk kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Ketika dia sedang duduk termenung, tiba-tiba terdengar suara yang mengatakan bahwa Surakarta akan aman dan makmur kembali jika dapat ditemukan seorang lelaki pancal panggung (orang yang kedua pergelangan kaki dan tangannya bergaris putih melingkar seperti gelang). Lelaki pancal panggung itu harus dibunuh. Kemudian keempat anggota badannya dipisahkan dan masing-masing ditanam di empat penjuru mata angin, batas wilayah Surakarta.
Raja Paku Buwono V sangat kaget mendengar suara tanpa wujud itu. Sunan Paku Buwono V hanya bisa terdiam. Hatinya bingung, apakah dia harus membunuh seorang manusia untuk dikorbankan?
Raja Paku Buwono terus berpikir, mungkin suara aneh itu mempunyai makna tersembunyi. Raja terus mencari tahu apa gerangan arti pesan itu. Raja Paku Buwono V merenungkannya sendiri, dia tidak ingin mengumumkan pesan itu kepada rakyatnya karena dapat menimbulkan ketakutan.
“Aku harus tahu makna pesan itu, agar Surakarta terbebas dari wabah ini,” kata Raja dalam hati.
Akhirnya, Raja Paku Buwono V memutuskan untuk menyamar menjadi rakyat jelata yang mengembara dari satu kampung ke kampung lainnya. Dia memakai pakaian layaknya seorang pengemis.
Hari demi hari. malam demi malam menelusuri kampung-kampung. Semua dilaluinya tanpa sedikitpun kemewahan seperti kehidupan di istana. Dia mencoba bergaul dan mendengarkan omongan rakyat jelata.
Semakin lama semakin jauh perjalanan yang ditempuhnya, sampailah dia di wilayah Gunung Kidul. Hari pun sudah semakin larut, dia melangkah di kegelapan di antara pohon-pohon yang tinggi dan besar.
Setelah beberapa waktu, dari kejauhan dia melihat sebuah cahaya yang memancar. Dia pun segara melangkah menuju cahaya itu. Ternyata cahaya yang memancar itu berasal dari rumah seorang tokoh desa itu, namanya Ki Demang Keduwang.
Setelah sampai di depan pintu rumah Ki Demang Keduwang, sang penyamar memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu. Cukup lama dia mengetuk pintu itu dan akhirnya Ki Demang Keduwang membukakan pintu. Namun, apa yang terjadi! Ki Demang mengucapkan kata-kata yang menyakitkan dan penuh kecurigaan.
“Siapa, kamu! Dasar gembel tak punya sopan santun, mengganggu orang istirahat saja!” Gertak Ki Demang.
“Maafkan saya, Tuan. Saya hanya sekedar mencari tempat beristirahat, karena di luar udaranya sangat dingin.”
“Beristirahat? Memang kamu siapa? Kamu lebih pantas tidur di luar, kamu kan cuma gembel!”
“Saya bukan peminta-minta, saya seorang pengembara, Tuan,” kata sang penyamar itu.
“Bohong, kamu pasti pengemis yang ingin mencuri hartaku, kan!” sahut Ki Demang dengan suara keras.
“Tidak, Tuan.”
“Sudahlah, saya tidak mau meladeni gembel seperti kamu. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini, saya sudah capek mau istirahat!” Gertak Ki demang seraya menutup pintu dengan keras.
Sang penyamar pun akhirnya meninggalkan rumah Ki Demang dengan perasaan sedih. Ternyata masih ada juga rakyatnya yang suka semena-mena terhadap orang miskin.
Dia kemudian melanjutkan perjalanannya lagi. Sambil berjalan terhuyung-huyung karena kelelahan, sampailah sang penyamar di sebuah rumah gubuk yang reot.
Pada awalnya dia ragu-ragu untuk mengetuk pintu, tetapi karena rasa lelah dan lapar yang amat sangat, sang penyamar pun memberanikan diri mengetuk pintu itu. Tidak begitu lama, pintu itu pun terbuka dengan lebar. Dari balik pintu itu ada seorang nenek tua yang menyambut dengan tulus.
“Selamat malam, Ki Sanak,” kata wanita tua itu.
“Selamat malam, Nek. Sebelumnya saya minta maaf, bolehkah saya beristirahat di rumah ini semalam saja, di luar udaranya sangat dingin,” pinta sang penyamar.
“Oh, tentu saja, silahkan masuk, Ki Sanak.”
“Terima kasih, Nek.”
Hati sang penyamar itu sangat lega dan kemudian dia segera duduk bersandar di sebuah kursi bambu. Begitu melihat seorang tamu yang kelelahan, nenek itu segera menyajikan secangkir teh hangat dan sepiring nasi dengan lauk sederhana, yang sebenarnya sudah disiapkan untuk dirinya sendiri.
Mengetahui hal ini, hati sang penyamar sangat terharu dan hampir meneteskan air mata. Betapa tulus dan mulia hati wanita miskin itu. Meskipun dia miskin dan serba kekurangan, namun dia dengan tulus dan ikhlas rela memberikan yang dipunyainya untuk menolong orang yang sedang kesusahan.
“Terima kasih, Nek. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan nenek,” ucap sang penyamar itu.
“Sama-sama, Ki Sanak. Bukankah kita hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong,” ujar Nenek itu.
“Tapi, apakah nenek tidak takut kalau saya merampok atau menyakiti, Nenek?”
“Apa yang harus saya takutkan, saya kan hanya seorang nenek tua miskin tanpa harta yang berharga,” jawab nenek itu.
Setelah sang penyamar itu menghabiskan makanannya, nenek tua itu mempersilahkannya untuk beristirahat. Kemudian sang penyamar pun segera beranjak untuk pergi tidur. Karena begitu lelahnya dia tidur dengan sangat pulas. Setelah fajar menyingsing, barulah sang penyamar terbangun dengan tubuh yang segar.
Sesaat kemudian, sang penyamar menanyakan segala sesuatu kepada wanita tua itu.
“Nek, saya sudah ditolong nenek, tapi saya belum mengetahui siapa nama nenek,” tanya sang penyamar itu.
“’Orang-orang di sekitar sini memanggil saya Nini Mita,” jawab nenek itu.
“Lalu, siapa orang laki-laki yang tinggal di rumah mewah di ujung desa itu?” tanya sang penyamar sambil mengacungkan jarinya ke arah rumah laki-laki yang semalam mengusirnya.
“Oh, itu rumah Ki Demang Keduwang. Kenapa, Ki Sanak’?” tanya nenek itu.
“Apa dia seorang tokoh di desa ini?”
“Ki Demang Keduwang adalah seorang juragan beras yang sangat kikir dan serakah. Dia membeli beras dari petani dengan harga rendah kemudian ditimbun di dalam gudang. Apabila rakyat di sekitar sudah kekurangan beras, dia menjualnya kembali dengan harga yang sangat tinggi. Dia juga sering memberi hutang kepada para petani tetapi dengan bunga yang sangat tinggi. Orang di sekitar sini lebih mengenalnya dengan nama Ki Demang Pancal Panggung.
“Apa? Ki Demang Pancal Panggung?” sang penyamar itu terlihat terkejut, tapi dia mencoba tetap tenang.
Nini Mita juga menceritakan bahwa desanya juga sedang dilanda wabah. Tanaman padi maupun sayur-sayuran yang telah ditanam tidak berhasil di panen. Hewan ternak pun tidak dapat berkembang biak.
Akhirnya, setelah mengetahui siapa sebenarnya Pancal Panggung, sang penyamar itu kembali ke tempat tinggalnya, di Keraton Surakarta.
Setelah sampai di keraton, dia segera memerintahkan utusannya untuk menengok keadaan Nini Mita, apakah keadaannya sudah berubah atau belum. Sebab, raja meninggalkan uang sebanyak 200 dinar di bawah tikar tempat tidur Nini Mita. Pada saat itu uang 200 dinar senilai dengan uang 10 juta rupiah.
Beberapa hari kemudian, utusan itu kembali ke keraton Surakarta setelah melaksanakan perintah Raja.
“Bagaimana keadaan Nini Mita sekarang? Sudah berubahkah kehidupan dia?” tanya Raja.
“Maaf, Baginda. Setelah sampai di sana, ternyata keadaan Nini Mita belum berubah, dia masih miskin dan kekurangan,” jawab utusan itu.
Utusan itu juga menceritakan bahwa Nini Mita menemukan uang 200 dinar di bawah tikar. Namun, karena Nini Mita merasa uang itu bukan miliknya, maka dia melaporkan penemuannya itu kepada Ki Demang Pancal Panggung. Dan Ki Demang pun mengaku bahwa uang itu miliknya yang tertinggal saat menagih utang di rumah Nini Mita.
Mendengar hal itu, raja hampir marah, namun dia mampu menahan diri. Raja kembali merenung, hingga malam hari pun dia belum bisa memejamkan mata. Dalam hatinya berpikir bahwa memang benar si Pancal Panggung harus dibunuh sesuai dengan pesan itu.
Saat pagi tiba, Raja Paku Buwono kembali mendengar suara aneh tanpa wujud itu. Menurut suara itu, untuk mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Surakarta, Ki Demang Pancal Panggung tidak harus dibunuh. Tetapi yang harus dibunuh adalah sifat kikir, serakah, dan sifat semena-mena terhadap orang lain.
Artinya, orang hidup di dunia harus saling tolong-menolong, meskipun sedang dilanda wabah.
Dan selalu bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan, serta selalu sabar dan tabah menghadapi segala cobaan yang diberikan Tuhan.
Sang harinya, Raja segera mengumumkan makna dari pesan itu kepada rakyatnya. Perlahan-lahan, wabah mulai berkurang. Tanaman-tanaman di wilayah Surakarta pun mulai dapat berbuah dan ternak-ternak dapat berkembang biak dengan baik.
Beberapa hari kemudian, dari Gunung Kidul terdengar kabar bahwa Ki Demang Pancal Panggung tertindih berkarung-karung beras yang disimpannya di dalam gudang dan akhirnya meninggal dunia.