Alkisah, pada zaman dahulu ada seekor kera sakti yang tubuhnya besar seperti raksasa. Bulu-bulu kera itu sangat halus dan lebat, warnanya putih sehingga terlihat sangat indah. Kera itu tinggal di puncak Gunung Slamet yang tingginya menyentuh langit.
Orang-orang di sekitar tidak tahu secara pasti dari mana asal kera sakti itu dan kapan mulai ada di Gunung Slamet. Mungkin kera sakti itu adalah keturunan raja kera, Hanoman. Atau mungkin dia adalah jelmaan dari Hanoman sendiri.
Kera sakti yang tinggal di Gunung Slamet itu tidak disukai para dewa-dewa yang ada di kayangan. Meskipun demikian, sebenarnya kera sakti itu bersifat baik. Dia suka menolong orang-orang yang tersesat di Gunung Slamet. Kadang dia juga menolong orang yang melewati Gunung Slamet dari ancaman binatang buas.
Kera itu tidak disukai para dewa karena dia tidak seperti kera-kera lainnya yang suka makan buah-buahan. Kera sakti itu lebih menyukai bintang-bintang di langit sebagai makanannya.
Oleh karena itu, dia tinggal di Gunung Slamet yang tinggi puncaknya menyentuh langit, sehingga dia dapat dengan mudah untuk mengambil bintang-bintang yang bertebaran di langit.
Hal itu tentunya sangat dikhawatirkan oleh para dewa. Bagaimana kalau semua bintang-bintang di langit habis dimakan kera sakti itu. Kemudian para dewa mengadakan rapat besar untuk menghentikan perbuatan kera sakti itu agar tidak berkelanjutan.
“Kakang Batara Narada, kita harus segera menghentikan perbuatan kera sakti itu memakan bintang-bintang di langit. Hal ini akan sangat berbahaya bagi keselamatan dunia,“ kata Batara Guru.
“Iya, Adi Batara Guru, kita harus segera menghentikan perbuatan kera sakti itu agar tidak membahayakan keselamatan dunia,” ujar Batara Narada, penasehat para dewa.
“Lama-kelamaan dunia akan menjadi gelap karena bintang-bintang di langit habis dilahapnya,” lanjut Batara Narada.
Setelah perundingan yang memakan waktu cukup lama, akhirnya diputuskan kera sakti itu harus dibunuh.
“Tidak ada cara lain untuk menghentikan perbuatan kera itu selain dengan membunuhnya,” kata Batara Narada.
Akhirnya, para dewa bergegas turun dari kayangan untuk membunuh kera sakti. Sebagai panglima perang para dewa, Dewa Indra maju pertama kali melawan kera sakti. Semua kesaktiannya dikerahkan dan senjata-senjata andalannya dikeluarkan.
Namun, kera sakti itu sangatlah sakti, dia tidak berkutik sedikit pun. Senjata-senjata dan kesaktian Dewa Indra dapat ditangkalnya dengan mudah. Dewa Indra melawan lagi dengan segala kesaktiannya yang tersisa. Namun, hanya dengan sekali libas, Dewa Indra pun dapat dikalahkan dan terpental sangat jauh.
Untuk melanjutkan pertempuran, Dewa Brahma maju dengan senjata apinya. Senjata api Dewa Brahma terkenal sangat panas, panasnya diibaratkan seperti api dari neraka.
“Rasakan, ini!” teriak Dewa Brahma.
Wush…, senjata api itu langsung padam dengan sekali tiupan kera sakti. Dewa Brahma pun ikut terhempas terkena tiupan angin yang keluar dari mulut kera sakti itu. Tiupan itu sangat kencang sekali seperti angin topan sehingga pohon-pohon di hutan itu juga ikut tumbang.
Tidak ada pilihan lain, akhirnya para dewa maju bersama-sama mengeroyok kera sakti itu. Kera sakti pun mengerahkan semua tenaganya. Serangan demi serangan dari para dewa dapat ditangkisnya meski dengan kewalahan.
Satu demi satu, para dewa roboh dan terjatuh terkena serangan balasan kera sakti. Akhirnya, para dewa kembali ke kayangan dengan membawa kekalahan.
Sebagai pemimpin para dewa, Batara Guru menjadi sangat sedih.
“Sekarang bagaimana, Kakang Narada? Para dewa sudah mengerahkan semua kesaktiannya. Tapi kera sakti itu belum terkalahkan juga,” tanya Batara Guru.
“Kalau begitu kita harus mencari bala bantuan untuk mengalahkan kera sakti itu, Adi Batara Guru.”
“Kera itu sangatlah sakti, lalu dimana kita bisa mencari bala bantuan yang kesaktiannya melebihi kera itu, Kakang Narada?”
“Bagaimana kalau kita meminta bantuan pada Kakang Semar dan anak-anaknya, Adi Batara Guru?”
“Apakah Kakang Semar dan anak-anaknya sanggup menghadapi kesaktian kera itu, Kakang Narada?” tanya Batara Guru.
“Saya yakin, Kakang Semar dan anaknya-anaknya cukup sakti dan pandai mengatur strategi untuk menghadapi lawannya.” jawab Batara Narada seraya meyakinkan Batara Guru.
“Kalau begitu, ayo kita segera berangkat menemui Kakang Semar,“ sahut Batara Guru.
Batara Narada dan Batara Guru segera turun ke dunia untuk menemui Semar dan anak-anaknya. Semar dan anak-anaknya sebenarnya adalah para dewa yang menyamar sebagai abdi para kesatria.
“Kakang Semar, maksud kedatangan kami ke sini adalah meminta bantuan Kakang Semar untuk membunuh kera sakti penghuni Gunung Slamet,” kata Batara Guru.
“Kenapa kalian ingin membunuh kera itu?” tanya Semar.
Batara Narada pun menceritakan semua hal tentang kera itu. Akhirnya Semar dan anak-anaknya mengerti, dengan senang hati mereka bersedia menerima tugas berat itu.
“Kalau begitu, kami akan segera berangkat ke puncak Gunung Slamet menghadapi kera sakti itu,” kata Semar. Semar dan anak-anaknya pun segera terbang, berangkat menuju puncak Gunung Slamet.
Setelah sampai di puncak Gunung Slamet. Dia segera mengatur strategi dengan ketiga anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Oleh karena lawan yang akan dihadapi sangatlah sakti, maka Semar memutuskan untuk meracuni kera sakti itu. Karena jika berhadapan langsung seperti yang dilakukan para dewa sebelumnya, belum tentu mereka berempat dapat mengalahkannya.
Semar memerintahkan Gareng untuk mengganggu dan memancing kera itu agar turun dari gunung. Dia pun memanjat pohon yang paling tinggi dan berteriak-teriak mengganggu kera sakti yang sedang tidur pulas.
“Hei bangun kamu kera jelek! Kalau kau memang sakti dan berani, lawanlah aku!” teriak Gareng berulang kali.
Kera itu kaget dan terbangun dari tidurnya. Dia terlihat sangat marah sekali. Dia segera bangkit dan mencari arah suara itu. Setelah mengetahuinya, kera sakti segera turun untuk menghajar Gareng. Mengetahui hal itu, meloncatlah Gareng dari atas pohon dan berlari dengan sekuat tenaga seraya terus berteriak-teriak memancing kemarahan kera sakti.
Kera sakti pun terus mengejar ke mana pun Gareng berlari. Kejar-kejaran terjadi dengan sangat seru. Tanpa diduga, tiba-tiba di depan Gareng melintas seekor ular raksasa yang sedang mengejar katak bangkong. Gareng sangat kaget, namun dia bisa meloncati ular itu dengan selamat. Kera sakti yang tidak menduga sama sekali datangnya ular itu menjadi sangat kaget, kemudian ditendangnya ular raksasa itu.
Ular raksasa pun marah karena ditendang oleh kera sakti. Ular raksasa membalas dengan menyabitkan ekornya ke arah kera sakti. Kedua binatang raksasa itu tak peduli lagi pada buruannya semula. Ular raksasa tak peduli pada katak bangkong dan kera sakti tak peduli pada Gareng. Keduanya pun bertarung meluapkan kemarahannya.
Pertarungan antara kera sakti dan ular raksasa itu berlangsung sampai berhari-hari, karena keduanya sama besar dan sama sakti. Namun, kesaktian ular raksasa pun dapat dikalahkan oleh kera sakti. Akhirnya, ular raksasa berhasil dibunuh oleh kera sakti, walaupun dirinya juga terluka parah.
Di puncak gunung, Semar bersama Petruk dan Bagong menjalankan strateginya. Dengan kesaktiannya, Semar segera memotong puncak Gunung Slamet agar kera sakti tidak bisa menggunakannya untuk meraih bintang-bintang.
Sementara itu, dengan segala susah payah, kera sakti naik kembali ke puncak gunung, namun dia begitu kaget ketika mengetahui puncak gunung sudah tidak ada. Karena kondisi tubuh kera sakti sudah sangat lemas, akhirnya dia pun tertidur pulas.
“Bagong, ayo kita cepat bawa guci ini dan letakkan di samping kera sakti itu!” Kata Petruk kepada Bagong dengan berbisik-bisik.
Bagong dan Petruk dengan sangat hati-hati, membawa dan meletakkan guci berisi minuman beracun itu di samping kera sakti yang sedang tidur. Kemudian mereka pergi dan segera bersembunyi di balik pepohonan.
“Gong, kita sembunyi di sini sambil kita mengamati kera itu, apakah dia akan meminum air itu atau tidak?” Kata Petruk.
Sesaat kemudian, kera sakti terbangun dari tidurnya. Perutnya lapar dan tenggorokannya kering, dia merasa sangat haus sekali. Dia pun sangat gembira ketika melihat di sampingnya ada guci yang penuh air. Tanpa berpikir panjang dia langsung meraih guci itu dan meminum air itu sampai habis tak tersisa. Dia tidak mengetahui kalau air yang diminumnya adalah air beracun yang sangat mematikan.
Tiba-tiba, perut kera sakti menjadi sakit dan tenggorokannya panas. Nafasnya pun terasa sesak. Dia berteriak-teriak kesakitan. Suaranya begitu keras sehingga pohon-pohon di hutan itu banyak yang tumbang terkena kesaktian suara kera itu. Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berlari dan bersembunyi di dalam sebuah gua untuk menghindari amukan kera sakti itu.
Kera sakti mengamuk dan merusak apapun yang ada di sekelilingnya. Tubuhnya tidak tahan merasakan sakit yang begitu dalam. Semakin lama tenaganya habis dan dia pun roboh. Kera sakti itu sangat menderita, tapi dia belum mati karena kesaktian yang dimilikinya.
Semar menjadi tidak tega melihat kejadian itu. Dia bersama ketiga anaknya segera datang menghampiri kera sakti yang sedang meregang nyawa. Semar berniat untuk mengakhiri penderitaan kera itu.
“Kera sakti, maafkan kami jika telah menyakitimu, kami hanya menjalankan tugas dari para dewa,” kata Semar sambil mengerahkan kesaktiannya untuk mengakhiri penderitaan kera sakti. Akhirnya, kera sakti pun mati di tangan Semar dengan senyum yang indah dan penuh keikhlasan.