Seorang ibu tetaplah akan menjadi ibu bagi anaknya sampai kapan pun juga, dalam suka maupun duka. Namun, apakah seorang anak akan berbuat hal serupa pada ibunya? Mungkin iya atau mungkin juga tidak. Seperti yang terjadi pada ibu dan anak yang tinggal di sebuah desa terpencil di pedalaman Kalimantan Barat ini.
Ayah yang menjadi kepala rumah tangga dalam keluarga itu sudah lama tiada. Jadi, si ibulah yang harus membanting tulang, bekerja keras agar ia dan anaknya yang sekarang sudah menginjak dewasa dapat tetap hidup. Selain itu, si ibu juga harus memasak, mencuci, dan melakukan pekerjaan rumah yang lain.
Meskipun ibunya sangat kerepotan, tetapi anak gadisnya tidak juga mau membantu. Setiap hari kerjanya hanya berdandan dan merawat tubuh. Tak jarang ia justru memaki si ibu kalau ada yang diinginkannya tidak terpenuhi. Ibaratnya, si ibu lebih terlihat seperti pembantu, sedangkan anak gadisnya terlihat bagaikan putri raja yang berpenampilan mewah. Sering kali ia berkata kasar pada ibunya.
Dengan sabar, ibunya menerima perlakuan buruk si anak. Tak jarang sebenarnya ia memberikan nasihat, tetapi tidak pernah didengar. Bahkan, justru kata-kata kasar yang diterima oleh si ibu. Yang bisa dilakukan oleh ibu itu hanyalah berdoa pada Tuhan agar menunjukkan jalan yang benar pada anaknya.
Suatu ketika, si ibu berpikir bahwa anaknya perlu diajarkan pekerjaan rumah agar nantinya ia bisa hidup mandiri.
“Sejak lahir kau sudah cantik, Anakku. Tidak ada seorang pun yang menandingi kecantikanmu di desa ini. Jadi, janganlah kau bersolek setiap hari secara berlebihan seperti ini,” begitu selalu ibunya mengingatkan si gadis.
“Sekarang kau sudah dewasa, sudah waktunya bagimu untuk bisa melakukan pekerjaan rumah. Tidak selamanya ibu bisa melayanimu, Nak.”
“Susah-payah aku merawat kecantikanku, Bu. Aku tidak mau tanganku rusak karena mencuci baju atau kulitku rusak terbakar Matahari ketika aku ke pasar.”
“Bagaimana kau akan mendapat jodoh kalau kau selalu di dalam rumah. Sekali-kali, kau harus berkunjung ke rumah kerabat atau pergi ke kota. Siapa tahu ada pangeran yang melihat kecantikanmu hingga berminat menjadikanmu istri. Sekali waktu ikutlah ke pasar bersamaku, Nak. Suatu saat nanti, jika Ibu sudah tiada, kau harus bisa mengurus dirimu sendiri, termasuk berbelanja.”
“Aku malu berjalan dengan Ibu yang lusuh begitu. Tidakkah Ibu lihat diriku yang cantik ini? Apa kata orang nanti?” jawab anaknya dengan sombong.
“Kalau begitu tak perlu kau berjalan bersama Ibu. Kau sajalah yang berjalan di depan dan Ibu akan mengikutimu dari belakang,” kata ibunya dengan lembut.
Keesokan harinya, keduanya berangkat ke pasar. Semua orang memandang kagum pada anak gadis itu. Penampilannya memang terlihat memukau. Pakaian yang dikenakan sangatlah indah dan ia pun pandai bersolek sehingga terlihat bagaikan putri raja.
Sementara itu, si ibu yang berjalan di belakangnya berpakaian lusuh dan kumal sambil membawa barang belanjaan.
Ketika keduanya melewati sekelompok pemuda, salah seorang dari pemuda itu menyapa sehingga kedua ibu dan anak itu berhenti sejenak,
”Gadis antik, kau bagaikan bidadari dari khayangan, tak disangka kau putri ibu tua ini.”
Dengan nada marah, anak gadis itu berkata, “Dengar baik-baik! Perempuan ini bukanlah ibuku, melainkan pembantuku.”
Hati si ibu sedih bagai disayat sembilu. Perlakuan anak gadisnya kali ini sudah tidak termaafkan lagi. Hatinya hancur. Mendengar jawaban anaknya, habis sudah kesabaran si ibu. Dengan amarah yang meluap-luap, ia pun mengutuk anaknya sendiri, “Terkutuk kau anak manja yang durhaka. Kau bukanlah manusia karena hatimu terbuat dari batu. Teganya kau tidak mengakui ibumu sendiri.”
Ia merasa bersalah telah gagal mendidik anaknya hingga anak gadisnya menjadi seorang yang durhaka. Di tengah kesedihannya yang mendalam, ia berdoa pada Tuhan,” Ya Tuhan, Engkau yang Maha Bijaksana. Hamba sudah tidak tahan lagi pada perbuatan anak gadis hamba yang berhati batu.”
Dalam sekejap, setelah si ibu mengucapkan doa, langit menjadi hitam, petir menggelegar menyambar. Anak gadis mania itu secara perlahan-lahan berubah menjadi batu. Di saat itulah, si gadis menyesali segala perbuatannya pada si ibu.
Apa daya, segalanya sudah terlambat. Anak gadis yang telah berubah menjadi batu itu hanya bisa menangis dengan airmata yang berlinang hingga sekarang. Kini orang mengenal batu yang terus mengeluarkan air mata itu dengan sebutan batu menangis.
***
Begitulah cerita legenda Batu Menangis dari Kalimantan Barat yang dipercaya benar-benar terjadi oleh sebagian masyarakat. Cerita legenda Batu Menangis ini kemudian diceritakan turun-temurun ke anak-anak untuk dijadikan pelajaran hidup untuk senantiasa menghormati Ibu. Anak yang durhaka kepada Ibunya akan menadapatkan azab dari Tuhan.
Pesan cerita legenda Batu Menangis: Kecantikan merupakan anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri, sedangkan kesombongan dapat berakibat buruk bagi seseorang.