Kisah Roro Mendut

Kisah Roro Mendut dalam cerita rakyat Jawa berasal dari Pati yang terjadi pada zaman puncak kekuasaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Cerita rakyat ini mengisahkan cerita segitiga antara Pranacitra, Roro Mendut, dan Tumenggung Wiraguna.

Di sebuah desa Ragawangsa yang berada di dalam wilayah Kadipaten Pasantenan ada seorang gadis cantik. Kecantikannya begitu sempurna. Tiada bandingannya.

Gadis itu bernama Roro Mendut. Dia adalah anak Ki Ageng Ragawangsa, orang yang sangat terpandang di desa Ragawangsa. Setiap penduduk desa menghormati dan tunduk padanya.

Alkisah di wilayah kekuasaan Mataram ada seorang punggawa kerajaan bernama Patih Penjaringan yang mempunyai ambisi pribadi untuk menghancurkan Kadipaten Pasantenan terutama desa Ragawangsa yang berada di wilayah kadipaten itu. Dia mengajak Tumenggung Wiraguna untuk bekerja sama.

“Aku ingin memberikan sebuah hadiah istimewa padamu, Wiraguna,” kata Patih Penjaringan sambil tersenyum. Tumenggung Wiraguna menjadi penasaran dibuatnya.

“Kalau aku boleh tahu, hadiah apakah yang akan Patih berikan padaku itu?”tanya Tumenggung Wiraguna.

“Seorang wanita yang sangat cantik, bahkan tercantik di bumi Mataram. Ia bernama Roro Mendut,” bisik Patih Penjaringan sambil mengedipkan sebelah matanya.

Dan Tumenggung Wiraguna yang memiliki sifat mata keranjang pun setuju dengan adanya iming-iming berupa kecantikan Roro Mendut yang sangat tersohor.

Demi keberhasilan rencananya, Patih Penjaringan menyuruh Tumenggung Wiraguna untuk segera menghadap Sultan Agung dan menghasut Adipati Jayakusuma.

Dia mengatakan bahwa Adipati Jayakusuma melakukan pembangkangan. Sudah hampir beberapa bulan ia tidak menghadap ke Mataram. Padahal, aturannya seorang adipati harus melapor pada istana setiap bulan.

Tumenggung Wiraguna juga menjelaskan bahwa diam-diam Adipati Jayakusuma juga ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram dan ingin membangun kerajaan sendiri.

Baca juga:  Kisah Roro Jonggrang

Sebenarnya Adipati Jayakusuma bukanlah seorang pemberontak. Ia sama sekali tidak pernah mempunyai niat untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Selama beberapa bulan, ia tidak mengunjungi Mataram adalah karena ia sedang sibuk berbenah dan membangun kadipatennya hingga akhirnya menunda kunjungan ke Mataram.

“Apa? Adipati Jayakusuma melakukan pembangkangan?”tanya Sultan Agung heran.

“Benar, Gusti. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terus berlangsung. Apalagi akhir-akhir ini begitu banyak terjadi pemberontakan. Kita harus menindaknya dengan tegas,” saran Tumenggung Wiraguna yang meyakinkan Sultan Agung.

“Baiklah, tapi kau harus ingat. Jangan sampai menimbulkan banyak korban, terutama dari kalangan rakyat,” ujar Sultan Agung.

“Baik, Gusti.”

Oleh karena hasutan, Sultan Agung kemudian mengutus Tumenggung Wiraguna untuk memimpin pasukan. Beberapa lama kemudian Tumenggung Wiraguna akhirnya membawa pasukan khusus ke Kadipaten Pasantenan.

Adipati Jayakusuma sama sekali tidak menyangka akan ada serangan secara tiba-tiba dari Mataram. Ia tidak mempersiapkan diri karena tidak mengetahui akan adanya serangan itu. Akibatnya, dengan mudah pasukan Mataram mengalahkannya.

Tumenggung Wiraguna tidak menaati perintah Sultan Agung untuk tidak menimbulkan banyak korban dalam penyerangan terutama dari kalangan rakyat. Namun, ia berperang dengan membabi-buta. Jajaran pembesar, pasukan Kadipaten Pasantenan, dan rakyat biasa banyak yang meninggal, termasuk Adipati Jayakusuma sendiri.

Setelah berhasil memenangkan peperangan, pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna kemudian merampok barang-barang berharga yang ada di kadipaten. Mereka juga menawan para gadis yang cantik jelita, termasuk Roro Mendut.

Dan setelah kekalahan itu, konon tidak ada lagi yang menjaga Roro Mendut. Mau tak mau, ia harus ikut tentara Mataram sebagai harta rampasan perang dari Pati pada zaman puncak kekuasaan Mataram. Sebagai harta rampasan perang, Roro Mendut berada di bawah kuasa Tumenggung Wiraguna.

Baca juga:  Legenda Kera Sakti di Puncak Gunung Slamet

Memang benar apa yang dikatakan oleh Patih Penjaringan. Roro Mendut memang gadis paling jelita jika dibandingkan dengan putri-putri keraton sekalipun. Dan tak lama lagi, gadis itu akan dijadikan sebagai selir.

“Ah, alangkah bahagianya aku,” batin Tumenggung Wiraguna. Tumenggung yang usianya lebih dari setengah abad ini sangat tergiIa-gila dengan Roro Mendut. Namun, Roro Mendut menolak cintanya. Ia sama sekali tidak perduli kekayaan dan kekuasaan Tumenggung, meskipun kemewahan seperti rumah, pakaian, dan perhiasan telah diberikan kepadanya.

Di kota Gede, ibu kota Kerajaan Mataram waktu senja tampak ramai dan semarak. Banyak orang yang berjalan-jalan menghabiskan waktu. Kedai-kedai makanan dipenuhi para pembeli. Begitu pula para pedagang kaki lima di pinggir jalan.

Demi mempertahankan dirinya, Roro Mendut rela meninggalkan kemewahan dan meninggalkan rumah Tumenggung Wiraguna. Ia menyewa sebuah rumah kecil. Untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, ia berjualan rokok. Roro Mendut membuat rokok sendiri dengan menggunakan kulit jagung kering, mengisinya dengan tembakau, melintingnya lalu mengikatnya dengan tali sutra.

Suatu saat, Tumenggung Wiraguna kembali mendatangi Roro Mendut dan menyatakan perasaan sukanya.

“Haruskah kuulangi lagi pernyataan rasa cintaku kepadamu, Roro Mendut? Karena itu, jadilah istriku. Kau akan mendapatkan segalanya. Kau akan dihormati. Kau akan kaya. Apa pun yang kau inginkan akan kuberikan,” kata Tumenggung Wiraguna menyatakan perasaannya.

Namun, Roro Mendut tetap menolak. Karena merasa kesal, Tumenggung Wiraguna menyuruh Roro Mendut untuk membayar pajak padanya yang setiap minggu semakin diperbesar jumlahnya.

“Setiap pedagang di kota Gede ini harus menyerahkan sebagian hasil usahanya sebagai pajak bagi negara. Apalagi pedagang yang berhasil seperti kau Roro Mendut. Jika kau tidak dapat membayarnya, kau harus mau menjadi istriku,”tambahnya.

Baca juga:  Legenda Endang Nawangsih

“Baik, Gusti,” jawab Roro Mendut. Untuk mendapatkan uang, Roro Mendut diperkenankan berjualan rokok di pinggir jalan di luar halaman kawiragunan. Dari segala penjuru berdatangan orang untuk membeli rokok yang dijualnya. Konon, rokok yang telah dihisap dan basah oleh ludah Roro Mendut semakin mahal harganya. Rokoknya pun semakin laris.

Di antara pembeli rokoknya ada Pranacitra, pemuda tampan anak seorang janda kaya. Roro Mendut dan Pranacitra saling menyukai dan atas saran serta isyarat Roro Mendut, Pranacitra dapat mengabdi di rumah Tumenggung Wiraguna.

Betapa pun ketat pengawasan yang dilakukan, Pranacitra selalu berhasil menjumpainya. Akhirnya dengan kesepakatan bersama mereka melarikan diri. Namun pasukan Tumenggung segera mencari ke segenap penjuru ketika mengetahui Roro Mendut hilang.

Setelah mereka tertangkap akan diseret ke hadapan Tumenggung Wiraguna, ia menghunuskan kerisnya ke tubuh Pranacitra. Roro Mendut pun menerkamkan dirinya pada keris yang berada di tangan Tumenggung Wiraguna. Kematian Roro Mendut ini membuat Tumenggung Wiraguna terkejut. Ia sangat mencintai wanita itu.