Legenda Joko Budug

Desa Jambeyan terletak di wilayah Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. Di kabupaten ini terdapat wilayah yang disebut sebagai Pedukuhan Gamping. Yang terkenal di desa Jambeyan adalah pemandian air panas Bayanan.

Konon di pedukuhan Gamping ditemukan sebuah makam yang tidak berbatu nisan. Makam itu dipagari dengan bambu yang diberi cat merah dan kuning. Pagar bambu tersebut mengelilingi liang lahat yang mempunyai panjang kurang lebih enam meter. Liang lahat itu juga dilindungi oleh sebuah gubuk yang beratap rumbia. Di sebelah bekas makam itu, ada setumpuk genting yang sudah berlumut dan tidak terpakai.

Menurut cerita penduduk setempat, genting-genting itu pernah dipakai untuk mengganti rumbia sebagai atap. Namun ketika genting dipasang di atas liang lahat, genting itu kembali tertumpuk di sebelahnya pada keesokan harinya. Ada yang berpendapat bahwa orang yang pernah dimakamkan di situ tampaknya tidak berkenan jika tempatnya diubah-ubah.

Oleh karena itu, pelindung yang digunakan oleh makam tersebut tetap terbuat dari rumbia dan genting-genting yang sudah berlumut itu dibiarkan tertumpuk di dekatnya. Demikian juga dengan pagar yang mengelilinginya, tak ada seorang pun yang berani menggantinya dengan bahan kayu atau besi. Akibatnya, makam itu terlihat tidak terawat.

Bekas makam itu juga terletak di sudut sebuah tanah yang lapang. Bahkan menurut cerita penduduk setempat, pada hari-hari tertentu terutama hari Jumat Pahing, tempat ini sepi. Hal ini karena hari itu adalah hari pantangan untuk mengadakan kegiatan apa pun di sekitar lapangan tersebut. Konon, liang lahat itu mempunyai sebuah kisah sebagai berikut.

Sekitar abad ke-15, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya. Raja Majapahit itu mempunyai putra yang sangat tampan dan bernama Raden Haryo Bangsal. Raden Haryo Bangsal ini belum menikah padahal menurut ayahandanya, ia sudah pantas untuk menikah. Pada suatu hari, sang Prabu menyuruh putranya untuk menghadap dan menjalankan perintahnya.

“Bangsal, sudah tiba waktumu untuk menikah. Apakah kamu sudah siap?” kata Prabu Brawijaya.

“Ayahanda, Bangsal belum ingin menikah karena ingin memperoleh kesaktian dan memperdalam ilmu ke luar Jawa,” jawab Bangsal dengan hormat.

Ketika raja mendengar jawaban dari Bangsal, ia menjadi marah kepada putranya.

Baca juga:  Legenda Kera Sakti di Puncak Gunung Slamet

“Aku tidak keberatan jika kamu ingin memperoleh ilmu. Itu sangat bagus. Namun, kamu harus menikah terlebih dahulu,” ujar raja dengan marah.

Bangsal tetap menolak keinginan sang raja. Prabu Brawijaya kemudian menyuruh Bangsal untuk masuk ke dalam kamarnya dan memikirkan segera keputusannya sebelum raja menjadi lebih murka.

Setelah sekian lama berpikir, Bangsal tetap pada pendiriannya untuk tidak menikah terlebih dahulu seperti yang diinginkan oleh ayahnya. Ia merencanakan untuk melarikan diri dari keraton Majapahit daripada memenuhi permintaan ayahnya.

Ketika semua orang sudah tidur termasuk Prabu Brawijaya dan penjagaan sudah sepi, di malam harinya Raden Haryo Bangsal melarikan diri dari keraton untuk menuruti kata hatinya. Di dalam perjalanannya, ia melewati hutan. Ranting, duri, dan semak mencabik-cabik pakaian dan kulit hingga tubuhnya dipenuhi kudis dan berbau amis. Dan mulai saat itu, ia menamakan dirinya dengan Joko Budug.

Joko Budug meneruskan perjalanannya hingga akhirnya tiba di sebuah desa yang bernama Dadapan. Ia merasa lelah dan tertidur di bawah pohon rindang. Pada saat ia tertidur, seorang perempuan tua yang tinggal di desa itu lewat. Perempuan tua itu bernama Mbok Rondho Dhadhapan.

Joko Budug dibangunkan dan diajak bercakap-cakap sebentar oleh Mbok Rondho. Namun, Joko Budug jatuh tertidur lagi karena ia sangat kelelahan. Pada saat itulah, ia mengigau keras dan tanpa disadarinya telah mengutarakan rasa penyesalan akibat perbuatannya.

Ketika mengigau, ia mengatakan bahwa ia adalah seorang putra raja. Sebagai seorang putra raja, ia tidak pantas menderita penyakit kudis dan hidup sangat sengsara. Oleh karena mendengar igauan Joko Budug bahwa ia adalah putra raja, maka Mbok Rondho akhirnya membangunkannya kembali.

“Siapa namamu, Nak? Tadi aku mendengar igauanmu kalau kamu adalah putra seorang raja. Benarkah perkataanmu tadi?” tanya Mbok Rondho.

“Iya benar, Mbok. Aku adalah putra dari Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Aku melarikan diri dari keraton karena tidak mau menuruti permintaan ayah untuk segera menikah. Hal itu aku lakukan karena ingin memperoleh kesaktian dan memperoleh ilmu. Namun, ayahku tidak setuju dan sangat marah kepadaku. Begitulah ceritanya Mbok, hingga akhirnya aku sampai di sini,” jelas Joko Budug tentang apa yang dialaminya.

Baca juga:  Asal Usul Kota Semarang

“Tinggallah di rumahku,” ujar Mbok Rondho.

“Terima kasih, Mbok,” Joko Budug akhirnya menerima tawaran itu dan tinggal di rumah perempuan tua itu.

Setibanya di rumah Mbok Rondho, Joko Budug merasa haus. Pada suatu siang menjelang asar, ia melihat buah kelapa ranum di pucuk pohon.

“Bolehkah aku mengambil buah kelapa itu, Mbok?” tanya Joko Budug sambil tangannya menunjuk ke arah pohon kelapa yang dimaksud.

Mbok Rondho akhirnya memperbolehkan ia mengambil buah kelapa yang telah ranum itu. Ternyata, pohon kelapa itu bukan dipanjat, melainkan pucuk pohon kelapa yang tingginya hampir 17 meter itu diraihnya hingga melengkung.

Yang mengejutkan Mbok Rondho adalah ketika tangannya mampu meraih kelapa yang ia ambil dari dahannya. Setelah pohon dilepaskan, dahan daun kelapa itu dibuatnya menjadi sebuah tongkat yang berujung runcing. Tongkat itu diberi nama Luh Gading.

Joko Budug menggunakan tongkat itu untuk menggembalakan kambing. Suatu saat, ia pernah iseng menusuk-nusukkan tongkat hasil karyanya pada batu-batu besar. Sungguh menakjubkan, batu-batu itu pun tembus dan pecah.

Pada suatu hari, terdengar berita bahwa Raja Puan menyelenggarakan sebuah sayembara. Sayembara itu berbunyi bahwa barangsiapa dapat membelah batu besar yang menghadang arus air bendungan, akan mendapatkan hadiah istimewa. Hadiah istimewa yang dijanjikan oleh Raja Puan terhadap orang yang nantinya berhasil memenangkan sayembara adalah putri raja yang sangat cantik. Putri raja itu bernama Dewi Nawang Wulan.

Dalam sayembara itu juga dijelaskan bahwa arus sungai Sawur di bendungan harus dialirkan ke alun-alun untuk mengairi pohon pisang yang bertunas kain batik. Hal ini bertujuan agar pohon itu tidak kering pada musim kemarau.

Mendengar adanya sayembara itu, Joko Budug ingin mengikutinya. Ia meminta izin dan memohon kepada Mbok Rondho untuk mendaftarkannya sebagai peserta.

“Mbok, aku ingin mengikuti sayembara yang diadakan oleh Raja Puan itu,” kata Joko Budug.

“Namun, apakah itu tidak terlalu berat bagimu?” ujar Mbok Rondho.

Joko Budug terus berusaha meyakinkan. Akhirnya dengan berat hati, Mbok Rondho memenuhi permintaannya. Ia segera mendaftarkan Joko Budug menjadi peserta sayembara.

Baca juga:  Cerita Timun Mas dan Raksasa

Joko Budug dibawa menghadap Raja Puan. Ia memperoleh izin untuk memulai tugasnya seperti yang sudah dijelaskan pada sayembara. Ia memohon agar diberi waktu selama satu hari satu malam. Dan raja pun tidak keberatan.

Dalam hati raja merasa geli. Bagaimana mungkin Joko Budug, seorang lelaki yang kurus dan penuh kudis dapat membelah batu kali yang ukurannya sangat besar itu. Joko Budug berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan sayembara.

Raja Puan yang semula mengejek Joko Budug menjadi sangat terkejut, karena pada suatu pagi hari terdengar rakyat bersorak-sorai. Air sungai Sawur sudah dapat mengalir deras dan mengairi sawah, ladang, dan pohon pisang. Raja pun turut bersukacita mendengarnya.

Namun, Raja Puan mulai ragu-ragu untuk menepati janji memberikan putrinya, Dewi Nawang Wulan. Beliau kemudian menitahkan Maha Patih untuk membunuh Joko Budug secara diam-diam.

Dan keesokan harinya, raja memanggil Maha Patih.

“Kamu tahu apa yang aku pikirkan, Patih?” kata Raja Puan kepada patihnya. Maha Patih pun menunduk, lalu mengangguk seraya mengetahui apa yang dimaksudkan oleh rajanya.

“Bagus. Joko Budug yang tubuhnya penuh kudis itu harus dimandikan hingga sungguh-sungguh bersih dan tanpa bekas penyakit yang dideritanya,” perintah raja.

Atas perintah Raja Puan, Maha Patih akhirnya berangkat menjemput Joko Budug. Namun, di tempat yang sepi, di tepi sungai, Joko Budug dibunuh. Dengan adanya kematian Joko Budug, untuk menutupi gagasan raja yang licik maka diadakan upacara pemakaman Joko Budug secara besar-besaran. Ada kejadian aneh yang terjadi ketika setiap kali mayatnya akan dimasukkan ke dalam liang lahat, mayat itu memanjang.

Akhirnya, suatu ketika terdengar suara yang mengatakan bahwa Dewi Nawang Wulan adalah jodoh Joko Budug. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menghalangi pertemuan mereka.

Dengan perasaan sedih, raja bertitah agar Dewi Nawang Wulan dibunuh dan dimakamkan dalam liang lahat yang sama.

Beberapa tahun kemudian, raja bertitah agar kedua mayat itu dipindahkan ke tanah yang lebih tinggi agar tidak tergenang oleh air jika musim hujan. Liang lahat itu menjadi tanah berlubang yang kosong.