31 Puisi Hujan Singkat: Membawa Rindu dan Sedih

Puisi Hujan – Turunnya air dari langit yang kita namai hujan merupakan salah satu rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang membawa banyak manfaat bagi kehidupan dan patut kita syukuri. Dengan hujan, kehidupan di muka bumi senantiasa tercukupi.

Di kalangan kawula muda, hujan menyimpan kesan tersendiri. Dari fenomena alam ini puisi hujan akan tercipta, memori kenangan masa lalu akan dikenang. Yah, dengannya puisi hujan yang menggambarkan suasana hati akan tercurah segalanya di sana.

Buat kamu yang ingin melukiskan suasana hatimu dengan puisi hujan, berikut di bawah kami berikan kumpulan puisi tentang hujan.

Puisi hujan bersamamu

Hujan Bersamamu

Oleh: Handiyani

Aroma itu, waktu itu dalam senja terbenam
Hujan memihak dirimu bersemayam
Rintiknya menjelaskan wajah bergumam
Tanah basah menutupi jejak yang dalam

Jelas benar rintik hujan bersamamu
Menjadi pemisah saat temu
Bertukar air mata semu
Hujan menyelimutimu. [*]

Kisah Hujan

Oleh: Rieneke Cahyani

Aku menanti dirimu
Seperti air menghujam sendu
Terus jatuh mengalir kelu
Hujan berteriak pilu
Tak kudengar dalam surau
Jiwaku termenung kelabu
Menunggu cinta semanis madu
Hingga usai balutan waktu
Hujan seminggu berlalu
Tersisa petrichor syahdu. [*]

Puisi hujan, setetes kenangan dalam hujan

Setetes Kenangan dalam Hujan

Oleh: Tarisya Widya Safitria

Dulu
Saat semburat merah jingga nan elok
Saat gumpalan kapas gelap bersanding bersama cakrawala
Tetes kehidupan jatuh serentak
Membombardir ribuan kilometer lahan

Impresi menguap di atas tanah
Larut bersama wewangian hujan
Di bawah rintik-rintik nikmat Tuhan
Tersemat manis indahnya janji masa depan
Penuai kebahagiaan semu berselimut basah

Kini
Harus beradu dengan nestapa
Menatap seruan hina yang menyayat jiwa
Menusuk hingga rindu menyeruak keluar
Dengan satu tarikan napas gusar. [*]

Hujan dan Namamu

Oleh: E. Natasha

Senandung lagu mendekap lirih romansa jiwa
Benak menyapa raut wajah yang nyaris tenggelam
Dalam lautan mimpi sang penghirup malam
Melawan hujan, mereguk jejak tanpa nama dunia

Dia yang mencoba membaca arah
Dalam gelap, memanggil cahaya yang tersembunyi di balik aksara
Berdiri sendiri mencoba mengenal suara kerinduan
Adakah dia di sana masih terpaku menatap kenangan

Kemana kau akan berlari
Melepas pagi dan mencoba memutar mentari
Apalah kau masih terlelap dan terus bermimpi
Memuja cinta tanpa rasa haus duniawi

Kenangan hujan memanggilmu, dan tetap memanggil namamu
Meski luka mencoba menjauhkan dirimu dari putaran waktu masa lalu
Bulan di sana masih merindukanmu
Untuk kembali padanya, tanpa menghapus tangisan hujan di wajahmu. [*]

Puisi tentang hujan

Jadikan Aku Hujan

Oleh: Afifatur Rohman

Jadikan aku hujan
Akan kulukis kisah dengan muara air
Akan kubuatkan bendungan yang dipenuhi cinta
Akan kupenuhi jiwamu dengan rintiknya rindu

Ajari aku menjadi hujan
Agar aku bisa mengobati hausmu
Haus akan dentuman rindu
Mengalirkan kesejukan pada tubuhmu yang basah

Ijinkan aku menjadi hujan
Aku ingin persembahkan musik dengan jatuhnya aku
Membuat alunan pada dinginnya cintamu

Tapi, ini janjiku
Tak ada petir yang membuatmu benci akan diriku. [*]

Memori Tetesan Hujan

Oleh: Setia Erliza

Sehelai daun hijau panjang
Menutupi mahkota dari derasnya hujan
Menuju tempat lautan ilmu
Beberapa tahun yang silam
Saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar
Memori daun pisang menjadi bait kisah haru
Menempa kisah di musim penghujan

Basah?

Ayah, derasnya hujan menerpa tubuhmu
Sambil menggigil kau genggam tanganku
Jelas terlihat dari tangan keriputmu
Menuntunku di bawah derasnya hujan
Daun pisang mengukir kisah haru
Ciptakan kenangan indah tak terhingga
Antara aku, ayah, dan hujan. [*]

Musim Hujan Berselimut Duka

Oleh: Fakhri Fikri

Rangkaian kata kususun menjadi aksara
Bercerita tentang musim hujan berselimut duka
Di mana senja tak lagi jingga
DI mana mentari enggan menampakkan muka

Kala itu, langit menangis berlinang air mata
Guntur beretorika tanpa bisa mengucapkan sepatah kata
Indonesia berduka
Bapak pluralisme bangsa telah tiada.

Karawang, 10 November 2017 [*]

Hujan di Ternate

Oleh: Abi N. Bayan

Kau tumpah lagi di gelasku
dan aku mesti menyeduh
sisa-sisa teh dari cangkirmu.

Malam ini, aku kembali
memelukmu dalam diam
sebelum asap rokok mati dari tanganku.

Ada gigil tiba-tiba renyah di ruangan ini
melesat keluar jendela
dan kau sibuk merapikan sesak. [*]

Rintik Rindu Novena

Oleh: Dikha Nawa

Lembar keenam, kumulai lagi dengan mengingatmu
Tentang rinduku yang belum tersampaikan
Kala percik-percik gerimis menyapaku
Di antara aroma remahan tanah yang basah
Betapa sulitnya itu
Begitu berat menahan lajunya…

Baca juga:  11 Puisi Islami Pendek Menyentuh Hati tentang Hijrah dan Cinta

Entah, di rintik keberapa
Ku ‘kan mengeja bayangmu
Membahasakan senyummu saat itu
Di sini pun masih terasa sama
Hampa, serupa kesendirian ini
Hingga tak sanggup lagi, hatiku menahan keingkaran ini…

Andai saja mampu
Menghalau lajunya waktu
Andai saja saat itu
Tak bersumpah untuk membencimu. [*]

Puisi seperti hujan

Seperti Hujan

Oleh: Michra Fahmi

Mereka bilang aku aneh…
Karena aku selalu menunggu air turun dari langit
Mereka juga bilang aku gila
Karena senang bercerita pada hujan
Mereka selalu menjauh ketika rintik menyapa
Sementara aku selalu menyambutnya dengan riang

Kau benar tentang hujan, ada aroma tanah yang terjamah
Dan selalu menggugah rasa rindu antara kita
Aku harap kau tau pernah lupa pada hujan yang mempertemukan kita
Saat bersama tersenyum  memandang langit hitam dan derasnya hujan

Kau ajarkan aku menjadi seperti hujan di malam hari
Atas harapan dan rinduku pada seseorang
Yaaah…
Hujan tak pernah lelah turun meski malam
Dan tak pula mengharapkan datangnya pelangi. [*]

Kisahku dan Hujan

Oleh: Ghivan Christine

Dalam ayunan langkah, yang semakin lambat
Dalam helaan napas, yang semakin dalam
Dalam desir angan, yang kian menjauh
Dalam desah hati, yang kian membiru

Entah harap, entah khayal yang digenggam
Entah duka, entah suka yang dikecap
Hanya tetes hujan yang paham
Hanya tetes hujan yang menjawab

Dalam biru yang kian menyatu
Di derasnya tetes hujan
Tak ada kata yang terucap
Tapi selaksa makna terjawab

Kisahku sama dengan hujan
Datang dan pergi tanpa pamit
menghembuskan asa dan juga nestapa
Hingga hanya dingin yang tersisa. [*]

Secercah Hujan di Ujung Senja

Oleh: Reni Triasa

Masih seputar rindu,
Tergeletak tak berdaya di antara sendu
Isak tangis semakin memekik kalbu
Terbata-bata melisankan ingin bertemu

Masih seputar rindu,
Di ujung senja semakin rapuh
Di cercah hujan ingin tetap tinggal
Menanggung pedih serpihan rindu di atas bahu

Masih seputar rindu,
Menyeret paksa jiwaku penuh bisu
Menahan jengkal langkahku dengan tangis
Suara hati yang berteriak histeris, berkata tetaplah di sini
Di atas rinai hujan yang jatuh tanpa jeda
Rindu ini belum selesai, katanya. [*]

Rinai Memberai

Oleh: Peti Rahmalina

Rinai datang padaku pada saat diri tengah menepi
Renyai senyawa hidrat memecah sunyi
Segala impresi tentangnya menguar memenuhi imaji
Kembali pada ilusi tuk berpuisi

Rangkaian asa yang kucipta terverai
Dia pergi ketika rinai datang memenuhi semesta tak berisi
Serenada pilu mencipta elegi
Nyeri yang kau berikan, kuresapi dalam-dalam saat hujan
Sembilu menjalar setiap kali rinai berjatuhan
Sembunyikan air mata redam jerit kekecewaan
Dalam cinta yang tiada berupa
Rinai memberai

Rinai memberai asa
Dalam rindu yang membuat tiada
Rinai memberi asa
Jadi tiada yang membuat rindu. [*]

Puisi hujan dan senja

Sajak Pertemuan Hujan dan Senja

Oleh: Windarsih

Guguran air menyelubungi rona pipi senja
Mengembang senyum sepasang insan bertudung payung jingga
Bumi sudah dijamah resapan manis hujan senja
Usapan tangan di kala pintu-pintu langit terbuka
Magis hujan meniduri relung-relung kerinduan

Pertemuan perpisahan silih berganti tanpa salam
Bagai sebujur kilat membelah angkasa tak pedulikan masa
Setara air hujan kala rasa menjatuhkan lara
Menatap hitam pemegang gagang payung jingga

Kularang melangkah sebelum tangis hujan reda
Mencari bening di antara helai rambut legammu
Mendaratkan rindu semasa kemarau bertahta padaku
Sajak pertemuan di bawah kembang payung hujan

Teduhkan jiwa dua insan pemuja ritme tetesan
Memori penghujung Desember pelukan batas senja
Engkau dan aku meniduri rasa manis air dirgantara. [*]

Titisan Hujan Bersama Nyanyian Syahdu

Oleh: Jannatul Ula

Kilau mentari menyinari bumi dengan tandus alam yang menerjang
Seketika awan berubah wujud menjadi mangsa kegelapan
Mengharapkan curahan air yang menabur
Rintihan suci menghidupkan dunia indah nan syahdu

Memanggil cinta bagai akar menjalar untuk tetap bersemi
Menghias bunga mekar diiringi musik gemercikanmu dari kelayuan
Menghias alam dengan biasan mentari
Sebagai tangga cinta sang bidadari
Butiran embun menempel di ujung dedaunan
Membentuk indah bagai mutiara bening

Rintihan hujan butir suaramu menyejukkan imajiku
Dalam keheningan anganku terbang entah kemana bersama angin
Membuat tubuh ini membeku
Dengan hawa yang kau curahkan. [*]

Kenyataan di Balik Hujan

Oleh: Tista Apriyandani

Baca juga:  6 Cerpen Sedih tentang Cinta dan Kehidupan, Sedih Bikin Haru!

Pergilah….!
Ujarku membara laksana petir membelah sunyi
Kian dusta terlanjur kau hembas melukai hati
Ku tak pikir sejauh apa langkah kaki pergi
Melambai pergi raga tenggelam tak peduli

Surat terbuang…
Secarik kertas teruntai menari di atas pena
Hujan bersaksi dikau menusuk jantung mata
Sedih di kala duka hamba menyapa relung raga
Berpaling kau pergi silakan saja hatiku rela

Bersabar…
Insan hati terkelupas Sang sarang perih terluka
Tinggalkan dikau bagai telur pecah tak berguna
mencintaimu laksana jasad di balik keranda
Relung menangis kian terpecah sakit merana

Tak peduli…
Berlarilah sebahagia kau kejar kapas berkabur
Enggan ku lari melangkah menggapai gerimis cinta
Sesak hati mengema kaku tenggelam dalam kubur
Bibir tak sudi berampun dikau kejam seribu dusta. [*]

Puisi aku rindu hujan

Aku Rindu Hujan

Aku rindu hujan
di tiap-tiap tetesan;
pada matamu
langit kesunyian

aku rindu hujan
di tiap-tiap percikan;
pada detakmu
gemuruh keheningan

aku rindu dirimu
di tiap-tiap hujan;
pada namamu
menderas kerinduan [**]

Kisahku Tak Merindu Hujan

Oleh: Bukamaruddin

Aku adalah tanah kota
kemarau abadi yang dihampiri aspal dan beton

Aku tak bisa lagi menjadi laki-laki peneduh
seperti pohon di pinggir jalan yang sekarang enggan berdaun

Aku tak bisa lagi menjadi laki-laki lumpur
seperti kesederhanaan tanah dan kenangannya

Di sini kisah kasih membantu
tunggu tak lagi patuh
rindu tak lagi butuh

Jika engkau memang tiba
maka kuminta gerimismu
karena hanya itu yang membuatku tak meluap

Jika engkau tetap datang
maka kucinta pelangimu
karena hanya itu yang tak membuatku mengeluh. [*]

Kita Kepada Aku dan kamu Saja

Oleh: Riris Ariska

Dulu ratusan sajak kutulis karenamu
Ribuan kata kusampaikan padamu
Milyaran mimpi terangkai atas kamu
Dulu sebelum kita kepada aku dan kamu saja
Aku tak ingin melupa
Rasa penuh yang masih menyenja
Meski gelap akan datang,
dan badai menentang akan menghempaskan,
dan pada hujan kau akan kuleburkan
Aku tetap mempersilakan dingin memluk,
biar dibasah memori terangkut,
biar hujan jatuh dan banjir tak kunjung surut,
aku tak akan larut seperti gula yang kau aduk. [*]

Anggap Saja Hujan ini Adalah Aku

Anggap saja hujan ini adalah kenangan,
meski rintik yang sedetik, tapi mampu
mengingatkan

anggap saja hujan ini adalah kerinduan,
meski rintik yang setitik, tapi mampu
mempertemukan

anggap saja hujan ini adalah aku,
meski sudah tak lagi deras, tapi tetap
membekas. [**]

Halte Persimpangan

Oleh: Rizqi Amalia

Di bawah rintik hujan
Berpayung langit hitam
Aku berjalan memungut puing-puing kenangan
Sebuah pertemuan di halte perpisahan

Seulas senyum tercipta oleh tatapan mata tanpa sengaja
Sepatah sapa memecah keheningan yang ada
Berharap hujan enggan tuk reda
Tanpa terasa detak dada berdecak tak semestinya

Semusim telah berlalu, menelan detik yang melaju
Tentangmu, membingkai sisi kalbu
Siluet senyum memahat rindu
Namun kehilangan mendahului temu

Selepas engkau tiada
Hujan tak lagi sama
Rintiknya membawa aroma kamboja
Segenggam ikhlas melepas langkahmu di alam sana. [*]

Puisi hujan ini turun lagi

Hujan ini Turun Lagi

Hujan ini turun lagi
untuk yang kesekian kali
mengingatkanmu
mengingatkanku
tentang rintik
soal waktu yang sedetik

hujan ini turun lagi
menetesi kedua pipi
membasahimu
membasahiku
tentang kenang
soal airmata yang berlinang

hujan ini turun lagi
dari kata yang kau namakan puisi
namamu
namaku
tentang cinta
soal rasa yang pernah singgah

hujan ini turun lagi
membekas di lubuk hati. [**]

Menikmati Tamparan Hujan

Oleh: Nani Andriani

Saat hujan melanda negeriku
Seolah candu aku berlari tanpa malu
Menikmati indahnya penorama alamiah
Derasnya hujan membasahi tubuhku
Membelenggu memikat rindu
Kutelentangkan kedua sudut tanganku
Menari-nari layaknya bocah kerdil
Di bawah guyuran air bah langit
Kuterdiam di jalanan sepi
Menikmati setiap jengkal tamparan mega
Menyentuh pori-pori
Kutengadahkan wajah polosku
Menyambut datangnya air kehidupan
Kupejamkan mata lentikku
Meresapi rintikan air yang menjatuhiku
Dengan berpayung awan mendung
Kulangkahkan kaki menjelajahi pertiwi
Bersama hujan yang menemani
Hingga reda tak jatuh lagi. [*]

Senja Basah

Oleh: Putry Kata

Jingga itu menggoda
Jejak kita yang tanpa sisa
Pada hujan senja itu
Kugantung harap tanpa semu
“Jika kita adalah takdir
Datanglah dengan cinta tanpa khawatir.”

Dahulu, rapal cinta di senja basah
Adalah kita saling menyapa
Lewat tatap mata
Lalui kata tanpa suara

Baca juga:  53 Pantun Sunda Lucu Bikin Ngakak (Gombal dan Nasehat)

Rintik yang jatuh di senyummu
Membuatku cemburu
“Ingin sekali mendekap lesung pipi
Yang begitu tampan itu”

Kini, senja itu masih basah
Namun cinta kita, yang tertinggal hanya kisah. [*]

Puisi hujan kematian

Hujan Kematian

Oleh: Lulu’atul Puadiya

Tanduk merunduk menguntai zikir kematian
Tertunduk di barisan para prajurit
untaian deru hujan membasahi tubuh kumalnya
Simbahan lumpur mulai menjalar baik sungai tanpa jejak
Sajak tangisan terdengar dari lubang tak bertulangnya

Miris…

Sebuah penantian di tengah tangis hujan
Penantian yang terpaksa menanti
Zikir kematian semakin dekat
Kala sang jubah kebesaran berdiri
Bak cagak mencagak tubuh tak berdaya itu
Tangisan itu hancur lebur
Lidah tak bertulang itu bergetar….
Menahan perihnya gejolak kematian. [*]

Saat Merindumu

Merindumu adalah menemu sunyi
seperti gerimis menjumpai tangis
serupa puisi;
sebait kata pada tubuh sepi
dirinya sendiri

merindumu adalah menemu sunyi
seperti detak dalam tubuh sajak
serupa bunyi;
rima yang tak henti-henti
menyeru namanya sendiri. [**]

Mutiara Kecil

Oleh: Endang Kurniawan

Lihatlah rintikan hujan yang berirama
Mengantarkan sebuah kisah dalam drama
Kesejukannya menghapus segala bentuk kesedihan
butiran-butirannya melukiskan bait yang sedang berjajar

Kebahagiaan ini takkan pernah lepas rindu
Saat mutiara kecil mengalir indah di wajahmu
Hingga jari-jari mungil ini berpijak seraya bertumpu mengusap lembutnya lapisan permukaan nan sejuk

Langit pun menangis di saat wajahmu mengalirkan air mata
Kisahnya seolah tampak, namun tak terlihat
Mutiara kecilnya mengalir mengantarkan sejuta harapan
Harapan yang dahulu kutuliskan dalam bait kisah

Mutiara kecil di wajahmu
Bercahaya layaknya mentari di siang kelabu
Kisahnya penuh kenangan manis seperti madu
Hingga tak disadari jiwa kehilangan rindu. [*]

Kusambut Hujan

Oleh: Ely Widayati

Detik waktu berlalu meninggalkan kawan
Kemarau yang mendera mulai bosan
Tanaman rimpang menyembunyikan dahan
Rumput kering menahan lapar

Bilakah hujan datang menghampiri
Walau turunnya rinai kecil
Mereka senang akan harum hujanmu
Membawa kesejukan riang dalam kalbu

Rintik tawamu menyuburkan tanah
Meski di sini ada air dalam kulah
Namun aliran hujan lebih berkah
Air alam ciptaan Alloh

Kusambut musim hujan ini
Dengan senyuman tulus dari dasar hati
Agar alam tidak ternodai
Agar hujan tidak dicaci. [*]

Puisi di saat hujan di suatu sore

Di Saat Hujan di Suatu Sore

/1/
Ditabur hujan kesunyian sore ini
menderas pada getar kata
sajak-sajak ditulis menepis sepi
melebur jarak dirinya

bunga-bunga tumbuh
di antara jendela, kursi, dan meja
pasti dikenalnya rindu
merekah pada nafasmu

ujung-ujung jari yang sedari dulu
–menyentuhnya
melebur pada detak waktu

/2/
hujan kesunyian,
tidakkah kau dengar puisi
suara sepi
pada pertemuan ini

sajak yang ditulis tak pernah terbaca
sebab rindu selalu membuat kita lupa

lalu, kembali
hujan menulis puisi –lagi
di setiap rintiknya
di antara jendela, kursi dan meja
– tentang bunga-bunga

/3/
dan begitu saja
pada suatu sore ini
hujan yang menderas
sajak-sajak yang tak terbaca

hingga sampai pada sunyi
aku masih sendiri
di kursi ini
berteduh pada puisi
dari hujan sore ini. [**]

Kau Pikir Hujannya Telah Reda

Oleh: Mohammad Roni Sianturi

Kau pikir hujannya telah reda begitu saja, kawan?
Kau pikir tidak ada sisa?
Ah,
Menyisakan genangan di hati.
Esok, lusa, dan akan kuingat genangan air ini
Betapa basah hatinya; tergenang sedih kata
Yang kau katakan sendiri
Di depan mata dan telinga.

Kawan,
Kau pikir hujannya telah reda,
kau tak sadar; airnya menggenang di hati
Kata yang kau kata; badi
Dan kini; kau hanya menatap
Pura-pura lupa dan suka berbasa-basi

Perih dan pedih…
Kata-katamu menggenang; menyayat hati. [*]

Hujan Malam Ini

Hujan malam ini
menetes dari pipimu
mengalir di pelupuk sunyi
membasahi detak waktu

Jejak-jejak
menulis sajak
di hujan malam ini
air matanya sendiri

Barangkali matamu dan mata hujan
adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan
serupa api kepada abu
seperti aku kepada kamu. [**]

Keterangan:

  • *Diambil dan ditulis ulang dari buku Bait Kisah di Musim Hujan: Antalogi Puisi. CBK Publishing, Banda Aceh, 2017
  • **Puisi hujan dengan judul Aku Rindu Hujan, Anggap Saja Hujan ini Adalah Aku, Hujan ini Turun Lagi, Saat Merindumu, Di Saat Hujan di Suatu Sore, dan Hujan Malam Ini sudah dipost sebelumnya oleh Moh. Faiz Maulana di qureta.com